Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga - Yogyakarta

Gedung Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga

Labolatorium Agama - Masjid Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga

Pusat Tempat Ibadah di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga

University Library - UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Pusat Buku-Buku Referensi di UIN Sunan Kalijaga

Peta Keseluruhan Kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga

Desah Lokasi Ruang di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga

Monday, May 23, 2016

PROGRAM MAGISTER (S2), FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

KONSENTRASI :

- Hukum Keluarga (HK)
- Hukum Bisnis Syari'ah (HBS)
- Hukum Tata Negara (HTN)
- Keuangan dan Perbankan Syari'ah (KPS)



Visi
Unggul dan terkemuka dalam pengembangan keilmuan Hukum Islam untuk kemajuan peradaban

Misi
1. Mengembangkan pendidikan dan pengajaran dalam bidang Hukum Islam yang integratif-interkonektif dan transformatif
2. Meningkatkan penelitian dan kajian ilmiah tentang Hukum Islam
3. Meningkatkan kontribusi ilmiah bagi kemajuan masyarakat

Tujuan
1. Menghasilkan Magister Hukum Islam (MHI) dalam bidang Hukum Keluarga (HK), Hukum Bisnis Syari'ah (HBS), dan Hukum Tata Negara (HTN) serta Magister Ekonomi Islam (MEI) dalam bidang Keuangan dan Perbankan Syari'ah (KPS), dengan penguasaan keilmuan yang integratif-interkonektif, transformatif, dan multikultural, serta profesional dan berkepribadian luhur yang mampu mengaktualisasikan diri dalam masyarakat
2. Menjadi pusat kajian ilmiah dan penelitian dalam pengembangan Hukum Islam yang kontributif bagi kemajuan masyarakat
3. Menjadi Program Studi yang memiliki jaringan kerjasama yang luas dan fungsional dalam skala lokal, nasional, dan internasional

Sasaran
1. Meningkatkan jumlah lulusan yang dapat berkarya di masyarakat sesuai dengan bidang keahlian
2. Meningkatkan jumlah, kualitas, dan relevansi penelitian sesuai yang dengan kebutuhan masyarakat
3. Meningkatkan keikutsertaan dalam menangani masalah sosial dan keagamaan
4. Meningkatkan kinerja pelayanan pada pengguna
5. Meningkatkan jumlah kerjasama
6. Meningkatnya penerapan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat
7. Tercapainya lulusan magister yang berprestasi dan tepat waktu
8. Meningkatkan kualitas mahasiswa dalam penguasaan bahasa Arab dan Inggris

PENDAFTARAN MAHASISWA BARU
JADWAL
Gelombang I :
Pendaftaran
1 Februari - 10 Juni 2016

Seleksi / Tes
15 Juli 2016

Pengumuman
24 Juli 2016

Gelombang II :
Pendaftaran
27 Juni - 22 Juli 2016

Seleksi / Tes
27 Juli 2016

Pengumuman
5 Agustus 2016 

Portofolio :
Pendaftaran
1 Februari 2016 - Sepanjang Tahun

Seleksi / Tes
1. 2 Mei 2016
2. 1 Agustus 2016
3. 1 November 2016
4. 1 Februari 2016

Pengumuman
1. 15 Mei 2016
2. 5 Agustus 2016
3. 15 November 2016
4. 15 Februari 2016

Pendaftaran dilakukan dengan membayar biaya pendaftaran terlebih dahulu secara online melalui Bank BNI atau Bank Mandiri, dan mengisi Formulir Pendaftaran yang dapat di download pada laman http://admisi.uin-suka.ac.id , klik menu Penerimaan Mahasiswa Baru Online.

BIAYA PENDAFTARAN DAN PENDIDIKAN
1. Biaya Pendaftaran

Biaya pendaftaran masuk jalur reguler sebesar Rp 500.000,- (lima ratus ribu rupiah),dan jalur portofolio sebesar Rp 600.000,- (enam ratus ribu rupiah), secara online melalui Bank BNI atau Bank Mandiri

2. Biaya Pendidikan Reguler

Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) - Rp 5.000.000,-
Perpustakaan - Rp 300.000,-
Orientsi Studi dan Stadium General - Rp 150.000,-
KTM - Rp 50.000,-
Bagi mahasiswa Asing Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) semester satu - Rp 7.000.000,-

Sumber :
Surat Keputusan Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Nomor 78 Tahun 2015, tanggal 23 April 2015 tentang Penyempurnaan Surat Keputusan Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Nomor 49 Tahun 2015 tentang Integrasi Program Studi Pascasarjana ke Fakultas, dikutip  pada Brosur Program Magister Fakultas Syari'ah dan Hukum

