Friday, May 20, 2016

Wakaf Uang dalam Tinjauan Fiqih Kontemporer

http://schwisnu.blogspot.co.id/2014/12/wakaf-tunai-dan-pengentasan-kemiskinan.html

A.      Latar Belakang
Dari masa ke masa pada saat zaman Nabi Muhammad saw sampai sekarang ini istilah modern yang dikenal dengan wakaf telah banyak berkembang dari berbagai sisi. Wakaf itu sendiri oleh keseluruhan mazhab, dari mazhab Hanafi, mazhab Maliki, mazhab Syafi’i, dan mazhab Hambali yang menegaskan bahwa wakaf memiliki arti menahan harta yang dimiliki untuk diambil manfaatnya bagi kemashalatan umat dan agama.
Bahkan di dalam kitab suci umat Islam yang berupa Al Qur’an tidak ada pembahasan secara eksplisit istilah atau makna dari wakaf yang dapat dilihat dari jumlah ayat sebanyak 6236.[1] Adapun dalil yang digunakan dalam wakaf berupa dalil secara umum, salah satunya firman Allah SWT pada QS Al Baqarah [2]: 261,
Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah) adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap butir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia Nya) lagi Maha Mengetahui.
Wakaf dahulu hanya ditujukan pada benda-benda yang tidak bergerak dan realistis ada wujud benda tersebut, berupa tanah, bangunan rumah, kebun, masjid, sekolahan, rumah sakit, panti asuhan,dan sebagainya. Namun, sekarang ini harta benda yang dapat diwakafkan dapat beraneka ragam disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat sekarang ini, dengan esensi yang sama bahwa wakaf yang dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT atau fii sabilillah.
Selain, ayat di atas masih terdapat ayat di dalam Al Qur’an yang dijadikan rujukan oleh fuqaha untuk dijadikan landasan hukum. Seperti QS Al Baqarah [2]: 267 “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di Jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik…) , bahwa Al Sa’di mengatkan dalam ayat ini Allah memotivasi hamba-Nya untuk berinfak.[2] Kata  infaq digunakan dalam ayat ini karena ada makna nafkah, akan tetapi nafkah dalam ayat ini diartikan juga sebagai wakaf. Selain, itu kata zakat dan sedekah pun digunakan untuk memberikan ketentuan hukum pada pengeluaran fatwa wakaf di dalam zaman sekarang ini sehingga harta benda yang digunakan dapat dijadikan benda yang diwakafkan (mauquf ‘alaih).
Dilihat dari perkembangan wakaf sekarang, mauquf ‘alaih  menggunakan uang sebagai harta benda yang diwakafkan. Kemudian dikelola oleh Nadhir sebagai orang yang mengelola harta wakaf tersebut dimana keuntungan dari pengelolaan harta wakaf diberikan kepada orang yang membutuhkan. Bahwa wakaf uang telah berkembang sejak abad ke-15 di Negara Turki dimana keuntungan dari harta wakaf tersebut telah digunakan untuk menghidupi berbagai pelayanan publik dan menopang pembiayaan berbagai bangunan seni dan budaya.[3]
Sedangkan, di Indonesia wakaf uang baru terlihat pada abad ke-20 dengan dikeluarkan fatwa oleh MUI tentang diperbolehkannya wakaf uang dengan syarat nilai pokok wakaf harus dijamin kelestariannya.[4] Bahkan telah ada Undang-Undang yang mengatur tentang wakaf di Indonesia yang berlandaskan pada Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006. Walaupun demikian, masyarakat Indonesia belum menerima secara utuh terhadap wakaf uang dibandingkan dengan wakaf tanah.
Oleh karena itu, pada kesempatan ini pemakalah bermaksud membahas secara umum dari segi fiqih kontemporer dalam ketentuan wakaf uang dimana uang pada saat ini merupakan alat tukar yang dengan mudah diwakafkan kapan, dimana, oleh siapa, dan dalam jumlah yang tidak ditentukan.
B.       Pokok Permasalahan
Dari latar belakang di atas bahwa pemakalah menarik garis pokok permasalahan pada bagaimana tinjauan umum wakaf uang dalam fiqih kontemporer di Imdonesia?
