A. Latar Belakang
Dari masa ke
masa pada saat zaman Nabi Muhammad saw sampai sekarang ini istilah modern yang
dikenal dengan wakaf telah banyak berkembang dari berbagai sisi. Wakaf itu
sendiri oleh keseluruhan mazhab, dari mazhab Hanafi, mazhab Maliki, mazhab
Syafi’i, dan mazhab Hambali yang menegaskan bahwa wakaf memiliki arti menahan
harta yang dimiliki untuk diambil manfaatnya bagi kemashalatan umat dan agama.
Bahkan di dalam
kitab suci umat Islam yang berupa Al Qur’an tidak ada pembahasan secara
eksplisit istilah atau makna dari wakaf yang dapat dilihat dari jumlah ayat
sebanyak 6236.[1]
Adapun dalil yang digunakan dalam wakaf berupa dalil secara umum, salah satunya
firman Allah SWT pada QS Al Baqarah [2]: 261,
Perumpamaan
(nafkah yang dikeluarkan oleh orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan
Allah) adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada
tiap-tiap butir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang
Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia Nya) lagi Maha Mengetahui.
Wakaf dahulu
hanya ditujukan pada benda-benda yang tidak bergerak dan realistis ada wujud
benda tersebut, berupa tanah, bangunan rumah, kebun, masjid, sekolahan, rumah
sakit, panti asuhan,dan sebagainya. Namun, sekarang ini harta benda yang dapat
diwakafkan dapat beraneka ragam disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat
sekarang ini, dengan esensi yang sama bahwa wakaf yang dilakukan untuk
mendekatkan diri kepada Allah SWT atau fii
sabilillah.
Selain, ayat di
atas masih terdapat ayat di dalam Al Qur’an yang dijadikan rujukan oleh fuqaha
untuk dijadikan landasan hukum. Seperti QS Al Baqarah [2]: 267 “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah
(di Jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik…) , bahwa Al
Sa’di mengatkan dalam ayat ini Allah memotivasi hamba-Nya untuk berinfak.[2]
Kata infaq digunakan dalam ayat ini
karena ada makna nafkah, akan tetapi nafkah dalam ayat ini diartikan juga
sebagai wakaf. Selain, itu kata zakat dan sedekah pun digunakan untuk
memberikan ketentuan hukum pada pengeluaran fatwa wakaf di dalam zaman sekarang
ini sehingga harta benda yang digunakan dapat dijadikan benda yang diwakafkan (mauquf ‘alaih).
Dilihat dari
perkembangan wakaf sekarang, mauquf
‘alaih menggunakan uang sebagai
harta benda yang diwakafkan. Kemudian dikelola oleh Nadhir sebagai orang yang
mengelola harta wakaf tersebut dimana keuntungan dari pengelolaan harta wakaf
diberikan kepada orang yang membutuhkan. Bahwa wakaf uang telah berkembang
sejak abad ke-15 di Negara Turki dimana keuntungan dari harta wakaf tersebut
telah digunakan untuk menghidupi berbagai pelayanan publik dan menopang
pembiayaan berbagai bangunan seni dan budaya.[3]
Sedangkan, di
Indonesia wakaf uang baru terlihat pada abad ke-20 dengan dikeluarkan fatwa
oleh MUI tentang diperbolehkannya wakaf uang dengan syarat nilai pokok wakaf
harus dijamin kelestariannya.[4]
Bahkan telah ada Undang-Undang yang mengatur tentang wakaf di Indonesia yang
berlandaskan pada Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah No.
42 Tahun 2006. Walaupun demikian, masyarakat Indonesia belum menerima secara
utuh terhadap wakaf uang dibandingkan dengan wakaf tanah.
Oleh karena
itu, pada kesempatan ini pemakalah bermaksud membahas secara umum dari segi
fiqih kontemporer dalam ketentuan wakaf uang dimana uang pada saat ini
merupakan alat tukar yang dengan mudah diwakafkan kapan, dimana, oleh siapa,
dan dalam jumlah yang tidak ditentukan.
