A. Latar Belakang
Banyaknya Negara industri yang melakukan
peningkatan perekonomian dengan merapkan kebijaksanaan deregulasi dan
debirokrasasi serta sebagaian kecil sector swasta telah menjalankan program
pengendalian mutu terpadu sejak perkembangan Negara Jepang dalam penerapan
budaya kerja.[1]
Begitu juga dengan Indonesia dengan program budaya kerja melalui Keputasan
Menteri No. 4 tahun 1991 dengan tujuan untuk membangun sumber daya manusia yang
berkualitas.
Sejak saat itu mulai muncul kebijkan-kebijakan
baru di setiap Negara dalam rangka pembangunan sumber daya manusia yang
memiliki kualitas kerja tinggi. Membangun kinerja atau aktivitas kerja internal
perusahaan dan eksternal perusahaan yakni pada kolega atau mitra kerja.
Hal ini terlihat juga pada lembaga keuangan
bank ketika membentuk bank syariah. Pandangan masyarakat terhadap lembaga
keuangan syariah bank tidak hanya pada sistem atau operasional yang lebih
berbeda dari bank konvensional namun juga terlihat dari hubungan antara bank dengan
nasabah dalam bertransaksi.
Tidak hanya pada eksternal bank, bahkan
internal bank sekarang ini telah menjadikan sumber daya tenaga kerja menjadi
budaya kerja yang meninggalkan budaya kerja tradisional atau kuno.
Budaya kerja di bank syariah dewasa ini pun
menjadi salah satu perbedaan yang sekarang mulai berkembang.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas dapat
dirumuskan permasalahan yang timbul yakni meliputi bagaimana dampak deregulasi
kebijakan budaya kerja dalam lembaga keuangan syariah bank?
C. Fundamental
Budaya Kerja
Dasar
manusia itu diatur oleh sebuah hukum, yakni hukum positif yang telah ada dan
ditetapkan di suatu Negara Pemerintahan. Aturan yang mengatur manusia didasari
oleh 2 (dua) jenis hukum, meliputi hukum kodrat dan kebiasaan (budaya).[2]
Manusia ini yang membentuk suatu kelompok masyarakat serta memiliki kebiasaan
atau budaya-budaya yang bermacam-macam. Sebab itu, antara manusia dengan
kelompok masyarakat menjadi satu bagian yang berbeda dimana manusia merupakan
subjek pertanggung jawaban atas perilakunya sendiri, serta subjek dari harkat
dan martabatnya sendiri.[3]
Fundamental
yang dibentuk dalam setiap person
atau individu yakni manusia sehingga memiliki kesadaran akan suatu tanggung
jawab. Kesadaran yang ada pada masing-masing tenaga kerja yang menjadi pokok
dari terbentuknya perilaku parsipatif dalam sebuah perusahan. Selain itu,
manusia juga dalam hal ini sering disebut sebagai makhluk rasional yakni
menentukan ketaatan di dalam aturan hukum.[4]
Adanya
3 (tiga) karakteristik dari perbuatan yang dilakukan manusia, meliputi:[5]
1.
Pengetahuan, prasyarat hakiki supaya suatu
perbuatan dapat memiliki kualitas “manusiawi”.
2.
Perbuatan yang dikehendaki, kemampuan manusia
untuk berbuat sesuatu jika terdapat sesuatu yang mengharuskannya melakukan
perbuatan tersebut.
3.
Kebebasan,
Dari
karakteristik tersebut, maka setiap tenaga kerja memiliki cita-cita, harapan,
keinginan, dan kebutuhan yang harus ditampung oleh sebuah perusahaan. Lain
halnya dengan sebuah hukum yang sama artinya perintah yang berlandaskan
ketaatan dan kepatuhan. Apabila perintah atau hukum yang telah ditetapkan tidak
dipatuhi maka ada konsekuensi hukum atas perintah tersebut.
Dalam
hal ini hukum dilaksanakan secara vertical, artinya setiap ketentuan dari
manager yang diberikan kepada staff kerja menjadi beban kerja dan hal ini
mengganggu psikologis dan sosiologis baik staff kerja itu sendiri maupun
hubungan antar manager dengan staff.
Ketentuan
tersebut secara tidak tertulis bisa dikatakan tidak berfungsi sebagai hukum
yang berlaku namun ketentuan ini memiliki konsekuensi yang bersifat memaksa.[6]
Dalam hal ini, hukum dijadikan sebagai perintah yang diberikan kepada tenaga
kerja atau staff yang berlaku umum dan perintah tersebut terkandung keinginan
dan kehendak.