Friday, May 20, 2016

Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah - Kompilasi Hukum Islam

http://tuntunansholat.com/kumpulan-hukum-hukum-islam/

A.      Pendahuluan
Dengan perkembangan yang sampai saat ini, Hukum Islam pada posisi sekarang ini belum secara tegas mengaktualkan konsep Islam yang ada. Dikarenakan posisi Hukum Islam berada pada Hukum Indonesia yang secara jelas belum tentu terkandung konsep dan landasan penetapan hukum menurut syara’. Ketika mendapatkan persoalan terkait Hukum Islam dalam ekonomi, maka umat Islam akan masuk dalam tatanan hukum Negara yakni Hukum Positif.
Menurut H. Muhammad Daud Ali dalam hal ini, pusat perhatian ditujukan pada kedudukan Hukum Islam dalam sistem Hukum Indonesia. Sedangkan  menurut Ichtianto, Hukum Islam sebagai tatanan hukum yang ditaati oleh mayoritas penduduk dan rakyat Indonesia adalah hukum yang telah hidup dalam masyarakat, merupakan sebagian dari ajaran dan keyakinan Islam dan ada dalam kehidupan Hukum Nasional dan mrupakan bahan dalam pembinaan dan pengembangannya.[1]
Dengan memperhatikan konsideran Keputusan bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama tanggal 21 Maret 1985 No. 07/KMA/1985 dan No. 25 tahun 1985 tentang penunjukan pelaksanaan proyek pembangunan Hukum Islam melalui yurisprudensi atau yang dikenal dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Pada saat itu, Ketua Mahkamah Agung masih memberikan nama Kompilasi Hukum Islam dimana pelaksanaan Hukum Islam dapat ditegakkan melalui KHI tersebut di Pengadilan Agama.
Adanya surat edaran nomor 08 tahun 2008 tentang eksekusi putusan Badan Arbitrase Syari’ah oleh Ketua Mahkamah Agung RI, terkait pemberian petunjuk pada kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah yang ada di Indonesia. Pada surat edaran yang ada menetapkan Badan Arbitrase Syari’ah sebagai lembaga yang dipilih untuk memberikan putusan sengketa dalam kegiatan ekonomi syari’ah. Selanjutnya, dalam putusan sengketa terkait ekonomi syari’ah tidak lagi merujuk pada ketentuan KHI namun KHES (Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah) sekaligus putusan yang ada di dalamnya terkait sengketa para pihak pelaku ekonomi syari’ah.
Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES) dijadikan pedoman oleh Badan Arbitrase Syari’ah dalam memutuskan perkara persengketan  pada kegiatan usaha menurut syari’ah. Oleh karena itu, KHES telah dijadikan pedoman menggantikan Hukum Islam yakni Al Qur’an dan As Sunnah.
KHES (Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah) merupakan wujud actual dari Hukum Islam yang ada di Indonesia terkait kegiatan perekonomian Islam, bilamana terjadi persengketaan antara pelaku ekonomi Islam sehingga mengantarkannya pada Badan Arbitrase Syari’ah.
B.       Kompilasi Hukum Ekonomi Islam
a.         Pengertian Kompilasi
Dalam istilah di Indonesia dikenal dengan kata “kompilasi” yang secara etimologis kumpulan/himpunan yang tersusun secara teratur. Kata kompilasi tersebut diambil dari bahasa Inggris “compilation” atau bahasa Belanda “compilatie” yang kemudian dalam term kompilasi diambil kata compilare artinya mengumpulkan bersama-sama.
Secara terminologis, kompilasi diartikan mengumpulkan bahan-bahan yang tersedia ke dalam bentuk teratur.[2] Selain itu, ada yang mendefinisikan suatu porses kegiatan pengumpulan berbagai bahan untuk membuat sebuah buku, tabel, statistik, atau yang lain dan mengumpulkannya seteratur mungkin setelah sebelumnya bahan-bahan tersebut diseleksi.[3]
Dari pengertian di atas bahwa Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah disusun oleh aparat Negara dalam hal ini Mahkamah Agung dengan penetapan Hukum Islam yang telah disesuaikan di Indonesia. Sehingga dengan adanya KHES tersebut, para pelaku usaha ekonomi yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah apabila terjadi sebuah sengketa hukum dapat diselesaikan dengan rujukan Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah.
Putusan dalam penyelesaian sengketa diputusan oleh Badan Arbitrase Syari’ah.[4] Walaupun demikian, hakim dalam melakukan putusan hukum untuk menggali dan menemukan hukum sehingga tercapai putusan yang adil dan benar.[5]
b.         Isi pada KHES
Hal-hal yang terkait di dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah di bagi menjadi 4 (empat) bagian pembahasan, yang disebut dengan istilah Buku, meliputi:[6]
1.        Buku I tentang Subyek Hukum dan Amwal, yang terdiri dari:
a)        BAB I tentang Ketentuan Umum dengan 1 pasal dan 21 ayat.
b)        BAB II tentang Subyek Hukum dengan 15 pasal
c)        BAB II tentang Amwal dengan 3 pasal
2.        Buku II tentang Akad, yang terdiri dari:
a)        BAB I tentang Ketentuan Umum dengan 1 pasal dan 42 ayat.
b)        BAB II tentang Asas Akad dengan 1 pasal dan 11 ayat
c)        BAB III tentang Rukun, Syarat, Kategori Hukum, ‘Aib, Akibat, dan Penafsiran Akad dengan 34 pasal
d)       BAB IV tentang Ba’I dengan 35 pasal
e)        BAB V tentang Akibat Ba’I dengan 43 pasal
f)         BAB VI tentang Syirkah dengan 53 pasal
g)        BAB VII tentang Mudharabah dengan 24 pasal
h)        BAB VIII tentang Muzara’ah dan Musaqah dengan 16 pasal