B. Pokok
Permasalahan
Dari
latar belakang di atas bahwa pemakalah menarik garis pokok permasalahan pada
bagaimana tinjauan umum wakaf uang dalam fiqih kontemporer di Imdonesia?
C. Teori
a.
Definisi
Waqaf atau waqf secara harfiyah diarti berhenti,
menahan, atau diam.[5]
Secara terminologi, menurut Muhammad al Syarbini al Khatib bahwa wakaf adalah
penahanan harta yang memungkinkan untuk dimanfaatkan disertai dengan kekalnya
zat benda dengan memutuskan (memotong) tasharruf
(penggolongan) dalam penjagaanya atas mushrif
(pengelola) yang dibolehkan adanya.[6]
Landasan hukum
yang digunakan secara umum oleh para ulama dimana mengandung makna wakaf dalam
firman Allah SWT, kamu sekali-kali tidak
sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian
harta yang kamu cintai.[7]
Dengan hadits
Nabi saw. yang memberikan penegasan dalam hukum wakaf, dari Abu Hurairah ra.
Nabi saw bersabda,” ketika seseorang
meninggal dunia, terputuslah semua amalnya, kecuali tiga perkara: sedekah
jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya.[8]
Adapun rukun
dan syarat wakaf yang berkaitan dengan proses terjadinya waqaf oleh waqif kepada nadhir, kalau pada Muhammad al Syarbini al Khatib menyebutnya
dengan mushrif. Syarat-syarat wakaf
yang bersifat umum, antara lain:[9]
a)
Wakaf tidak dibatasi dengan waktu tertentu
sebab perbuatan wakaf berlaku untuk selamanya, tidak untuk waktu tertentu.
b)
Tujuan wakaf harus jelas, seperti mewakafkan
sebidang tanah untuk masjid, mushala, pesantren, pekuburan (makam), dan yang
lainnya.
c)
Wakaf harus segera dilaksanakan setelah
dinyatakan oleh yang mewakafkan, tanpa digantungkan pada peristiwa yang akan
terjadi di masa yang akan datang sebab pernyataan wakaf berakibat lepasnya hak
milik bagi yang mewakafkan.
d)
Wakaf merupakan perkara yang wajib dilaksanakan
tanpa adanya hak khiyar (membatalkan
atau melangsungkan wakaf yang telah dinyatakan) sebab pernyataan wakaf berlaku
seketika dan untuk selamanya.
Rukun-rukun
wakaf dapat golongkan menjadi 4 (empat) golongan, meliputi:
a)
Orang yang berwakaf (wakif),
Adapun syarat yang harus ada pada orang yang
mewakafkan harta benda wakaf, dalam fiqih kontemporer bahwa wakif mempunyai kecakapan melakukan tabarru; yaitu melepaskan hak miliki
tanpa imbalan materi. Orang yang dikatakan cakap bertindak tabarru’ adalah baligh, berakal sehat, dan tidak terpaksa.
Selain baligh, fiqih Islam juga mengenal
rasyid, dalam hal ini baligh lebih ditekankan pada umur, sedangkan rasyid
ditekankan pada kematangan pertimbangan akal, maka akan dipandang tepat bila
dalam cakap bertabarru disyaratkan rasyid, yang dapat ditentukan dengan
penyelidikan.
b)
Harta yang diwakafkan (mauquf),
Selain wakif,
harta yang diwakafkan juga memiliki syarat-syarat yang harus ada bahwa mauquf merupakan harta yang bernilai,
milik waqif, dan dapat digunakan
dapat jangka waktu yang lama (bertahan lama). Mauquf tidak ada syarat harta yang berwujud namun lebih pada harta
yang memiliki nilai sehingga dapat dimanfaatkan dan mendatangkan kemaslahatan atau
keuntungan.
