A.
Latar Belakang
Zaman ke zaman semakin berubah
dan berkembang mulai dari pola pemikiran, kebudayaan, sosial, ekonomi, politik,
dan sebagainya. Peruabahan yang terjadi disetiap lingkup masyarakat dengan
perspektif masing-masing dalam memaknai sebuah kehidupan.
Pedoman-pedoman yang diambil
dalam melaksanakan setiap aktivitas dengan keyakinan bahwa hal ini yang benar
dan itu yang benar. Dewasa ini muncul banyak sekali ulama, cendikiawan, dan
ahli fiqh yang memberikan fatwa terkait aspek ekonomi, politik, dan
sosial-budaya. Bahkan, dengan teknologi yang telah berkembang dan maju sekarang
ini melalui google semua dapat teraplikasi dan sekarang zaman telah berubah
menjadi zaman IT. Teknologi maju dengan
tujuan untuk mempermudah dalam pengkutipan khususnya sumber hukum.
فسألوا أهل الذكر ان كنتم لا تعلمون
“maka tanyakanlah kepada orang
yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui”. (QS. Al Anbiya’ [21]:7)
Ayat di
atss memiliki makna bahwa apabila seseorang tidak mengetahui sumber hukum yang
dalam aktivitas kehidupan masyarakat, kita dianjurkan untuk menanyakannya pada
ahlinya yakni para ulama.
Tidak
ada perintah untuk mengikuti atau taklid pada ulama-ulama tertentu namun lebih
pada pemilihan sumber hukum yang menjadi pedoman kita dalam aktivitas sehingga
kepatuhan dan ketaatan tetap pada Allah SWT. Sehingga tidak tersesat dalam
kekafiran dan tergolong orang-orang musyrik yang menyekutukan Allah SWT.
Ketaatan
atas perintah Allah dalam memberikan fatwa kepada orang yang bertanya secara
adil yang tertuang dalam QS An Nisa’ [4]: 58 dan QS. Al Maidah [5]:42.
Dalam
Islam mengenal dengan 4 Mazhab yang terdiri dari mazhab hanafi, mazhab syafi’i,
mazhab maliki, dan mazhab hanbali. Mengenai mazhab yang telah ada dan sekarang
ini masih dianut namun kebanyakan orang pun kadang tidak tahu mazhab apa yang
diikutinya sebagai sumber hukum. Orang muslim yang masih awan akan sulit
mengkaji Al Qur’an dan Hadits dan akhirnya hanya mengikuti para ulama, ustadz,
dan sejenis sebagai pedoman dalam beribadah dan bermu’amalah.
Pada
zaman sekarang ini, suatu keadilan atau kebenaran sulit sekali didapatkan dan
yang dikatakan adil atau benar apabila orang tersebut memiliki kekuasaan baik
secara material maupun immaterial.
Keputusan
hakim yang dapat diubah dengan berbagai cara sehingga yang terlihat salah
menjadi benar dan yang benar dianggap bersalah. Adapun diskriminasi antara
pengambilan putusan hukuman antara yang memiliki kekuasan dengan yang tidak
memiliki kekuasaan.
B.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang
di atas didapatkan rumusan masalah dalam makalah ini yakni bagaimana kajian
tafsir ayat-ayat al qur’an dalam surat an nisa’ ayat 58 dan surat al maidah
ayat 42 pada mazhab hukum tentang berbuat adil?
C.
Pembahasan
1.
Pengertian Mazhab
Hukum
Dalam bahasa Arab mazhab
berasal dari isim makan atau isim zaman dari kata ذهب – يذهب – ذهبا – ذهابا yang
memiliki makna “pergi” atau “jalan” maka secara bahasa makna mazhab berarti
tempat jalan / saat berpergian. Menurut syariat mazhab diartikan beberapa
kumpulan pemikiran Imam Mujtahid di bagian hukum-hukum syari’at yang dikaji
dengan memakai dalil-dalil secara detail, serta kaedah-kaedah ushul.
Dalam
Islam hukum disebut dengan syari’at yang berarti peraturan yang telah
ditetapkan Allah SWT untuk umat Islam dengan bersumber dari Al Qur’an dan
Hadits. Sumber Hukum Islam adalah dalil-dalil yang dijadikan rujukan penentuan
suatu hukum dari permasalahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Islam,
dibagi menjadi 2 (dua) yakni dalil naqli[1]
dan dalil aqli[2].