i)          BAB IX tentang Khiyar dengan 24 pasal
j)          BAB X tentang Ijarah dengan 40 pasal
k)        BAB XI tentang Kafalah dengan 27 pasal
l)          BAB XII tentang Hawalah dengan 11 pasal
m)      BAB XIII tentang Rahn dengan 41 pasal
n)        BAB XIV tentang Wadi’ah dengan 21 pasal
o)        BAB XV tentang Gashb dan Itlaf dengan 22 pasal
p)        BAB XVI tentang Syirkah dengan 44 pasal
q)        BAB XVII tentang Wakalah dengan 69 pasal
r)         BAB XVIII tentang Shulh dengan 19 pasal
s)         BAB XIX tentang Pelepasan Hak dengan 9 pasal
t)         BAB XX tentang Ta’min dengan 21 pasal
u)        BAB XXI tentang Obligasi Syariah Mudharabah dengan 6 pasal
v)        BAB XXII tentang Modal dengan 4 pasal
w)      BAB XXIII tentang Reksa Dana Syariah dengan 15 pasal
x)        BAB XXIV tentang Sertifikat Bank Indonesia Syari’ah (SBI Syari’ah) dengan 5 pasal
y)        BAB XXV tentang Obligasi Syari’ah 4 pasal
z)        BAB XXVI tentang Pembiayaan Multijasa dengan 3 pasal
aa)     BAB XXVII tentang Qardh dengan 6 pasal
bb)    BAB XXVIII tentang Pembiayaan Rekening Koran Syari’ah dengan 9 pasal
cc)     BAB XXIX tentang Dana Pensiun Syari’ah dengan 48 pasal
3.        Buku III tentang Zakat dan Hibah
a)        BAB I tentang Ketentuan Umum dengan 1 pasal
b)        BAB II tentang Ketentuan Umum Zakat dengan 1 pasal
c)        BAB III tentang Harta Yang Wajin Dizakati dengan 15 pasal
d)       BAB IV tentang Hibah dengan 43 pasal
4.        Buku IV tentang Akuntansi Syari’ah
a)        BAB I tentang Cakupan Akuntansi Syari’ah dengan 9 pasal
b)        BAB II tentang Akuntansi Piutang dengan 4 pasal
c)        BAB III tentang Akuntansi Pembiayaan dengan 24 pasal
d)       BAB IV tentang Akuntansi Kewajiban dengan 16 pasal
e)        BAB V tentang Akuntansi Investasi Tidak Terikat dengan 3 pasal
f)         BAB VI tentang Equitas dengan 4 pasal
g)        BAB VII tentang ZIS dan Qardh dengan 2 pasal
Sedangkan pengelolaan zakat dan wakaf merupakan pembahasan di luar Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah dikarenakan merupakan kegiatan sosial yang bukan komersil. Masing-masing memiliki rujukannya, terkait pengelolaan zakat pada Undang-Undang RI Nomor 38 Tahun 1999 dan wakaf pada Undang-Undang RI Nomor 41 Tahun 2004.
C.       Tinjauan Umum Hukum Islam
a.         Sumber Hukum Islam
Segala sistem hukum yang terbentuk memiliki sumber-sumber hukumnya sendiri untuk memberikan pedoman, solusi, peringatan, batasan-batasan sehingga system tersebut dapat menyesuaikan segala peristiwa.
Hukum Islam pun demikian memiliki sumber-sumber hukum yang dijadikan rujukan utama dalam penetapan putusan. Secara garis besar, sumber Hukum Islam dibagi menjadi 2 (dua) bagian, meliputi:
1.      Sumber Naqly, merupakan sumber hukum dimana seorang mujtahid tidak mempunyai peranan dalam pembentukannya karena memang sumber hukum tersebut telah tersedia.
2.      Sumber Aqly, merupakan sumber hukum dimana seorang mujtahid dapat berperan dalam pembentukkannya. Misalnya, Ijma’, Qiyas, Istishan, Istislah, Istishab, ‘Urf, dan sebagainya.
Selain dari pembagian yang ada di atas bahwa sumber Hukum Islam dapat pula dibedakan menjadi 2 (dua) sumber hukum, yakni:
1.      Sumber Hukum Ashliah, sumber hukum yang penggunaannya tidak bergantung pada sumber hukum yang lain. Dalam hal ini, sumber hukum ini dapat disebut juga sebagai sumber Naqly, contohnya Al Qur’an dan As Sunnah.
2.      Sumber Hukum Tabaiyah, sumber hukum yang penggunaannya masih bergantung pada sumber hukum yang lain. Sumber hukum tersebut memiliki esensi yang sama dengan sumber Aqly yang disebutkan di atas.
Al Qur’an sebagai sumber hukum yang tidak dapat digantikan dan tidak dapat dirubah secara esensi dikarenakan Kitab Al Qur’an merupakan Kalam Allah. Dijelaskan pada QS. Al Mujadilah ayat 11 yang memiliki arti …niscaya Allah mengangkat derajat orang-orang beriman dari kamu sekalian dan begitu juga dengan orang yang berilmu pengetahuan beberapa derajat.
Bahwa orang-orang selain orang beriman, orang yang berilmu atau berpengetahuan diangkat derajatnya oleh Allah SWT. Demikian, merupakan langkah awal dari orang-orang berilmu untuk mempertahankan agama Allah dengan perubahan yang ada. Segala peristiwa yang belum terdapat di masa Nabi dan pada zaman sekarang menjadi problematika sehingga orang berpengetahuan dituntut untuk bekerja keras menerapkan Hukum Allah di tengah-tengah masyarakat.
Sumber hukum yang masih dapat diubah menurut penggunaannya adalah sumber Aqly dimana sumber hukum tersebut terbentuk karena factor ra’yu orang-orang yang berilmu.
Hukum Islam dalam pembahasan yang lebih luas, berarti tidak lepas dari pembahasan pokok yakni teoritis ilmu hukum itu sendiri. Hukum Islam dibedakan menjadi Syariat Islam, Fiqih Islam, dan Qanun.[7]
b.         Landasan Yurisdis dan Fungsional
Dilihat dari Pasal 29 ayat 1 dan 2 pada UUD 1945 yang berbunyi “ (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.