c)
Tujuan wakaf (mauquf ‘alaih),
Adapun syarat-syarat dari tujuan berwakaf bahwa
tujuan wakaf tidak bertentangan dengan nilai-nilai ibadah, sebab esensi yang
terkandung sama dengan amalan sedekah, infaq, dan zakat serta merupakan
perkara-perkara menurut ajaran agama Islam.
d)
Pernyataan wakaf (shigat waqf),
Sedangkan shigat
dalam pernyataan wakaf dapat menggunakan lisan, tulisan, ataupun dengan
isyarat. Dengan catatan bahwa orang yang menerima wakaf (mauquf ‘alaih) telah mengerti maksud dari pemberi wakaf, dan wakaf
dipandang telah terjadi apabila ada pernyataan ijab dari wakif, maka telah sah walaupun hanya dengan kehendak sepihak yakni wakif.
b.
Macam-Macam Wakaf
Menurut para
ulama secara umum wakaf dibagi menjadi 2 (dua) bagian dilihat dari segi
kepentingan, antara lain:
a)
Wakaf ahli (khusus),
Wakaf khusus atau wakaf keluarga adalah wakaf
yang ditujukan kepada orang-orang tertentu, seorang atau terbilang, baik
keluarga wakif maupun orang lain.
b)
Wakaf khairi (umum),
Wakaf umum atau khairi adalah wakaf yang sejak
semula ditujukan untuk kepentingan-kepentingan umum dan tidak ditujukan kepada
orang-orang tertentu.
c.
Bentuk-Bentuk Wakaf Uang
Wakaf uang
dalam hal ini dapat dilaksanakan dengan berbagai cara, antara lain:[10]
a)
Wakaf uang secara langsung,
Dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara, yakni
wakaf permanen dan wakaf berjangka. Wakaf permanen memiliki arti bahwa uang
yang diserahkan wakif tersebut
menjadi harta wakaf untuk selamanya, dengan kata lain tidak dapat ditarik
kembali oleh wakif. Sedangkan wakaf
berjangka bahwa uang yang diserahkan wakif
hanya bersifat sementara, maka dari itu setelah lewat dari batas waktu tertentu
uang tersebut dapat ditarik kembali oleh wakif.
b)
Wakaf Saham,
Merupakan manfaat yang diperoleh dari wakaf
saham ini adalah dividen[11],
capital gain[12],
dan manfaat nonmaterial[13].
c)
Wakaf Takaful,
Wakaf takaful dilakukan dengan pola asuransi
takaful atau asuransi syariah.
d)
Wakaf Pohon,
Sistem yang digunakan menggunakan pola
mewakafkan sejumlah tanaman pohon tertentu (pohon kelapa, pohon sawit, pohon
karet, pohon jati, dan lain-lain) kemudian uang hasil penjualan dari produksi
tanaman tersebut dipergunakan untuk kemaslahatan umum.
d.
Wakaf Uang di Indonesia
Di Negara
Indonesia sendiri, wakaf uang telah berkembang sejak abad ke-20 ketika
dikeluarkannya fatwa MUI tentang kebolehan wakaf uang dan diperkuat oleh
Undang-undang No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf. Terbentuknya Badan Wakaf
Indonesia (BWI) sebagai pusat pengelola wakaf di Indonesia sehingga wakaf yang
dilakukan oleh masyarakat dapat ditampung dan dikelola dengan baik.[14]
Untuk keamanan
syarat yang ditetapkan bahwa nilai wakaf itu dapat dijamin utuh maka di
Indonesia telah di bentuk Badan Pengawas Wakaf.
Wakaf uang di
Indonesia awalnya dikembangkan oleh Dompet Dhuafa Republika yang memiliki misi
kemanusiaan membantu golongan duafa melalui zakat, infaq, shadaqah, dan wakaf
atau disingkat ZISWAF[15].
Berkembang ke Sumatera Utara dengan
Gerakan Wakaf Tunai Muhammadiyah Sumatera Utara dan kerjasama antara UMSU
(Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara dengan Bank Muamalah Indonesia Cabang
Medan untuk mengembangkan wakaf uang dari kalangan civitas dan masyarakat luas.