Mazhab
yang dikenal dalam dunia Islam sekarang ini terdiri dari 4 (empat), yaitu
mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali.
2.
Kajian QS An Nisa’
ayat 58
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ
تُؤَدُّوا الأمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ
تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ
كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
“Sungguh Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada
yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia
hendaknya kamu menentapkannya dengan adil. Sungguh, Allah sebaik-baik yang
memberi pengajaran kepadamu, Sungguh Allah Maha Mendengar Maha Melihat”.
a.
Asbabun Nuzul
Ibnu Mardawaih meriwayatkan
dari jalur al Kalbi dari Abu Shaleh bahwa Ibnu Abbad berkata,” ketika
Rasulullah saw menaklukkan Mekkah, beliau memanggil Utsman bin Thalhah. Ketika
Itsman bin Thalhah datang, Rasulullah saw bersabda, “Tunjukkanlah kunci Ka’bah
kepadaku”. Lalu dia datang kembali dengan membawa kunci Ka’bah dan menjulurkan
tangannya kepada Rasulullah saw sembari membuka telapaknya.
Ketika itu juga Al Abbas
bangkit lalu berkata, “Wahai Rasulullah, berikan kunci itu kepada saya agar
tugas memberi minum dan kunci Ka’bah saya pegang sekaligus”. Maka Utsman bin
Thalhah menggenggam kembali kunci itu.
Rasulullah saw pun bersabda,”
berikan kepadaku kunci itu, wahai Utsman”. Maka Utsman berkata,”terimalah
dengan amanah Allah”. Lalu Rasulullah saw bangkit dan membuka pintu Ka’bah,
kemudian beliau melakukan thawaf mengelilingi Ka’bah.
Turunlah ayat 58 ini, Syu’bah
meriwayatkan di dalam tafsifnya dari Hajjaj dari Ibnu Juraij, dia berkata,”ayat
ini turun pada Utsman bin Thalhah ketika Fathul Makkah. Setelah Rasulullah saw
mengambil kunci Ka’bah darinya, beliau masuk ke Ka’bah besamanya. Setelah
keluar dari Ka’bah dan membaca ayat 58 di atsa, beliau memanggil Itsman dan
memberikan kunci Ka’bah kepadanya. Ketika Rasulullah saw keluar dari Ka’bah dan
melafadzkan firman Allah SWT di atas, Umar Ibnul Khathab berkata, “sungguh saya
tidak pernah mendengar beliau membaca ayat itu sebelumnya”.
b.
Tafsir Ayat
Menurut Al Qurthubi, ayat ini
menjelaskan tentang 2 (dua) komponen utama. Komponen pertama, pada firman Allah
SWT yang berbunyi إِنَّ اللَّهَ
يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأمَانَاتِ “Sungguh Allah menyuruhmu
menyampaikan anamat”
Ada beberapa pendapat mengenai siapa yang ditujukan pada
ayat tersebut. Oleh Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Aslam, Syahr bin Hausyab, dan
Ibnu Zaid berkata “ini ditujukan secara khusus bagi pemimpin-pemimpin kaum
muslimin.
Sedangkan Ibnu Juraij dan lainnya berkata “ayat ini
secara khusus ditujukan untuk Nabi Muhammad saw tentang penyerahan kunci
Ka’bah.
Kemudian Barra’ bin Azib, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, dan
Ubay bin Ka’ab berpendapat bahwa ayat ini bersifat umum, sehingga amanat itu
dalam setiap hal. Dalam hal ini dapat berbentuk pada pelaksanaan wudhu’,
shalat, zakat, janabah, puasa, timbangan, takaran, dan titipan.
Ibnu Abbas berkata, “Allah tidak memberi keringanan bagi
orang yang susah maupun senang, (hendaklah) mereka memegang amanah”.
Komponen kedua, pada وَإِذَا
حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ “apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia
hendaknya kamu menetapkannya dengan adil”. Dalam hal ini, Adh dhahak
berkata,”dengan bukti bagi yang mengaku dan sumpah bagi yang menginkari” ayat
ini ditujukan untuk wali, pemimpin, dan para hakim dan termasuk kategori ini
setiap orang yang memegang amanat.