Jaminan Negara, dalam hal ini Negara Indonesia terkait kebebasan memeluk dan mengaktualkan ibadah pada agama yang diyakininya sebagai kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, hukum Islam berlandaskan pasal tersebut dapat dengan bebas membentuk ketetapan-ketetapan dalam hal apa pun sehingga sesuai dengan syara’ tanpa mengganggu keyakinan agama lain.
Pasal 29 ayat 1 UUD 1945 memiliki 3 (tiga) muatan yang bermakna bahwa:
1.         Negara tidak boleh membuat peraturan perundang-undangan atau melakukan kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan dasar keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
2.         Negara berkewajiban membuat peraturan-peraturan perundang-undangan atau melakukan kebijakan-kebijakan bagi pelaksanaan wujud rasa keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
3.         Negara berkewajiban membuat peraturan perundang-undangan yang melarang siapapun melakukan pelecehan terhadap ajaran agama.
Dilihat dari landasan yuridis yang ada tentang Hukum Islam tertuang pada Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 pasal 28 ayat 1 yang berbunyi “Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.
Kewajiban hakim dalam memperhatikan keyakinan yang ada pada masyarakat pada suatu keadilan menimbulkan kesadaran hukum yang harus dibentuk, sehingga rasa keadilan tersebut dapat tercapai di dalam kehidupan masyarakat. Hal ini apabila dilihat dari hukum positif yang berlaku pada Undang-Undang, sedangkan Undang-Undang yang berlaku dalam Islam memiliki kaidahnya sendiri “Hukum Islam dapat berubah karena perubahan waktu, tempat, dan keadaan dimana keadaan masyarakat cenderung selalu berkembang karena menggunakan metode yang memperhatikan rasa keadilan”.
Dalam hal ini, Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah dipandang sebagai produk dalam Hukum Islam. Sebab, KHES merupakan rangkaian ketetapan Hukum yang disusun secara teratur oleh para Ulama, Menteri Agama, bahkan Mahkamah Agung sebagai sarana terbentuknya KHES. Tersusunnya KHES tersebut disesuaikan dengan kebutuhan yang ada pada umat Islam di Indonesia.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun dalam hal memiliki peran yang aktif memperhatikan kebutuhan masyarakat tersebut dengan Hukum Islam. Telah banyak fatwa DSN MUI yang dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat tersebut, dengan tujuan memberikan wadah dalam Negara Indonesia. Peran MUI dalam hal membantu pemerintah untuk membuat masyarakat mengerti dan turut atas kebijkan pemerintah.
Selain itu, MUI juga memiliki visi “terciptanya kondisi kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan yang baik, memperoleh ridlo dan ampunan Allah SWT menuju masyarakat berkualitas demi terwujudnya kejayaan Islam dan kaum muslimin dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai manifestasi dari rahmat bagi seluruh alam”.
c.         Fungsi Kompilasi
1.        Sebagai suatu langkah sasaran antara untuk mewujudkan kodifikasi dan juga unifikasi Hukum Islam yang berlaku untuk warga masyarakat. Dikarenakan mayoritas pendudukan Indonesia beragama Islam dimana keperluaan tentang ketentuan hukum nasional yang berlaku dapat menerapkan prinsip syari’ah.
2.        Sebagai pegangan dari para Hakim Pengadilan Agama dalam memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang menjadi kewenangannya.
3.        Sebagai pegangan bagi warga masyarakat mengenai Hukum Islam yang berlaku baginya di Indonesia sebagai hasil dari rumusan yang diambil dari berbagai Kitab.
D.      Kesimpulan
Pembahasan tentang tinjauan umum Hukum Islam pada Kompilasi Hukum Ekonomi Islam memiliki unsure penting dalam pembahasan historis, teoritis, sosiologis yang ada di Indonesia. Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah menjadi rujukan hukum pada kegiatan ekonomi menurut prinsip syariah dengan ketentuan yang telah tertuang di dalamnya.
Terbentuknya KHES (Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah) tidak lepas dari teori syariat, fiqih, dan qanun sebagai perkembangan penggunaan sumber hukum pada sistem hukum di sebuah Negara, utamanya Indonesia. Penggunaan sumber hukum yang pada awalnya bersumber pada Naqly dimana secara tekstual tidak dapat dijadikan ketentuan hukum dalam sistem hukum Indonesia dikarena pembahasan yang masih global atau mujmal.
Syariat dalam hal, telah dijadikan rujukan utama pada umumnya namun dalam praktisinya fiqih dan qanun sebagai penggerakan tercapainya hukum syariat tersebut. Hukum Islam pada peradaban sekarang  telah berubah, seperti yang telah diuraikan di atas pada pasal 29 ayat 1 dan 2, bahwa Hukum Islam masuk pada ketetapan hukum Indonesia.
E.       Daftar Pustaka
Abdurrahman. 1992. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Akademika Pressindo
Adms, Lewis Mulfored dkk. 1965. Webster’s Word University Dictionary. Washington DC: Publisher Company Inc dikutip oleh Wahid, Marzuki dan Rumadi. 2001. Fiqh Madzhab Negara. Yogyakarta: LKIS
Hamid, M Arfin. 2011. Hukum Islam Perspektif Ke-Indonesiaan (Sebuah Pengantar dalam Memahami Realitasnya di Indonesia). Makassar: PT UMITOHA
Himpunan Peraturan Perundang-Undangan. 2010. Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES).Bandung: Fokus Media
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat 1 dan 2
Internet





