Tuesday, April 12, 2016

Regulasi Keputusan Menteri No. 4 Tahun 1991

http://lp2smtc.blogspot.co.id/2014/12/peraturan-pemerintah-nomor-73-tahun.html


A.    Latar Belakang
Banyaknya Negara industri yang melakukan peningkatan perekonomian dengan merapkan kebijaksanaan deregulasi dan debirokrasasi serta sebagaian kecil sector swasta telah menjalankan program pengendalian mutu terpadu sejak perkembangan Negara Jepang dalam penerapan budaya kerja.[1] Begitu juga dengan Indonesia dengan program budaya kerja melalui Keputasan Menteri No. 4 tahun 1991 dengan tujuan untuk membangun sumber daya manusia yang berkualitas.
Sejak saat itu mulai muncul kebijkan-kebijakan baru di setiap Negara dalam rangka pembangunan sumber daya manusia yang memiliki kualitas kerja tinggi. Membangun kinerja atau aktivitas kerja internal perusahaan dan eksternal perusahaan yakni pada kolega atau mitra kerja.
Hal ini terlihat juga pada lembaga keuangan bank ketika membentuk bank syariah. Pandangan masyarakat terhadap lembaga keuangan syariah bank tidak hanya pada sistem atau operasional yang lebih berbeda dari bank konvensional namun juga terlihat dari hubungan antara bank dengan nasabah dalam bertransaksi.
Tidak hanya pada eksternal bank, bahkan internal bank sekarang ini telah menjadikan sumber daya tenaga kerja menjadi budaya kerja yang meninggalkan budaya kerja tradisional atau kuno.
Budaya kerja di bank syariah dewasa ini pun menjadi salah satu perbedaan yang sekarang mulai berkembang.
B.     Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas dapat dirumuskan permasalahan yang timbul yakni meliputi bagaimana dampak deregulasi kebijakan budaya kerja dalam lembaga keuangan syariah bank?
C.     Fundamental Budaya Kerja
Dasar manusia itu diatur oleh sebuah hukum, yakni hukum positif yang telah ada dan ditetapkan di suatu Negara Pemerintahan. Aturan yang mengatur manusia didasari oleh 2 (dua) jenis hukum, meliputi hukum kodrat dan kebiasaan (budaya).[2] Manusia ini yang membentuk suatu kelompok masyarakat serta memiliki kebiasaan atau budaya-budaya yang bermacam-macam. Sebab itu, antara manusia dengan kelompok masyarakat menjadi satu bagian yang berbeda dimana manusia merupakan subjek pertanggung jawaban atas perilakunya sendiri, serta subjek dari harkat dan martabatnya sendiri.[3]
Fundamental yang dibentuk dalam setiap person atau individu yakni manusia sehingga memiliki kesadaran akan suatu tanggung jawab. Kesadaran yang ada pada masing-masing tenaga kerja yang menjadi pokok dari terbentuknya perilaku parsipatif dalam sebuah perusahan. Selain itu, manusia juga dalam hal ini sering disebut sebagai makhluk rasional yakni menentukan ketaatan di dalam aturan hukum.[4]
Adanya 3 (tiga) karakteristik dari perbuatan yang dilakukan manusia, meliputi:[5]
1.      Pengetahuan, prasyarat hakiki supaya suatu perbuatan dapat memiliki kualitas “manusiawi”.
2.      Perbuatan yang dikehendaki, kemampuan manusia untuk berbuat sesuatu jika terdapat sesuatu yang mengharuskannya melakukan perbuatan tersebut.
3.      Kebebasan,
Dari karakteristik tersebut, maka setiap tenaga kerja memiliki cita-cita, harapan, keinginan, dan kebutuhan yang harus ditampung oleh sebuah perusahaan. Lain halnya dengan sebuah hukum yang sama artinya perintah yang berlandaskan ketaatan dan kepatuhan. Apabila perintah atau hukum yang telah ditetapkan tidak dipatuhi maka ada konsekuensi hukum atas perintah tersebut.
Dalam hal ini hukum dilaksanakan secara vertical, artinya setiap ketentuan dari manager yang diberikan kepada staff kerja menjadi beban kerja dan hal ini mengganggu psikologis dan sosiologis baik staff kerja itu sendiri maupun hubungan antar manager dengan staff.
Ketentuan tersebut secara tidak tertulis bisa dikatakan tidak berfungsi sebagai hukum yang berlaku namun ketentuan ini memiliki konsekuensi yang bersifat memaksa.[6] Dalam hal ini, hukum dijadikan sebagai perintah yang diberikan kepada tenaga kerja atau staff yang berlaku umum dan perintah tersebut terkandung keinginan dan kehendak.
Perilaku partisipatif berbeda dengan perintah, apabila hukum didasarkan pada perilaku partisipatif maka hukum atau aturan tersebut akan diterima secara alamiah tanpa adanya paksaan. Dikarenakan perintah akan membenturkan perbedaan dari keinginan setiap pihak untuk mencapai tujuan.