3.
Kajian QS Al Maidah
ayat 42
سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ
أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ فَإِنْ جَاءُوكَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ أَوْ أَعْرِضْ
عَنْهُمْ وَإِنْ تُعْرِضْ عَنْهُمْ فَلَنْ يَضُرُّوكَ شَيْئًا وَإِنْ حَكَمْتَ
فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِالْقِسْطِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Mereka sangat suka mendengar berita bohong, banyak memakan (makanan)
yang haram. Jika mereka (orang Yahudi)datang kepadamu (Muhammad untuk meminta
putusan), maka berilah putusan di antara mereka atau berpalinglah dari mereka,
dan jika engkau berpaling dari mereka maka mereka tidak akan membahayakanmu
sedikit pun. Tetapi jika engkau memutuskan (perkara mereka), maka putuskanlah
dengan adil. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil”.
a.
Asbabun Nuzul
Pada suatu ketika ada laki-laki
dari Bani Fadak telah melakukan perzinahan. Orang-orang Fadak menulis surat
kepada para pembesar orang-orang Yahudi di Madinah untuk meminta penjelasan
hukum tentang orang yang melakukan perzinahan kepada Rasulullah saw. Apabila
Muhammad saw memutuskan hukum untuk dijilid, maka akan kami terima ketentuan
itu. Namun jika memerintahkan untuk dirajam, maka tidak perlu diterima
ketentuan tersebut. Orang-orang Yahudi mengajukan pertanyaan tersebut kepada
Rasulullah saw, dan beliau memberikan jawaban agar dirajam, sehingga
orang-orang Yahudi tersebut tidak dapat menerima ketentuan tersebut. Peristiwa
itu melatar belakangi turunnya ayat 42 dengan tegas memerintahkan agar
hukum-hukum Allah ditegakkan sebagaimana mestinya, yang pelaksanaannya harus
penuh keadilan dan kebijaksanaan.
b.
Tafsir Ayat
Dijelaskan Az Zuhaili pada
kalimatسَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ adalah
orang-orang Yahudi itu suka mendengarkan dan menerima berita bohong dari para
pendetanya. Kemudian yang dimaksud kalimat أَكَّالُونَ
لِلسُّحْتِ adalah mereka banyak memakan harta haram,
seperti menyuap, melakukan praktik riba, dan memakan hasil prostitusi.
فَإِنْ جَاءُوكَ
فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْأَوْ أَعْرِضْ عَنْهُمْ dalam kalimat ini
memiliki makna jika orang-orang Yahudi itu datang kepadamu Wahai Rasulullah
saw, untuk meminta keputusan, kamu bebas memilih untuk memberikan keputusan
atau tidak.
Pilihan tersebut kemudian
dinasakh dengan firman Allah yang lain, وَإِنْ
تُعْرِضْ عَنْهُمْ فَلَنْ يَضُرُّوكَ شَيْئًا maksudnya jika kamu
berpaling dari mereka maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu
sedikitpun, kemudian pada kalimat selanjutnya dijelaskan apabila kamu
memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka
dengan adil.
4.
Hadits dan Pendapat
Mussafir
Dari 2 (dua) ayat di atas
terkandung kata yang berbeda namun memiliki pengertian yang hampir sama. Kata
adil yang disebutkan dalam QS. An Nisa’ ayat 58 dengan menyebutkan بِالْعَدْلِ sedangkan pada QS. Al Maidah ayat 42 menggunakan بِالْقِسْطِ.