Wakaf saham
dikenal sejak keluarkan Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006, yang menetapkan
pula objek wakaf selain uang adalah obligasi syariah dan Surat Berharga Syariah
Negara (SBSN) dalam bentuk SBSN ijarah,
SBSN Mudharabah, SBSN Musyarakah, SBSN Istishna, dan SBSN dua akad atau lebih.[16]
Wakaf uang
berkembang tidak hanya pada sector saham namun juga pada perusahaan penjamin
yakni asuransi, dikenal dengan wakaf takaful. Wakaf takaful mulai berkembang
sejak munculnya ketetapan tentang asuransi syariah di Indonesia.
Selain wakaf
tanah, dimana fiqih klasik sering menyebutnya dan menjadi pergerakan yang
statis. Dalam hal ini, dengan fiqih kontemporer yang telah berkembang terkait
perwakafan di Indonesia maka muncul Wakaf Pohon populerkan di daerah bandung
yang terdapat Gerakan Wakaf Pohon (GWP). Modal yang digunakan berasal dari
wakaf tunai masyarakat yang kemudian diinvestasikan dahulu dalam perbankan
syariah. Keuntungan dari investasi tersebut digunakan untuk membeli benih pohon
produktif bagi para petani yang selanjutnya menanam, memelihara, dan
memanfaatkan hasilnya. Penanaman pohon tersebut diberi jarak sehingga dapat
menghasilkan sumber tenaga biologis (bio-diesel) dan melakukan penanaman
pohon-pohon penghijauan ditepi-tepi jalan kota.[17]
Perkembangan wakaf
pohon menjadi alternatif yang digunakan di wilayah bandung dalam pelestarian
lingkungan.
D. Analisis
Dikarenakan
Negara Indonesia memiliki keyakinan terhadap mazhab Syafi’i dan bahkan
dikatakan mendominasi daripada mazhab Hanafi, Maliki, dan Hambali. Dapat
dipahami pada definisi wakaf di atas bahwa Imam Syafi’i tidak menafikan
keberadaan kata al habs (wakaf)
dimana memiliki tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan sebagai amal
kebaikan pada masa pra Islam.
Wakaf
dikenal pada masa Islam dalam bentuk sedekah, yang pertama kali dilakukan oleh
Nabi Muhammad saw. berupa sebidang tanah.[18]
Kemudian ketentuan-ketentuan yang terkandung di dalam wakaf itu sendiri telah
ada pada masa dahulu. Wakaf dalam mazhab Syafi’i yang dijelaskan oleh Imam
Nawawi adalah menahan harta yang dapat diambil manfaatnya bukan untuk dirinya,
sementara benda itu tetap ada, dan digunakan manfaatnya untuk kebaikan dan
mendekatkan diri kepada Allah.[19]
Dalam
penetapan hukum pada wakaf oleh mayoritas ulama dari kalangan Syafi’iyah bahwa
wakaf hukumnya sunnah dan didukung oleh sebagian kalangan Malikiyah, Hanabilah,
Hanafiyah. Pada ayat 92 QS Ali Imran oleh Imam Qurthubi dikatakan bahwa
terdapat petunjuk yang membolehkan penerapan makna tekstual, beserta cakupan
maknanya secara umum. Imam Nawawi dalam menanggapi hadits yang telah diuraikan
di atas bahwa hadits tersebut terdapat dalil yang menunjukkan keabsahan wakaf,
serta betapa besar pahal yang diperoleh darinya.[20]
Selain
itu, wakaf juga memiliki hikmah yang terkandung di dalam pelaksanaannya. Dalam
hukum Islam dikenal dengan prinsip jalb
al mashalih wa dar’u al mafasid[21]
dan tidak terlepas dari 3 (tiga) hal pokok, antara lain:[22]
a.
Menjaga maslahat dharuriyyah (primer),
Meliputi mempertahankan agama, jiwa, keturunan,
harta, dan akal atau sering dikenal dengan maqasid
syariah.
b.