C.       Teori
a.         Definisi
Waqaf atau waqf secara harfiyah diarti berhenti, menahan, atau diam.[5] Secara terminologi, menurut Muhammad al Syarbini al Khatib bahwa wakaf adalah penahanan harta yang memungkinkan untuk dimanfaatkan disertai dengan kekalnya zat benda dengan memutuskan (memotong) tasharruf (penggolongan) dalam penjagaanya atas mushrif (pengelola) yang dibolehkan adanya.[6]
Landasan hukum yang digunakan secara umum oleh para ulama dimana mengandung makna wakaf dalam firman Allah SWT, kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.[7]
Dengan hadits Nabi saw. yang memberikan penegasan dalam hukum wakaf, dari Abu Hurairah ra. Nabi saw bersabda,” ketika seseorang meninggal dunia, terputuslah semua amalnya, kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya.[8]
Adapun rukun dan syarat wakaf yang berkaitan dengan proses terjadinya waqaf oleh waqif kepada nadhir, kalau pada Muhammad al Syarbini al Khatib menyebutnya dengan mushrif. Syarat-syarat wakaf yang bersifat umum, antara lain:[9]
a)    Wakaf tidak dibatasi dengan waktu tertentu sebab perbuatan wakaf berlaku untuk selamanya, tidak untuk waktu tertentu.
b)   Tujuan wakaf harus jelas, seperti mewakafkan sebidang tanah untuk masjid, mushala, pesantren, pekuburan (makam), dan yang lainnya.
c)    Wakaf harus segera dilaksanakan setelah dinyatakan oleh yang mewakafkan, tanpa digantungkan pada peristiwa yang akan terjadi di masa yang akan datang sebab pernyataan wakaf berakibat lepasnya hak milik bagi yang mewakafkan.
d)   Wakaf merupakan perkara yang wajib dilaksanakan tanpa adanya hak khiyar (membatalkan atau melangsungkan wakaf yang telah dinyatakan) sebab pernyataan wakaf berlaku seketika dan untuk selamanya.
Rukun-rukun wakaf dapat golongkan menjadi 4 (empat) golongan, meliputi:
a)    Orang yang berwakaf (wakif),
Adapun syarat yang harus ada pada orang yang mewakafkan harta benda wakaf, dalam fiqih kontemporer bahwa wakif  mempunyai kecakapan melakukan tabarru; yaitu melepaskan hak miliki tanpa imbalan materi. Orang yang dikatakan cakap bertindak tabarru’ adalah baligh, berakal sehat, dan tidak terpaksa.
Selain baligh, fiqih Islam juga mengenal rasyid, dalam hal ini baligh lebih ditekankan pada umur, sedangkan rasyid ditekankan pada kematangan pertimbangan akal, maka akan dipandang tepat bila dalam cakap bertabarru disyaratkan rasyid, yang dapat ditentukan dengan penyelidikan.
b)   Harta yang diwakafkan (mauquf),
Selain wakif, harta yang diwakafkan juga memiliki syarat-syarat yang harus ada bahwa mauquf merupakan harta yang bernilai, milik waqif, dan dapat digunakan dapat jangka waktu yang lama (bertahan lama). Mauquf tidak ada syarat harta yang berwujud namun lebih pada harta yang memiliki nilai sehingga dapat dimanfaatkan dan mendatangkan kemaslahatan atau keuntungan.
c)    Tujuan wakaf (mauquf ‘alaih),
Adapun syarat-syarat dari tujuan berwakaf bahwa tujuan wakaf tidak bertentangan dengan nilai-nilai ibadah, sebab esensi yang terkandung sama dengan amalan sedekah, infaq, dan zakat serta merupakan perkara-perkara menurut ajaran agama Islam.
d)   Pernyataan wakaf (shigat waqf),
Sedangkan shigat dalam pernyataan wakaf dapat menggunakan lisan, tulisan, ataupun dengan isyarat. Dengan catatan bahwa orang yang menerima wakaf (mauquf ‘alaih) telah mengerti maksud dari pemberi wakaf, dan wakaf dipandang telah terjadi apabila ada pernyataan ijab dari wakif, maka telah sah walaupun hanya dengan kehendak sepihak yakni wakif.
b.         Macam-Macam Wakaf
Menurut para ulama secara umum wakaf dibagi menjadi 2 (dua) bagian dilihat dari segi kepentingan, antara lain:
a)    Wakaf ahli (khusus),
Wakaf khusus atau wakaf keluarga adalah wakaf yang ditujukan kepada orang-orang tertentu, seorang atau terbilang, baik keluarga wakif maupun orang lain.
b)   Wakaf khairi (umum),
Wakaf umum atau khairi adalah wakaf yang sejak semula ditujukan untuk kepentingan-kepentingan umum dan tidak ditujukan kepada orang-orang tertentu.