[1]Kurniawan Awawan, diposting senin, 3 Februari 2014, http://awawankurniawan.blogspot.co.id/2014/02/pengertian-kompilasi-hukum-islam.html diakses 11 Mei 2016
[2]Lewis Mulfored Adms dkk, Webster’s Word University Dictionary, (1965), hlm. 213 dikutip oleh Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Madzhab Negara, (2001), hal. 143
[3]Funk dan Wagnalls, Kamus New Standard dikutip http://www.pengertianpengertian.com/2011/12/pengertian-kompilasi.html, diakses 11 Mei 2016
[4]Surat Edaran Nomor 08 Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syari’ah
[5]Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 02 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syrai’ah
[6]Anggota IKAPI, Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES), (2010), hlm. 8-194
[7]Yusril Ihza Mahendra, Hukum Islam dan Pengaruhnya terhadap Hukum Nasional Indonesia, http://yusril.ihzamahendra.com/2007/12/05/hukum-islam-dan-pengaruhnya-terhadap-hukum-nasional-indonesia/, diakses 14 Mei 2016

Wakaf Uang dalam Tinjauan Fiqih Kontemporer

http://schwisnu.blogspot.co.id/2014/12/wakaf-tunai-dan-pengentasan-kemiskinan.html

A.      Latar Belakang
Dari masa ke masa pada saat zaman Nabi Muhammad saw sampai sekarang ini istilah modern yang dikenal dengan wakaf telah banyak berkembang dari berbagai sisi. Wakaf itu sendiri oleh keseluruhan mazhab, dari mazhab Hanafi, mazhab Maliki, mazhab Syafi’i, dan mazhab Hambali yang menegaskan bahwa wakaf memiliki arti menahan harta yang dimiliki untuk diambil manfaatnya bagi kemashalatan umat dan agama.
Bahkan di dalam kitab suci umat Islam yang berupa Al Qur’an tidak ada pembahasan secara eksplisit istilah atau makna dari wakaf yang dapat dilihat dari jumlah ayat sebanyak 6236.[1] Adapun dalil yang digunakan dalam wakaf berupa dalil secara umum, salah satunya firman Allah SWT pada QS Al Baqarah [2]: 261,
Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah) adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap butir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia Nya) lagi Maha Mengetahui.
Wakaf dahulu hanya ditujukan pada benda-benda yang tidak bergerak dan realistis ada wujud benda tersebut, berupa tanah, bangunan rumah, kebun, masjid, sekolahan, rumah sakit, panti asuhan,dan sebagainya. Namun, sekarang ini harta benda yang dapat diwakafkan dapat beraneka ragam disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat sekarang ini, dengan esensi yang sama bahwa wakaf yang dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT atau fii sabilillah.
Selain, ayat di atas masih terdapat ayat di dalam Al Qur’an yang dijadikan rujukan oleh fuqaha untuk dijadikan landasan hukum. Seperti QS Al Baqarah [2]: 267 “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di Jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik…) , bahwa Al Sa’di mengatkan dalam ayat ini Allah memotivasi hamba-Nya untuk berinfak.[2] Kata  infaq digunakan dalam ayat ini karena ada makna nafkah, akan tetapi nafkah dalam ayat ini diartikan juga sebagai wakaf. Selain, itu kata zakat dan sedekah pun digunakan untuk memberikan ketentuan hukum pada pengeluaran fatwa wakaf di dalam zaman sekarang ini sehingga harta benda yang digunakan dapat dijadikan benda yang diwakafkan (mauquf ‘alaih).
Dilihat dari perkembangan wakaf sekarang, mauquf ‘alaih  menggunakan uang sebagai harta benda yang diwakafkan. Kemudian dikelola oleh Nadhir sebagai orang yang mengelola harta wakaf tersebut dimana keuntungan dari pengelolaan harta wakaf diberikan kepada orang yang membutuhkan. Bahwa wakaf uang telah berkembang sejak abad ke-15 di Negara Turki dimana keuntungan dari harta wakaf tersebut telah digunakan untuk menghidupi berbagai pelayanan publik dan menopang pembiayaan berbagai bangunan seni dan budaya.[3]
Sedangkan, di Indonesia wakaf uang baru terlihat pada abad ke-20 dengan dikeluarkan fatwa oleh MUI tentang diperbolehkannya wakaf uang dengan syarat nilai pokok wakaf harus dijamin kelestariannya.[4] Bahkan telah ada Undang-Undang yang mengatur tentang wakaf di Indonesia yang berlandaskan pada Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006. Walaupun demikian, masyarakat Indonesia belum menerima secara utuh terhadap wakaf uang dibandingkan dengan wakaf tanah.
Oleh karena itu, pada kesempatan ini pemakalah bermaksud membahas secara umum dari segi fiqih kontemporer dalam ketentuan wakaf uang dimana uang pada saat ini merupakan alat tukar yang dengan mudah diwakafkan kapan, dimana, oleh siapa, dan dalam jumlah yang tidak ditentukan.
B.       Pokok Permasalahan
Dari latar belakang di atas bahwa pemakalah menarik garis pokok permasalahan pada bagaimana tinjauan umum wakaf uang dalam fiqih kontemporer di Imdonesia?
C.       Teori
a.         Definisi
Waqaf atau waqf secara harfiyah diarti berhenti, menahan, atau diam.[5] Secara terminologi, menurut Muhammad al Syarbini al Khatib bahwa wakaf adalah penahanan harta yang memungkinkan untuk dimanfaatkan disertai dengan kekalnya zat benda dengan memutuskan (memotong) tasharruf (penggolongan) dalam penjagaanya atas mushrif (pengelola) yang dibolehkan adanya.[6]
Landasan hukum yang digunakan secara umum oleh para ulama dimana mengandung makna wakaf dalam firman Allah SWT, kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.[7]
Dengan hadits Nabi saw. yang memberikan penegasan dalam hukum wakaf, dari Abu Hurairah ra. Nabi saw bersabda,” ketika seseorang meninggal dunia, terputuslah semua amalnya, kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya.[8]
Adapun rukun dan syarat wakaf yang berkaitan dengan proses terjadinya waqaf oleh waqif kepada nadhir, kalau pada Muhammad al Syarbini al Khatib menyebutnya dengan mushrif. Syarat-syarat wakaf yang bersifat umum, antara lain:[9]
a)    Wakaf tidak dibatasi dengan waktu tertentu sebab perbuatan wakaf berlaku untuk selamanya, tidak untuk waktu tertentu.
b)   Tujuan wakaf harus jelas, seperti mewakafkan sebidang tanah untuk masjid, mushala, pesantren, pekuburan (makam), dan yang lainnya.