Para
ulama pakar bahasa Arab menyebutkan bahwa kata ‘adl merupakan bentuk
mashdar dari kata kerja (عَدَلَ-يَعْدِلُ-عَدْلًا- وعُدُوْلًا-
وعَدَاَلةً) yang
bermakna الإستِوا artinya“keadaan lurus”. Sedangkan qisth berasal dari
kata ‘bagian’ (yang wajar dan patut).[3]
Menurut wikipedia bahwa yang
dimaksud adil adalah suatu sikap yang bebas dari diskriminasi, dan
ketidakjujuran. Jadi, orang yang adil adalah orang yang sesuai dengan standar hukum
baik hukum agama, hukum positif (hukum negara), maupun hukum sosial (hukum
adat) yang berlaku. Orang yang adil itu selalu bersikap imparsial, suatu sikap
yang tidak memihak kecuali kepada kebenaran. Bukan berpihak karena pertemenan,
persamaan suku, bangsa, maupun agama.[4]
Rasulullah saw bersabda, “dari Ibnu Buraidah dari
ayahnya dari Nabi saw, beliau bersabda:’hakim itu ada tiga, satu orang di Surga
dan dua orang berada di Neraka. Yang berada di surga adalah seorang laki-laki
yang mengetahui kebenaran lalu menghukumi dengannya; seorang laki-laki yang
mengetahui kebenaran lalu berlaku lalim dalam berhukum maka ia berada di
Neraka; dan orang yang memberikan keputusan untuk manusia di atas kebodohan
maka ia berada di Neraka.’ Abu Daud berkata,’ (HR. Abu Daud No. 3102)
Uraian di atas menjelaskan
tentang 3 (tiga) keputusan hakim yang dalam hal ini merupakan orang yang
menjadi imam (pemimpin) dalam suatu perkara di pengadilan dimana keputusannya
menjadi tolak ukur hukuman yang diputuskannya. Ada 1 (satu) kategori seorang
hakim yang adil, beliau mengetahui sebuah kebenaran dan memutuskannya dengan
pedoman hal tersebut dan beliau bisa dikatakan hakim yang adil. Sedangkan 2
(dua) kategori hakim yang tidak adil, yang pertama hakim yang mengetahui sebuah
kebenaran namun tidak memutuskannya dengan kebenaran tersebut namun masih
bercampur dengan bersikap berpihak, dan kategori ke-2 dimana hakim tersebut
tidak mengetahui sebuah kebenaran kemudian memutuskan suatu perkara dengan
kebodohannya atau ketidaktahuannya bisa dikatakan hanya spekulasi atau
perkiraan.
Menurut Imam Al Syaukani dalam tafsirnya Fath Al Qadir,
yang dimaksud dengan adil adalah menetapkan keputusan hukum yang bersandar
kepada ketentuan al Kitab dan al Sunnah. Apabila tidak ditemukan nash
yang sharih, bisa dengan hasil ijtihad dari seorang hakim yang
mengetahui hukum Allah SWT dan yang paling dekat dengan kebenaran.
Rasulullah
saw bersabda, “dari Amru bin ‘ash ia mendengar Rasulullah saw bersabda: jika
seorang hakim mengadili dan berijtihad, kemudian ijtihadnya benar, maka ia
mendapat dua pahala, dan jika seorang haki berijtihad, lantas ijtihadnya salah
(meleset), baginya satu pahala” (HR. Bukhari No. 6805).
Kemudian pada QS Al Maidah, ayat yang memiliki arti “jika
mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), maka putuskanlah
(perkara itu) di antara mereka, atau berpalinglah dari mereka”.
Menurut mussafir, tidak diboleh menyelesaikan sengketa
yang diminta dari non Muslim, karena ayat tersebut telah dinasakh. Pada saat
itu, Nabi saw baru menginjakkan kaki di Madinah dan orang-orang Yahudi masih
tergolong mayoritas. Selanjutnya, ketika umat Islam sudah kuat dan banyak maka
turunlah ayat ke- 49.[5]
Adapun kriteria hakim yang berbuat adil dan dapat
dijadikan pedoman juga pada kriteria orang yang berbuat adil dalam memutuskan
segala perkara baik dalam aspek ekonomi, politik, sosial-budaya, keluarga, dan
sejenisnya, sebagai berikut:
a.
Tidak memutuskan
perkara dalam keadaan marah,
Dari Abu bakrah mengabarkan: saya mendengar Nabi Muhammad saw, bersabda:”seorang
hakim tidak boleh memutuskan persengketaan di antara dua orang dalam keadaan
marah”. (HR. Bukhari – Muslim)
Uraian di atas menegaskan bahwa
pemutusan suatu perkara tidak boleh dalam keadaan marah dikarenakan kemarahan
tesebut dapat mempengaruhi ketenangan dalam berpikir sehingga pikirannya
terganggu dan dapat berakibat fatal tersebut kedua belah pihak yang
bersengketa.[6]
b.