Perilaku
partisipatif berbeda dengan perintah, apabila hukum didasarkan pada perilaku partisipatif
maka hukum atau aturan tersebut akan diterima secara alamiah tanpa adanya
paksaan. Dikarenakan perintah akan membenturkan perbedaan dari keinginan setiap
pihak untuk mencapai tujuan.
Budaya
kerja yang baik akan membangun sumber daya manusia dengan seutuhnya sehingga
setiap pekerja memiliki kesadaran bahwa mereka berada dalam hubungan kerja yang
memiliki peran sebagai pemasok pelanggan.
Hubungan
secara horizontal atau partisipatif antara sumber daya manusia ini merupakan
budaya kerja modern yang saat ini dikembangkan sejak tahun 1985 di Indonesia.
Dampaknya pada pengambilan keputusan (decision
making) dilakukan dengan musyarawah untuk mufakat.
Adapun
budaya kerja yang baik diikuti dengan teladan yang baik pula, seperti paradigma
kepemimpinan menurut Edward Murrow bahwa
bilamana anda ingin menghimbau, hendaklah anda
bisa dipercaya, bilamana anda ingin dipercaya, hendaklah anda profesional atau
terampil, bilamana anda ingin dianggap profesional, hendaknya anda mampu
bekerja benar.
Budaya
kerja terbentuk tidak secara langsung namun melalui proses dan tahapan-tahapan.
Karena budaya kerja terbentuk dari tindakan-tindakan setiap person yang mengakibatkan
keberlangsungan kerja dan dipandang layak untuk diikuti.
Perbedaan
antara budaya kerja tradisional dengan budaya kerja modern atau partisipatif
dari tingkatannya, sebagai berikut:
1.
Tingkat rencana, adanya penentuan tujuan dan
sasaran serta strategi.
2.
Tingkat pelaksanaan, dalam melakukan pekerjaan.
3.
Tingkat pengecekan, melakukan penilaian
terhadap hasil kerja.
4.
Tingkat tingak lanjut, menindaklanjuti
pelaksanaan dari evaluasi kerja.
Pada
tingkat rencana (plan) kerja
tradisional lebih menekankan pada perintah yang memiliki konsekuensi kepatuhan,
sedangkan budaya kerja modern lebih pada tahapan rekomendasi > kerjasama
> partisipasi.
Tingkatan
pelaksanaan (do) pada kerja
tradisional = pengawasan > patuh. Berbeda dengan budaya kerja modern dimulai
dari dukungan > kerjasama > pengendalian diri.
Tingkat
pengecekan (check) yang dilakukan
kerja tradisional diawali dengan penilaian > pengucilan. Sedangkan pada
budaya kerja modern memberikan penghargaan > penilaian bersama >
penilaian sendiri.
Tingkat
tindak lanjut (act), dalam kerja
tradisional ada tradisi menghukum / memerintah > kepatuhan/pembelaan. Pada
budaya kerja modern memberikan tambahan dukungan/penghargaan > pemecahan
bersama > motivasi diri.
D. Perilaku
Partisipatif dalam Perbankan Syariah
Perilaku bisnis pada umumnya didasarkan pada
rangkaian keputusan yang dibuat oleh perusahaan. Dilihat dari kekuatan dan
tekanan eksternal yang memaksakan perilaku perusahaan, maka keputusan yang
diambil tersebut dipandu oleh hal-hal berikut :
1. Tujuan yang
akan dicapai,
2. Pedoman-pedoman
yang harus dipatuhi dan berasal dari luar perusahaan, seperti yang diamanatkan
oleh hukum yang berlaku.
3. Pedoman-pedoman
yang dibuat bersama dengan pihak lain, dalam bentuk perjanjian.
4. Pedoman-pedoman
yang patut dipatuhi, yang merupakan kebiasaan, falsafah perusahaan, budaya
perusahaan, dan etika bisnis. Proses pengambilan keputusan (decision making) itu secara konseptual
akan mengambil jalan rasional, yang selanjutnya dengan pertimbangan suatu nilai
yang dipercayai sebagai sesuatu yang patut dipertimbangkan akan membuahkan
keputusan akhir yang akan dijalankan oleh perusahaan dalam hal ini perbankan
syariah.