c)    Wakaf harus segera dilaksanakan setelah dinyatakan oleh yang mewakafkan, tanpa digantungkan pada peristiwa yang akan terjadi di masa yang akan datang sebab pernyataan wakaf berakibat lepasnya hak milik bagi yang mewakafkan.
d)   Wakaf merupakan perkara yang wajib dilaksanakan tanpa adanya hak khiyar (membatalkan atau melangsungkan wakaf yang telah dinyatakan) sebab pernyataan wakaf berlaku seketika dan untuk selamanya.
Rukun-rukun wakaf dapat golongkan menjadi 4 (empat) golongan, meliputi:
a)    Orang yang berwakaf (wakif),
Adapun syarat yang harus ada pada orang yang mewakafkan harta benda wakaf, dalam fiqih kontemporer bahwa wakif  mempunyai kecakapan melakukan tabarru; yaitu melepaskan hak miliki tanpa imbalan materi. Orang yang dikatakan cakap bertindak tabarru’ adalah baligh, berakal sehat, dan tidak terpaksa.
Selain baligh, fiqih Islam juga mengenal rasyid, dalam hal ini baligh lebih ditekankan pada umur, sedangkan rasyid ditekankan pada kematangan pertimbangan akal, maka akan dipandang tepat bila dalam cakap bertabarru disyaratkan rasyid, yang dapat ditentukan dengan penyelidikan.
b)   Harta yang diwakafkan (mauquf),
Selain wakif, harta yang diwakafkan juga memiliki syarat-syarat yang harus ada bahwa mauquf merupakan harta yang bernilai, milik waqif, dan dapat digunakan dapat jangka waktu yang lama (bertahan lama). Mauquf tidak ada syarat harta yang berwujud namun lebih pada harta yang memiliki nilai sehingga dapat dimanfaatkan dan mendatangkan kemaslahatan atau keuntungan.
c)    Tujuan wakaf (mauquf ‘alaih),
Adapun syarat-syarat dari tujuan berwakaf bahwa tujuan wakaf tidak bertentangan dengan nilai-nilai ibadah, sebab esensi yang terkandung sama dengan amalan sedekah, infaq, dan zakat serta merupakan perkara-perkara menurut ajaran agama Islam.
d)   Pernyataan wakaf (shigat waqf),
Sedangkan shigat dalam pernyataan wakaf dapat menggunakan lisan, tulisan, ataupun dengan isyarat. Dengan catatan bahwa orang yang menerima wakaf (mauquf ‘alaih) telah mengerti maksud dari pemberi wakaf, dan wakaf dipandang telah terjadi apabila ada pernyataan ijab dari wakif, maka telah sah walaupun hanya dengan kehendak sepihak yakni wakif.
b.         Macam-Macam Wakaf
Menurut para ulama secara umum wakaf dibagi menjadi 2 (dua) bagian dilihat dari segi kepentingan, antara lain:
a)    Wakaf ahli (khusus),
Wakaf khusus atau wakaf keluarga adalah wakaf yang ditujukan kepada orang-orang tertentu, seorang atau terbilang, baik keluarga wakif maupun orang lain.
b)   Wakaf khairi (umum),
Wakaf umum atau khairi adalah wakaf yang sejak semula ditujukan untuk kepentingan-kepentingan umum dan tidak ditujukan kepada orang-orang tertentu.
c.         Bentuk-Bentuk Wakaf Uang
Wakaf uang dalam hal ini dapat dilaksanakan dengan berbagai cara, antara lain:[10]
a)    Wakaf uang secara langsung,
Dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara, yakni wakaf permanen dan wakaf berjangka. Wakaf permanen memiliki arti bahwa uang yang diserahkan wakif tersebut menjadi harta wakaf untuk selamanya, dengan kata lain tidak dapat ditarik kembali oleh wakif. Sedangkan wakaf berjangka bahwa uang yang diserahkan wakif hanya bersifat sementara, maka dari itu setelah lewat dari batas waktu tertentu uang tersebut dapat ditarik kembali oleh wakif.
b)   Wakaf Saham,
Merupakan manfaat yang diperoleh dari wakaf saham ini adalah dividen[11], capital gain[12], dan manfaat nonmaterial[13].
c)    Wakaf Takaful,
Wakaf takaful dilakukan dengan pola asuransi takaful atau asuransi syariah.
d)   Wakaf Pohon,
Sistem yang digunakan menggunakan pola mewakafkan sejumlah tanaman pohon tertentu (pohon kelapa, pohon sawit, pohon karet, pohon jati, dan lain-lain) kemudian uang hasil penjualan dari produksi tanaman tersebut dipergunakan untuk kemaslahatan umum.
d.        Wakaf Uang di Indonesia
Di Negara Indonesia sendiri, wakaf uang telah berkembang sejak abad ke-20 ketika dikeluarkannya fatwa MUI tentang kebolehan wakaf uang dan diperkuat oleh Undang-undang No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf. Terbentuknya Badan Wakaf Indonesia (BWI) sebagai pusat pengelola wakaf di Indonesia sehingga wakaf yang dilakukan oleh masyarakat dapat ditampung dan dikelola dengan baik.[14]
Untuk keamanan syarat yang ditetapkan bahwa nilai wakaf itu dapat dijamin utuh maka di Indonesia telah di bentuk Badan Pengawas Wakaf.
Wakaf uang di Indonesia awalnya dikembangkan oleh Dompet Dhuafa Republika yang memiliki misi kemanusiaan membantu golongan duafa melalui zakat, infaq, shadaqah, dan wakaf atau disingkat ZISWAF[15]. Berkembang  ke Sumatera Utara dengan Gerakan Wakaf Tunai Muhammadiyah Sumatera Utara dan kerjasama antara UMSU (Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara dengan Bank Muamalah Indonesia Cabang Medan untuk mengembangkan wakaf uang dari kalangan civitas dan masyarakat luas.
Wakaf saham dikenal sejak keluarkan Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006, yang menetapkan pula objek wakaf selain uang adalah obligasi syariah dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) dalam bentuk SBSN ijarah, SBSN Mudharabah, SBSN Musyarakah, SBSN Istishna, dan SBSN dua akad atau lebih.[16]
Wakaf uang berkembang tidak hanya pada sector saham namun juga pada perusahaan penjamin yakni asuransi, dikenal dengan wakaf takaful. Wakaf takaful mulai berkembang sejak munculnya ketetapan tentang asuransi syariah di Indonesia.
Selain wakaf tanah, dimana fiqih klasik sering menyebutnya dan menjadi pergerakan yang statis. Dalam hal ini, dengan fiqih kontemporer yang telah berkembang terkait perwakafan di Indonesia maka muncul Wakaf Pohon populerkan di daerah bandung yang terdapat Gerakan Wakaf Pohon (GWP). Modal yang digunakan berasal dari wakaf tunai masyarakat yang kemudian diinvestasikan dahulu dalam perbankan syariah. Keuntungan dari investasi tersebut digunakan untuk membeli benih pohon produktif bagi para petani yang selanjutnya menanam, memelihara, dan memanfaatkan hasilnya. Penanaman pohon tersebut diberi jarak sehingga dapat menghasilkan sumber tenaga biologis (bio-diesel) dan melakukan penanaman pohon-pohon penghijauan ditepi-tepi jalan kota.[17]