Maslahat hajjiyah
(sekunder),
Yaitu maslahat yang diperlukan manusia untuk
memperoleh kelonggaran hidup dan meminimalisasi kesulitas. Dengan memberikan
kemudahan kepada manusia seperti rukhshah
dalam menjalankan perintah agama,
memberikan kemudahan dalam melakukan transaksi ekonomi (perdagangan), dalam
pengembangan wakaf.
c.
Maslahat tahsiniyyah
(tersier),
Yaitu mengambil sesuatu yang memberikan nilai
tambah dalam kehidupan dan menghindarkan diri dari kehinaan. Merealiasasikan
segala sesuatu yang dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT melalui amal
jariyah, amalan sunnah, perintah bersedekah sampai pada mewakafkan harta benda
untuk kepentingan umat Islam.
Selanjutnya
pada syarat-syarat dan rukun wakaf oleh kalangan Syafi’iyah memiliki pendapat bahwa
wakaf tidak sah kecuali dengan perkataan orang yang sanggup mengucapkan dengan
ucapan yang bisa dipahami, dikarena suatu transaksi pada barang dan
kemanfaatannya dibutuhkan shigati (lafadz).
Untuk isyarat dan tulisan menurut pendapat kalangan Syafi’iyah masih tergolong
dalam lafadz yang dimaksudkan.
Kemudian pada
macam-macam wakaf, yakni wakaf untuk kepentingan keluarga atau khusus dan wakaf
untuk kepentingan umum oleh para fuqaha sepakat bahwa wakaf yang digunakan bagi
kalangan luas (tidak terbatas), seperti kaum miskin, atau wakaf yang tidak
dapat digambarkan cara penerimaan.
E. Penutup
a.
Kesimpulan
Dari uraian yang telah dijelaskan pada teori dan analisis di atas pada
makalah ini, kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa wakaf uang apabila
ditinjau dari fiqih kontemporer pada mazhab Syafi’i, Maliki, Hambali, dan
Hanafi khususnya dari kalangan Syafi’iyah bahwa wakaf uang diperolehkan. Dapat
dilihat dari definisi yang digunakan oleh Muhammad Al Syarbin al Khatib, bahwa
harta wakaf tetap dan tidak diperolehkan habis atau hilang sehingga manfaat
dari harta wakaf tersebut dapat dimanfaat untuk kemaslahatan umat.
Wakaf uang secara perkembangannya pun dibedakan menjadi 4 (empat) yakni,
wakaf uang, wakaf saham, wakaf asuransi, dan wakaf pohon. Secara
Implementasinya bersumber dari wakaf tunai yang berupa uang, namun menjadi
bervariasi disesuaikan dengan wujud wakaf itu sendiri..
b.
Saran
Saran dari pemakalah dari kajian tentang tinjauan wakaf uang tersebut,
masih dapat dikaji dari beberapa sudut pandang dan masih dapat dikembangkan
sehingga kelestarian atau sosialisasi wakaf menjadi lebih dikenal oleh
masyarakat, tidak hanya pada infaq, zakat, dan shadaqah.
Kajian tentang wakaf uang saat ini sangat butuh perhatian dari berbagai
bidang studi, karena hal ini tidak lepas dari pemanfaatannya. Dapat berupa
pohon, rumah sakit, yayasan, panti asuhan, sekolah, dan sebagainya yang masih
dipandang perlu.
F.
Daftar Pustaka
Gusfahmi.