Adapun
dasar-dasar etika perbankan dalam perilaku kerjanya, bahwa bank merupakan
lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredir atau pinjaman dan
jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredarannya. Pokok usaha perbankan
tersebut yang menjadi perilaku bisnis dimana faktor kepercayaan dari
pihak-pihak lain seperti nasabah dan mitra usaha sebagai penunjang
berlangsungnya operasional bank itu sendiri.
Satu
sisi, para bankir dituntut memiliki peran dalam akhlak, moral, dan keahlian di
bidang perbankan atau keuangan. para bankir ini mempunyai misi untuk memberikan nasihat yang
objektif bagi nasabahnya dan harus mampu mendidk nasabahnya dalama arti dapay
memberikan penjelasan dibidang administrasi, pembukuan, pemasaran dan
lain-lain. Nasihat yang objektif adalah seorang bankir harus dapat bersikap
objektif, tidak memihak, jujur terhadap nasabah dan dapat memilih produk atau
jasa yang paling tepat bagi nasabahnya, artinya tidak memaksakan nasabah untuk
membeli apa saja yang ditawarkan oleh bankir tanpa mempertimbangkan kondisi dan
status nasabah. Bankir juga harus menjaga agar mekanisme arus surat-surat
berharga ( flow of documents ) dapat berjalan lancar dan menindak jika,terjadi
permainan yang curang dalam pengelolaan arus dokumen berharga tersebut di dalam
bank.
Selain itu,
ada hubungan antara bankir dengan nasabah yang harus dihindari yakni hubungan
yang lebih privasi dimana memiliki dampak kurang sehat dan membentuk perilaku
tidak ada adil dengan nasabah lain yang memiliki hubungan sewajarnya. Bankir
profesional adalah bankir yang memiliki integritas pribadi, keahlian, dan
tanggung jawab sosial yang tinggi serta wawasan yang luas sehingga mampu
melaksanakan planning managemen bank
yang profesional. Profesional yang dimaksud yakni menciptakan laba dan iklim
bisnis perbankan yang sehat namun tetap terkendali (prudent).
Berikut kode
etik perbankan yang tertuang dalam norma-norma perbankan di Indonesia,
antaranya:
1. Seorang bankir
patuh dan taat pada ketentuan perundang-undangan dan peraturan yang berlaku.\
2. Melakukan pencatatan
yang benar mengenai segala transaksi yang berhubungan dengan kegiatan bank.
3. Menghindarkan
diri dari persaingan yang tidak sehat.
4. Tidak
menyalahgunakan wewenang untuk kepentingan pribadi.
5. Menghindarkan
diri dari keterlibatan pengambilan keputusan dalam hal yang terdapat
pertentangan kepentingan.
6. Menjaga
kerahasiaan nasabah dan banknya.
7. Dapat
memperhitungkan dampak yang merugikan dari setiap kebijakan yang ditetapkan
banknya terhadap ekonomi, sosial, dan lingkungannya.
8. Tidak menerima
hadiah atau imbalan yang memperkaya diri pribadi maupun keluarga.
9. Tidak melakukan
perbuatan tercela yang dapat merugikan citra profesinya.
Setiap
internal bankir yang terlibat dalam operasional lembanga keuangan bank dengan
dunia bisnis menjadi sangat memberikan pengaruh. Budaya kerja perbankan
sekarang ini, telah terlihat perilaku partisipatif dari setiap bankir dalam
menggerakan roda bisnis bank syariah. Bankir pun dituntut dalam beretika dengan
sesama bankir lain baik internal maupun eksternal kantor, memiliki dedikasi
tinggi, pekerja keras, tertib, dan teliti. Senantiasa pula, para bankir
melakukan pengembangan diri untuk meningkatkan pengetahuan tentang perbankan,
pengalaman kerja, dan keterampilan dari berbagai bidang. Sama-sama memberikan
pelayanan dengan sebaik-baiknya kepada nasabah dan masyarakat menurut bidang
kerja masing-masing. Adapun manager atau direktur perbankan bersikap tegas,
namun adil dan bijaksana terhadap bankir serta memberikan contah teladan yang
baik kepada para internal bankir bank.
Ditunjukkan
pula dalam undang-undang No. 14 tentang pokok-pokok perbankan tahun 1967 pada
pasal 6 ayat 4 yang ditegaskan bahwa anggota direksi bank harus memiliki
keahlian dan akhlak serta moral yang baik. Menurut penjelasan pasal 6 ayat 4
tersebut, bahwa untuk dapat diangkat menjadi anggota direksi harus dipenuhi
syarat-syarat , sebagai berikut:
1.
Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
2.
Setia kepada pancasila,
3.
Berwibawa,
4.
Jujur, dan
5.
Adil.
Dengan
aturan tersebut, maka Replubik Indonesia telah menentukan calon direksi bahwa
tidak hanya memiliki keahlian namun juga berakhlak baik. Perilaku perbankan
sebenarnya sudah menentukan aturan hukum yang sesuai dengan perilaku
partisipatif dalam budaya kerja dengan diawali oleh direksi bank.
E. Daftar Pustaka
Abueva, Jose V. 1968. Patterns of
Administration Reform In Relation to Culture, Administrative Reforms and
Innovation in Asia. Manila, EROPA
Anam, Ahmad Syifaul. 2009. Implementasi
Hukum Jaminan Lembaga Keuangan Mikro Syari’ah (Studi Kasus BMT Di Kota
Semarang). Dalam Tesis bimbingan Prof. H. Abdullah Kelib, SH. Universitas
Diponegoro Semarang
Bzn, B. Ter
Haar. 1976. Asas-asas dan Susunan Hukum
Adat (terjem. Oleh K. Ng. Soebakti Poespronoto). Jakarta: PT Pradnya
Paramita
Gaus, John M. 1947. Reflections on
Public Administration. Alabama: University of Alabama Press
Handayaningrat, Soewarno. 1986. Pengantar
Studi Ilmu Administrasi dan Managemen. Jakarta: PT. Gunung Agung
Jam’iyyatul Qurra’ Wal Haffazh Nahdlatul Ulama. 2014. Mushaf An Nahdlah: Al Qur’an dan Terjemahan.
Jakarta Selata: PT Hati Emas
Khairandy, Ridwan. 2014. Hukum
Kontrak Indonesia dalam perspektif perbandingan (bagian pertama).
Yogyakarta: FH UII Press
Mitchel,
Charles. 2001. Memahami Budaya Bisnis
Internasional (Penerjemah Erlinda M. Nusron dengan judul asli Short Course
In International Business Culture). Jakarta: PPM
Muhamad. 2014. Manajemen Keuangan
Syariah: Analisis Fiqh & Keuangan. Yogyakarta: UPP STIM YKPN
Ranjabar,
Jacobus. 2013. Sistem Sosial Budaya
Indonesia Suatu Pengantar. Bandung: Alfabeta
Ranupandojo,
Heidjrachman dan Suad Husnan. 1983. Manajemen
Personalia. Yogyakarta: BPFE Yogyakarta
Siagian, Sondang P. 1985. Administrasi
Pembangunan. Jakarta: PT Gunung Agung
Siagian,
Sondang P. 1985. Peranan Staf Dalam
Management. Jakarta: PT Gunung Agung
Sudarminta, J.
2013. Etika Umum, Kajian tentang Beberapa
Masalah Pokok dan Teori Etika Normatif. Yogyakarta: Kanisius
Sumaryono,
Eugenius. 2002. Etika dan Hukum.
Yogyakarta: Kanisius
Sutarto. 1972. Melaksanakan Beberapa
Asas Organisasi dalam Praktek. Yogyakarta: BPA UGM
Triguna. 2002. Budaya Kerja,
menciptakan lingkungan yang kondusive untuk meningkatkan produktivitas kerja.
Jakarta: PT Golden Trayon Press
Undang-Undang
Republik Indonesia No. 14 Tahun 1967 tentang pokok-pokok perbankan
Wursanto. 1983.
Dasar-Dasar Menejemen Umum. Jakarta:
Pustaka Dian
Situs :
http://www.sjdih.depkeu.go.id/fulltext/1967/14TAHUN~1
[1]
Triguno, Budaya Kerja Menciptakan Lingkungan
yang Kondusive untuk Meningkatkan Produktivitas Kerja, hal. 1-2
[2]
Dalam Corpus Iuris Civilis yang
dikutip pada Eugenius Sumaryono, Etika
dan Hukum: Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas, hal. 49
[3]
Jacques Maritain, dikutip oleh E. Sumaryono
[4]
Hukum menentukan keseluruhan ketertiban dan hukum adalah tatanan yuridis yang
sekaligus juga merupakan dasar kebebasan manusia, dikutip oleh Eugenius
Samaryono, hal. 266
[5]
Oleh Thomas Aquinas
[6]
John Austin, A Positivis Conception of
Law, dalam Joel Feinberg, op. cit, hal. 18-19
0 comments:
Post a Comment
Terima Kasih