Mendengarkan kedua
belah pihak,
Dari Ali ia berkata,”Rasulullah saw mengutusku ke Yaman sebagai hakim lalu
kami katakan, ‘Wahai Rasulullah, apakah anda akan mengutusku sementara saya
masih muda dana tidak memiliki ilmu mengenai peradilan?’kemudian beliau
bersabda:’sesungguhnya Allah akan memberi petunjuk kepada hatimu, dan
meneguhkan lisanmu. Apabila ada dua orang yang berseteru duduk dihadapanmu maka
janganlah engkau memberikan keputusan hingga engkai mendengar dari orang lain,
sebagaimana engkau mendengar dari orang pertama, karena sesungguhnya keputusan
akan lebih jelas bagimu’. Ali berkata, setelah itu aku tetap menjadi hakim atau
aku tidak merasa ragu dalam memberikan keputusan.” (HR. Abu Daud No. 3111)
Dalam hadits di atas
menerangkan bahwa perlunya mendengarkan
ungkapan dari kedua belah pihak yang bersengketa sehingga mengetahui perkara
apa yang terjadi dalam sengketa tersebut dan tidak memutuskan perkara hanya
sepihak. Ungkapan tersebut dapat dijadikan pedoman dalam memberikan putuskan
dalam suatu perkara.
c.
Memutuskan perkara
berdasarkan keterangan kedua belah pihak,
Dari Ummu Salamah ra, Rasulullah saw, bersabda:”saya hanyalah manusia
biasa, dan kalian seringkali mengadukan sengketa kepadaku, bisa jadi sebagian
di antara kalian lebih pandai bersilat lidah daripada lainnya sehingga aku
putuskan seperti yang kudengar, maka barangsiapa yang kuputuskan menang dengan menganiaya
hak saudaranya, janganlah ia mengambilny, sebab sama artinya aku ambilkan
sundutan api baginya”. (HR. Bukhari)
Dari keterangan kedua belah
pihak tersebut dapat dicari titik permasalahan utama dan pemutusan untuk hukum
apa yang pantas bagi yang melakukan kesalahan dan bagi pihak yang dirugikan
berdasarkan Al Qur’an dan As Sunnah serta ijtihad.
d.
Tidak menerima suap
atau sejenisnya,
Dari Abu Hurairah ra. Beliau berkata: Rasulullah saw, bersabda:”kutukan
Allah menimpa atas orang yang menyuap
dan orang yang menerima suap dalam hukum”. (HR.
Ahmad, Abu Daud, dan Tirmidzi)
Hadits di atas melarang keras
menerima suap, dikarenakan hal tersebut dapat mempengaruhi keputusan hakim
dalam memberikan putusan sebab pikirannya telah terganggu oleh dorongan yang lain.
Bagi yang menerima dan memberi suap (maysir) dilaknat oleh Allah SWT.
D.
Daftar Pustaka
Mushaf Qur’an. 2007. Al
Qur’an Terjemahan, Lengkapi Tema Penjelas Kandungan Ayat. Jakarta: Sufi
Suyuthi, As Jalaluddin. Lubaabun
Nuquul fii Asbaabin Nuzuul (Sebab Turunnya Ayat Al Qur’an, terjemahan tim
Abdul Hayyie, Gema Insani), hal. 172-181
Qurthubi, al. 2008. Tafsir
Al Qurthubi bagian 5 (terjemahan Al Jami’ Li Ahkami Al Qur’an), cet 1.
Jakarta: Pustaka Azzam
Zuhaili, az Wahbah dkk. 2007. Al
mausu’atul Qur’aniyaul Muyassarah, alih bahasa tim kuwais, cet. 1. Jakarta:
Gema Insani
Mahali, Mudhab. 2002. Asbabun
Nuzul: Studi Pendalaman Al Qur’an, cet . 1. Jakarta: RajaGrafindo Persada
Umar, Nasaruddin dkk. 2007. Ensiklopedi
Al Qur’an, Cet. 1
Mardani. 2012. Hadits Ahkam.
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
[4] QS. Al Maidah [5]: 8 “...dan
janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk
berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa”.
[5] Pendapat ini dijelaskan
oleh An Nuhas, Ibnu Abbas, Mujahid, Ikrimah, Az Zahri, Umar bin Abdul Aziz, dan
As Suddi dalam Tafsir Al Qurthubi bagian 6, Imam Al Qurthubi
0 comments:
Post a Comment
Terima Kasih