Perkembangan wakaf pohon menjadi alternatif yang digunakan di wilayah bandung dalam pelestarian lingkungan.
D.      Analisis
Dikarenakan Negara Indonesia memiliki keyakinan terhadap mazhab Syafi’i dan bahkan dikatakan mendominasi daripada mazhab Hanafi, Maliki, dan Hambali. Dapat dipahami pada definisi wakaf di atas bahwa Imam Syafi’i tidak menafikan keberadaan kata al habs (wakaf) dimana memiliki tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan sebagai amal kebaikan pada masa pra Islam.
Wakaf dikenal pada masa Islam dalam bentuk sedekah, yang pertama kali dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. berupa sebidang tanah.[18] Kemudian ketentuan-ketentuan yang terkandung di dalam wakaf itu sendiri telah ada pada masa dahulu. Wakaf dalam mazhab Syafi’i yang dijelaskan oleh Imam Nawawi adalah menahan harta yang dapat diambil manfaatnya bukan untuk dirinya, sementara benda itu tetap ada, dan digunakan manfaatnya untuk kebaikan dan mendekatkan diri kepada Allah.[19]
Dalam penetapan hukum pada wakaf oleh mayoritas ulama dari kalangan Syafi’iyah bahwa wakaf hukumnya sunnah dan didukung oleh sebagian kalangan Malikiyah, Hanabilah, Hanafiyah. Pada ayat 92 QS Ali Imran oleh Imam Qurthubi dikatakan bahwa terdapat petunjuk yang membolehkan penerapan makna tekstual, beserta cakupan maknanya secara umum. Imam Nawawi dalam menanggapi hadits yang telah diuraikan di atas bahwa hadits tersebut terdapat dalil yang menunjukkan keabsahan wakaf, serta betapa besar pahal yang diperoleh darinya.[20]
Selain itu, wakaf juga memiliki hikmah yang terkandung di dalam pelaksanaannya. Dalam hukum Islam dikenal dengan prinsip jalb al mashalih wa dar’u al mafasid[21] dan tidak terlepas dari 3 (tiga) hal pokok, antara lain:[22]
a.         Menjaga maslahat dharuriyyah (primer),
Meliputi mempertahankan agama, jiwa, keturunan, harta, dan akal atau sering dikenal dengan maqasid syariah.
b.         Maslahat hajjiyah (sekunder),
Yaitu maslahat yang diperlukan manusia untuk memperoleh kelonggaran hidup dan meminimalisasi kesulitas. Dengan memberikan kemudahan kepada manusia seperti rukhshah  dalam menjalankan perintah agama, memberikan kemudahan dalam melakukan transaksi ekonomi (perdagangan), dalam pengembangan wakaf.
c.         Maslahat tahsiniyyah (tersier),
Yaitu mengambil sesuatu yang memberikan nilai tambah dalam kehidupan dan menghindarkan diri dari kehinaan. Merealiasasikan segala sesuatu yang dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT melalui amal jariyah, amalan sunnah, perintah bersedekah sampai pada mewakafkan harta benda untuk kepentingan umat Islam.
Selanjutnya pada syarat-syarat dan rukun wakaf oleh kalangan Syafi’iyah memiliki pendapat bahwa wakaf tidak sah kecuali dengan perkataan orang yang sanggup mengucapkan dengan ucapan yang bisa dipahami, dikarena suatu transaksi pada barang dan kemanfaatannya dibutuhkan shigati (lafadz). Untuk isyarat dan tulisan menurut pendapat kalangan Syafi’iyah masih tergolong dalam lafadz yang dimaksudkan.
Kemudian pada macam-macam wakaf, yakni wakaf untuk kepentingan keluarga atau khusus dan wakaf untuk kepentingan umum oleh para fuqaha sepakat bahwa wakaf yang digunakan bagi kalangan luas (tidak terbatas), seperti kaum miskin, atau wakaf yang tidak dapat digambarkan cara penerimaan.
E.       Penutup
a.         Kesimpulan
Dari uraian yang telah dijelaskan pada teori dan analisis di atas pada makalah ini, kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa wakaf uang apabila ditinjau dari fiqih kontemporer pada mazhab Syafi’i, Maliki, Hambali, dan Hanafi khususnya dari kalangan Syafi’iyah bahwa wakaf uang diperolehkan. Dapat dilihat dari definisi yang digunakan oleh Muhammad Al Syarbin al Khatib, bahwa harta wakaf tetap dan tidak diperolehkan habis atau hilang sehingga manfaat dari harta wakaf tersebut dapat dimanfaat untuk kemaslahatan umat.
Wakaf uang secara perkembangannya pun dibedakan menjadi 4 (empat) yakni, wakaf uang, wakaf saham, wakaf asuransi, dan wakaf pohon. Secara Implementasinya bersumber dari wakaf tunai yang berupa uang, namun menjadi bervariasi disesuaikan dengan wujud wakaf itu sendiri..
b.         Saran
Saran dari pemakalah dari kajian tentang tinjauan wakaf uang tersebut, masih dapat dikaji dari beberapa sudut pandang dan masih dapat dikembangkan sehingga kelestarian atau sosialisasi wakaf menjadi lebih dikenal oleh masyarakat, tidak hanya pada infaq, zakat, dan shadaqah.
Kajian tentang wakaf uang saat ini sangat butuh perhatian dari berbagai bidang studi, karena hal ini tidak lepas dari pemanfaatannya. Dapat berupa pohon, rumah sakit, yayasan, panti asuhan, sekolah, dan sebagainya yang masih dipandang perlu.
F.        Daftar Pustaka
Gusfahmi. 2007. Pajak Menurut Syariah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Handayani, Sri. 2008. Tesis. Pelaksanaan Wakaf Uang dalam Perspektif Hukum Islam setelah berlakunya Undang-Undang No.42 Tahun 2004 tentang Wakaf di Kota Semarang. Semarang: Pascasarjana Universitas Diponegoro
Kabisi, Muhammad Abid Abdullah Al. 2004. Hukum Wakaf, Kajian Kontemporer Pertama dan Terlengkap tentang Fungsi dan Pengelolaan Wakaf serta Penyelesaian Atas Senketa Wakaf (penerjemah oleh Ahrul Sani Faturrahman dan rekan-rekan KMCP dari ahkam al waqf al syariah al islamiyah). Jakarta: Dompet Dhuafa Replubika dan IIMaN
Lubis, Suhrawardi K, dkk. 2010. Wakaf dan Pemberdayaan Umat. Jakarta: Sinar Grafika
Pengkajian Hukum tentang Aspek Hukum Wakaf Uang oleh Tim Pengkaji dibimbing Prof. Dr. Uswatun Hasanah, M.A. 2011. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI
Peraturan Badan Wakaf Indonesia No.1 Tahun 2009 tentang Pedoman dan Pengelola Benda Harta Wakaf Bergerak berupa Uang
Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006
Romadhoni, Latif Ali. 2015. Skripsi. Studi Analisis Fatwan Majelis Ulama Indonesia Tahun 2002 tentang Wakaf Uang. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga
Suhendi, Hendi. 2014. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf
Internet :
http://www.repository.unisba.ac.id