c.         Bentuk-Bentuk Wakaf Uang
Wakaf uang dalam hal ini dapat dilaksanakan dengan berbagai cara, antara lain:[10]
a)    Wakaf uang secara langsung,
Dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara, yakni wakaf permanen dan wakaf berjangka. Wakaf permanen memiliki arti bahwa uang yang diserahkan wakif tersebut menjadi harta wakaf untuk selamanya, dengan kata lain tidak dapat ditarik kembali oleh wakif. Sedangkan wakaf berjangka bahwa uang yang diserahkan wakif hanya bersifat sementara, maka dari itu setelah lewat dari batas waktu tertentu uang tersebut dapat ditarik kembali oleh wakif.
b)   Wakaf Saham,
Merupakan manfaat yang diperoleh dari wakaf saham ini adalah dividen[11], capital gain[12], dan manfaat nonmaterial[13].
c)    Wakaf Takaful,
Wakaf takaful dilakukan dengan pola asuransi takaful atau asuransi syariah.
d)   Wakaf Pohon,
Sistem yang digunakan menggunakan pola mewakafkan sejumlah tanaman pohon tertentu (pohon kelapa, pohon sawit, pohon karet, pohon jati, dan lain-lain) kemudian uang hasil penjualan dari produksi tanaman tersebut dipergunakan untuk kemaslahatan umum.
d.        Wakaf Uang di Indonesia
Di Negara Indonesia sendiri, wakaf uang telah berkembang sejak abad ke-20 ketika dikeluarkannya fatwa MUI tentang kebolehan wakaf uang dan diperkuat oleh Undang-undang No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf. Terbentuknya Badan Wakaf Indonesia (BWI) sebagai pusat pengelola wakaf di Indonesia sehingga wakaf yang dilakukan oleh masyarakat dapat ditampung dan dikelola dengan baik.[14]
Untuk keamanan syarat yang ditetapkan bahwa nilai wakaf itu dapat dijamin utuh maka di Indonesia telah di bentuk Badan Pengawas Wakaf.
Wakaf uang di Indonesia awalnya dikembangkan oleh Dompet Dhuafa Republika yang memiliki misi kemanusiaan membantu golongan duafa melalui zakat, infaq, shadaqah, dan wakaf atau disingkat ZISWAF[15]. Berkembang  ke Sumatera Utara dengan Gerakan Wakaf Tunai Muhammadiyah Sumatera Utara dan kerjasama antara UMSU (Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara dengan Bank Muamalah Indonesia Cabang Medan untuk mengembangkan wakaf uang dari kalangan civitas dan masyarakat luas.
Wakaf saham dikenal sejak keluarkan Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006, yang menetapkan pula objek wakaf selain uang adalah obligasi syariah dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) dalam bentuk SBSN ijarah, SBSN Mudharabah, SBSN Musyarakah, SBSN Istishna, dan SBSN dua akad atau lebih.[16]
Wakaf uang berkembang tidak hanya pada sector saham namun juga pada perusahaan penjamin yakni asuransi, dikenal dengan wakaf takaful. Wakaf takaful mulai berkembang sejak munculnya ketetapan tentang asuransi syariah di Indonesia.
Selain wakaf tanah, dimana fiqih klasik sering menyebutnya dan menjadi pergerakan yang statis. Dalam hal ini, dengan fiqih kontemporer yang telah berkembang terkait perwakafan di Indonesia maka muncul Wakaf Pohon populerkan di daerah bandung yang terdapat Gerakan Wakaf Pohon (GWP). Modal yang digunakan berasal dari wakaf tunai masyarakat yang kemudian diinvestasikan dahulu dalam perbankan syariah. Keuntungan dari investasi tersebut digunakan untuk membeli benih pohon produktif bagi para petani yang selanjutnya menanam, memelihara, dan memanfaatkan hasilnya. Penanaman pohon tersebut diberi jarak sehingga dapat menghasilkan sumber tenaga biologis (bio-diesel) dan melakukan penanaman pohon-pohon penghijauan ditepi-tepi jalan kota.[17]
Perkembangan wakaf pohon menjadi alternatif yang digunakan di wilayah bandung dalam pelestarian lingkungan.
D.      Analisis
Dikarenakan Negara Indonesia memiliki keyakinan terhadap mazhab Syafi’i dan bahkan dikatakan mendominasi daripada mazhab Hanafi, Maliki, dan Hambali. Dapat dipahami pada definisi wakaf di atas bahwa Imam Syafi’i tidak menafikan keberadaan kata al habs (wakaf) dimana memiliki tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan sebagai amal kebaikan pada masa pra Islam.