2007. Pajak Menurut Syariah. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada
Handayani,
Sri. 2008. Tesis. Pelaksanaan Wakaf Uang
dalam Perspektif Hukum Islam setelah berlakunya Undang-Undang No.42 Tahun 2004
tentang Wakaf di Kota Semarang. Semarang: Pascasarjana Universitas
Diponegoro
Kabisi,
Muhammad Abid Abdullah Al. 2004. Hukum
Wakaf, Kajian Kontemporer Pertama dan Terlengkap tentang Fungsi dan Pengelolaan
Wakaf serta Penyelesaian Atas Senketa Wakaf (penerjemah oleh Ahrul Sani
Faturrahman dan rekan-rekan KMCP dari ahkam
al waqf al syariah al islamiyah). Jakarta: Dompet Dhuafa Replubika dan
IIMaN
Lubis,
Suhrawardi K, dkk. 2010. Wakaf dan
Pemberdayaan Umat. Jakarta: Sinar Grafika
Pengkajian
Hukum tentang Aspek Hukum Wakaf Uang oleh Tim Pengkaji dibimbing Prof. Dr.
Uswatun Hasanah, M.A. 2011. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia RI
Peraturan
Badan Wakaf Indonesia No.1 Tahun 2009 tentang Pedoman dan Pengelola Benda Harta
Wakaf Bergerak berupa Uang
Peraturan
Pemerintah No. 42 Tahun 2006
Romadhoni,
Latif Ali. 2015. Skripsi. Studi Analisis
Fatwan Majelis Ulama Indonesia Tahun 2002 tentang Wakaf Uang. Yogyakarta:
UIN Sunan Kalijaga
Suhendi,
Hendi. 2014. Fiqh Muamalah. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada
Undang-Undang
No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf
Internet :
http://www.repository.unisba.ac.id
[1]
Suhrawardi K. Lubis, dkk, Wakaf dan
Pemberdayaan Umat, hal. 7
[2]
Dikutip oleh Suhrawardi dari Al Sa’di, op.cit,
hal 125
[3]
Dikutip oleh Suhrawardi dari Tuti A. Najib dan Ridwan al Makssary (ed), Wakaf, Tuhan, dan Agenda Kemanusiaan Studi
tentang Wakaf dalam Perspektif Keadilan Sosial di Indonesia, Jakarta: CSRC
UIN Syarif Hidayatullah, 2006, hal 50
[4]
Suhrawardi, dkk, Wakaf dan Pemberdayaan
Umat, 2010, hal. 104
[5]
Gusfahmi, Pajak Menurut Syariah, hal.
134
[6]
Dikutip oleh Prof. Dr. H. Hendi Suhendi dari Muhammad al Syarbini al Khatib, al ‘iqna fi hall al alfadz abi syuza ,
hal. 319
[7]
QS. Ali Imran [3]: 92
[8]
Hadits riwayat Muslim, Ibn Maja, At Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ahmad
[9]
Hendi Suhendi, fiqh muamalah, hal.
242-243
[10]
Suhrawardi, Wakaf dan Pemberdayaan Umat,
hal. 111-112
[11] Deviden adalah keuntungan yang dibagikan
perusahaan kepada pemegang saham.
[12]
Keuntungan yang diperoleh dari selisih jual beli.
[13]
Yang dimaksud manfaat nonmaterial yaitu lahirnya kekuasaan/hak suara dalam
menentukan jalannya perusahaan.
[14]
Pasal 47
[15]
Suhrawardi, hal. 111
[16]
Suhrawardi, hal. 112
[17]
Sumber dari Irfan Abu Bakar, tt: 2-3
[18] Ahkam al hakam, Ibn Daqiq al Id, Jilid
3, hal. 209 dan ahkam al auqof, al
khashaf, hal. 1 dikutip oleh Muhammad Abid Abdullah Al Kqbisi
[19] Taisir al wuquf ‘ala gawamidi ahkam al wuquf,
Al Minawi, hal. 3 ditranskrip di perpustakaan Al Azhar dengan nomor 709/5581
dikutip oleh Muhammad Abid Abdullah Al Kubisi
[20]
Muhammad Abid Abdullah Al Kabisi, hal. 65
[21]
Artinya menjaga kemaslahatan dan menangkal kerusakan (lihat qawa’id ahkam, Izz bin Abdussalam, jilid
1, hal. 9)
[22]
Muhammad Abid Abdullah Al Kabisi, hal. 81
0 comments:
Post a Comment
Terima Kasih