[1] Suhrawardi K. Lubis, dkk, Wakaf dan Pemberdayaan Umat, hal. 7
[2] Dikutip oleh Suhrawardi dari Al Sa’di, op.cit, hal 125
[3] Dikutip oleh Suhrawardi dari Tuti A. Najib dan Ridwan al Makssary (ed), Wakaf, Tuhan, dan Agenda Kemanusiaan Studi tentang Wakaf dalam Perspektif Keadilan Sosial di Indonesia, Jakarta: CSRC UIN Syarif Hidayatullah, 2006, hal 50
[4] Suhrawardi, dkk, Wakaf dan Pemberdayaan Umat, 2010, hal. 104
[5] Gusfahmi, Pajak Menurut Syariah, hal. 134
[6] Dikutip oleh Prof. Dr. H. Hendi Suhendi dari Muhammad al Syarbini al Khatib, al ‘iqna fi hall al alfadz abi syuza , hal. 319
[7] QS. Ali Imran [3]: 92
[8] Hadits riwayat Muslim, Ibn Maja, At Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ahmad
[9] Hendi Suhendi, fiqh muamalah, hal. 242-243
[10] Suhrawardi, Wakaf dan Pemberdayaan Umat, hal. 111-112
[11] Deviden adalah keuntungan yang dibagikan perusahaan kepada pemegang saham.
[12] Keuntungan yang diperoleh dari selisih jual beli.
[13] Yang dimaksud manfaat nonmaterial yaitu lahirnya kekuasaan/hak suara dalam menentukan jalannya perusahaan.
[14] Pasal 47
[15] Suhrawardi, hal. 111
[16] Suhrawardi, hal. 112
[17] Sumber dari Irfan Abu Bakar, tt: 2-3
[18] Ahkam al hakam, Ibn Daqiq al Id, Jilid 3, hal. 209 dan ahkam al auqof, al khashaf, hal. 1 dikutip oleh Muhammad Abid Abdullah Al Kqbisi
[19] Taisir al wuquf ‘ala gawamidi ahkam al wuquf, Al Minawi, hal. 3 ditranskrip di perpustakaan Al Azhar dengan nomor 709/5581 dikutip oleh Muhammad Abid Abdullah Al Kubisi
[20] Muhammad Abid Abdullah Al Kabisi, hal. 65
[21] Artinya menjaga kemaslahatan dan menangkal kerusakan (lihat qawa’id ahkam, Izz bin Abdussalam, jilid 1, hal. 9)
[22] Muhammad Abid Abdullah Al Kabisi, hal. 81