Wakaf dikenal pada masa Islam dalam bentuk sedekah, yang pertama kali dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. berupa sebidang tanah.[18] Kemudian ketentuan-ketentuan yang terkandung di dalam wakaf itu sendiri telah ada pada masa dahulu. Wakaf dalam mazhab Syafi’i yang dijelaskan oleh Imam Nawawi adalah menahan harta yang dapat diambil manfaatnya bukan untuk dirinya, sementara benda itu tetap ada, dan digunakan manfaatnya untuk kebaikan dan mendekatkan diri kepada Allah.[19]
Dalam penetapan hukum pada wakaf oleh mayoritas ulama dari kalangan Syafi’iyah bahwa wakaf hukumnya sunnah dan didukung oleh sebagian kalangan Malikiyah, Hanabilah, Hanafiyah. Pada ayat 92 QS Ali Imran oleh Imam Qurthubi dikatakan bahwa terdapat petunjuk yang membolehkan penerapan makna tekstual, beserta cakupan maknanya secara umum. Imam Nawawi dalam menanggapi hadits yang telah diuraikan di atas bahwa hadits tersebut terdapat dalil yang menunjukkan keabsahan wakaf, serta betapa besar pahal yang diperoleh darinya.[20]
Selain itu, wakaf juga memiliki hikmah yang terkandung di dalam pelaksanaannya. Dalam hukum Islam dikenal dengan prinsip jalb al mashalih wa dar’u al mafasid[21] dan tidak terlepas dari 3 (tiga) hal pokok, antara lain:[22]
a.         Menjaga maslahat dharuriyyah (primer),
Meliputi mempertahankan agama, jiwa, keturunan, harta, dan akal atau sering dikenal dengan maqasid syariah.
b.         Maslahat hajjiyah (sekunder),
Yaitu maslahat yang diperlukan manusia untuk memperoleh kelonggaran hidup dan meminimalisasi kesulitas. Dengan memberikan kemudahan kepada manusia seperti rukhshah  dalam menjalankan perintah agama, memberikan kemudahan dalam melakukan transaksi ekonomi (perdagangan), dalam pengembangan wakaf.
c.         Maslahat tahsiniyyah (tersier),
Yaitu mengambil sesuatu yang memberikan nilai tambah dalam kehidupan dan menghindarkan diri dari kehinaan. Merealiasasikan segala sesuatu yang dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT melalui amal jariyah, amalan sunnah, perintah bersedekah sampai pada mewakafkan harta benda untuk kepentingan umat Islam.
Selanjutnya pada syarat-syarat dan rukun wakaf oleh kalangan Syafi’iyah memiliki pendapat bahwa wakaf tidak sah kecuali dengan perkataan orang yang sanggup mengucapkan dengan ucapan yang bisa dipahami, dikarena suatu transaksi pada barang dan kemanfaatannya dibutuhkan shigati (lafadz). Untuk isyarat dan tulisan menurut pendapat kalangan Syafi’iyah masih tergolong dalam lafadz yang dimaksudkan.
Kemudian pada macam-macam wakaf, yakni wakaf untuk kepentingan keluarga atau khusus dan wakaf untuk kepentingan umum oleh para fuqaha sepakat bahwa wakaf yang digunakan bagi kalangan luas (tidak terbatas), seperti kaum miskin, atau wakaf yang tidak dapat digambarkan cara penerimaan.
E.       Penutup
a.         Kesimpulan
Dari uraian yang telah dijelaskan pada teori dan analisis di atas pada makalah ini, kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa wakaf uang apabila ditinjau dari fiqih kontemporer pada mazhab Syafi’i, Maliki, Hambali, dan Hanafi khususnya dari kalangan Syafi’iyah bahwa wakaf uang diperolehkan. Dapat dilihat dari definisi yang digunakan oleh Muhammad Al Syarbin al Khatib, bahwa harta wakaf tetap dan tidak diperolehkan habis atau hilang sehingga manfaat dari harta wakaf tersebut dapat dimanfaat untuk kemaslahatan umat.
Wakaf uang secara perkembangannya pun dibedakan menjadi 4 (empat) yakni, wakaf uang, wakaf saham, wakaf asuransi, dan wakaf pohon. Secara Implementasinya bersumber dari wakaf tunai yang berupa uang, namun menjadi bervariasi disesuaikan dengan wujud wakaf itu sendiri..
b.         Saran
Saran dari pemakalah dari kajian tentang tinjauan wakaf uang tersebut, masih dapat dikaji dari beberapa sudut pandang dan masih dapat dikembangkan sehingga kelestarian atau sosialisasi wakaf menjadi lebih dikenal oleh masyarakat, tidak hanya pada infaq, zakat, dan shadaqah.
Kajian tentang wakaf uang saat ini sangat butuh perhatian dari berbagai bidang studi, karena hal ini tidak lepas dari pemanfaatannya. Dapat berupa pohon, rumah sakit, yayasan, panti asuhan, sekolah, dan sebagainya yang masih dipandang perlu.
F.        Daftar Pustaka
Gusfahmi. 2007. Pajak Menurut Syariah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Handayani, Sri. 2008. Tesis. Pelaksanaan Wakaf Uang dalam Perspektif Hukum Islam setelah berlakunya Undang-Undang No.42 Tahun 2004 tentang Wakaf di Kota Semarang. Semarang: Pascasarjana Universitas Diponegoro
Kabisi, Muhammad Abid Abdullah Al. 2004. Hukum Wakaf, Kajian Kontemporer Pertama dan Terlengkap tentang Fungsi dan Pengelolaan Wakaf serta Penyelesaian Atas Senketa Wakaf (penerjemah oleh Ahrul Sani Faturrahman dan rekan-rekan KMCP dari ahkam al waqf al syariah al islamiyah). Jakarta: Dompet Dhuafa Replubika dan IIMaN
Lubis, Suhrawardi K, dkk. 2010. Wakaf dan Pemberdayaan Umat. Jakarta: Sinar Grafika
Pengkajian Hukum tentang Aspek Hukum Wakaf Uang oleh Tim Pengkaji dibimbing Prof. Dr. Uswatun Hasanah, M.A. 2011. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI
Peraturan Badan Wakaf Indonesia No.1 Tahun 2009 tentang Pedoman dan Pengelola Benda Harta Wakaf Bergerak berupa Uang
Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006
Romadhoni, Latif Ali. 2015. Skripsi. Studi Analisis Fatwan Majelis Ulama Indonesia Tahun 2002 tentang Wakaf Uang. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga
Suhendi, Hendi. 2014. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf
Internet :
http://www.repository.unisba.ac.id



[1] Suhrawardi K. Lubis, dkk, Wakaf dan Pemberdayaan Umat, hal. 7
[2] Dikutip oleh Suhrawardi dari Al Sa’di, op.cit, hal 125
[3] Dikutip oleh Suhrawardi dari Tuti A. Najib dan Ridwan al Makssary (ed), Wakaf, Tuhan, dan Agenda Kemanusiaan Studi tentang Wakaf dalam Perspektif Keadilan Sosial di Indonesia, Jakarta: CSRC UIN Syarif Hidayatullah, 2006, hal 50
[4] Suhrawardi, dkk, Wakaf dan Pemberdayaan Umat, 2010, hal. 104
[5] Gusfahmi, Pajak Menurut Syariah, hal. 134
[6] Dikutip oleh Prof. Dr. H. Hendi Suhendi dari Muhammad al Syarbini al Khatib, al ‘iqna fi hall al alfadz abi syuza , hal. 319
[7] QS. Ali Imran [3]: 92
[8] Hadits riwayat Muslim, Ibn Maja, At Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ahmad
[9] Hendi Suhendi, fiqh muamalah, hal. 242-243
[10] Suhrawardi, Wakaf dan Pemberdayaan Umat, hal. 111-112
[11] Deviden adalah keuntungan yang dibagikan perusahaan kepada pemegang saham.
[12] Keuntungan yang diperoleh dari selisih jual beli.
[13] Yang dimaksud manfaat nonmaterial yaitu lahirnya kekuasaan/hak suara dalam menentukan jalannya perusahaan.
[14] Pasal 47
[15] Suhrawardi, hal. 111
[16] Suhrawardi, hal. 112
[17] Sumber dari Irfan Abu Bakar, tt: 2-3
[18] Ahkam al hakam, Ibn Daqiq al Id, Jilid 3, hal. 209 dan ahkam al auqof, al khashaf, hal. 1 dikutip oleh Muhammad Abid Abdullah Al Kqbisi
[19] Taisir al wuquf ‘ala gawamidi ahkam al wuquf, Al Minawi, hal. 3 ditranskrip di perpustakaan Al Azhar dengan nomor 709/5581 dikutip oleh Muhammad Abid Abdullah Al Kubisi
[20] Muhammad Abid Abdullah Al Kabisi, hal. 65
[21] Artinya menjaga kemaslahatan dan menangkal kerusakan (lihat qawa’id ahkam, Izz bin Abdussalam, jilid 1, hal. 9)
[22] Muhammad Abid Abdullah Al Kabisi, hal. 81

0 comments:

Post a Comment

Terima Kasih