Budaya kerja yang baik akan membangun sumber daya manusia dengan seutuhnya sehingga setiap pekerja memiliki kesadaran bahwa mereka berada dalam hubungan kerja yang memiliki peran sebagai pemasok pelanggan.
Hubungan secara horizontal atau partisipatif antara sumber daya manusia ini merupakan budaya kerja modern yang saat ini dikembangkan sejak tahun 1985 di Indonesia. Dampaknya pada pengambilan keputusan (decision making) dilakukan dengan musyarawah untuk mufakat.
Adapun budaya kerja yang baik diikuti dengan teladan yang baik pula, seperti paradigma kepemimpinan menurut Edward Murrow bahwa
bilamana anda ingin menghimbau, hendaklah anda bisa dipercaya, bilamana anda ingin dipercaya, hendaklah anda profesional atau terampil, bilamana anda ingin dianggap profesional, hendaknya anda mampu bekerja benar.
Budaya kerja terbentuk tidak secara langsung namun melalui proses dan tahapan-tahapan. Karena budaya kerja terbentuk dari tindakan-tindakan setiap person yang mengakibatkan keberlangsungan kerja dan dipandang layak untuk diikuti.
Perbedaan antara budaya kerja tradisional dengan budaya kerja modern atau partisipatif dari tingkatannya, sebagai berikut:
1.      Tingkat rencana, adanya penentuan tujuan dan sasaran serta strategi.
2.      Tingkat pelaksanaan,  dalam melakukan pekerjaan.
3.      Tingkat pengecekan, melakukan penilaian terhadap hasil kerja.
4.      Tingkat tingak lanjut, menindaklanjuti pelaksanaan dari evaluasi kerja.
Pada tingkat rencana (plan) kerja tradisional lebih menekankan pada perintah yang memiliki konsekuensi kepatuhan, sedangkan budaya kerja modern lebih pada tahapan rekomendasi > kerjasama > partisipasi.
Tingkatan pelaksanaan (do) pada kerja tradisional = pengawasan > patuh. Berbeda dengan budaya kerja modern dimulai dari dukungan > kerjasama > pengendalian diri.
Tingkat pengecekan (check) yang dilakukan kerja tradisional diawali dengan penilaian > pengucilan. Sedangkan pada budaya kerja modern memberikan penghargaan > penilaian bersama > penilaian sendiri.
Tingkat tindak lanjut (act), dalam kerja tradisional ada tradisi menghukum / memerintah > kepatuhan/pembelaan. Pada budaya kerja modern memberikan tambahan dukungan/penghargaan > pemecahan bersama > motivasi diri.
D.    Perilaku Partisipatif dalam Perbankan Syariah
Perilaku bisnis pada umumnya didasarkan pada rangkaian keputusan yang dibuat oleh perusahaan. Dilihat dari kekuatan dan tekanan eksternal yang memaksakan perilaku perusahaan, maka keputusan yang diambil tersebut dipandu oleh hal-hal berikut :
1.      Tujuan yang akan dicapai,
2.      Pedoman-pedoman yang harus dipatuhi dan berasal dari luar perusahaan, seperti yang diamanatkan oleh hukum yang berlaku.
3.      Pedoman-pedoman yang dibuat bersama dengan pihak lain, dalam bentuk perjanjian.
4.      Pedoman-pedoman yang patut dipatuhi, yang merupakan kebiasaan, falsafah perusahaan, budaya perusahaan, dan etika bisnis. Proses pengambilan keputusan (decision making) itu secara konseptual akan mengambil jalan rasional, yang selanjutnya dengan pertimbangan suatu nilai yang dipercayai sebagai sesuatu yang patut dipertimbangkan akan membuahkan keputusan akhir yang akan dijalankan oleh perusahaan dalam hal ini perbankan syariah.
Adapun dasar-dasar etika perbankan dalam perilaku kerjanya, bahwa bank merupakan lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredir atau pinjaman dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredarannya. Pokok usaha perbankan tersebut yang menjadi perilaku bisnis dimana faktor kepercayaan dari pihak-pihak lain seperti nasabah dan mitra usaha sebagai penunjang berlangsungnya operasional bank itu sendiri.
Satu sisi, para bankir dituntut memiliki peran dalam akhlak, moral, dan keahlian di bidang perbankan atau keuangan. para bankir ini mempunyai misi untuk memberikan nasihat yang objektif bagi nasabahnya dan harus mampu mendidk nasabahnya dalama arti dapay memberikan penjelasan dibidang administrasi, pembukuan, pemasaran dan lain-lain. Nasihat yang objektif adalah seorang bankir harus dapat bersikap objektif, tidak memihak, jujur terhadap nasabah dan dapat memilih produk atau jasa yang paling tepat bagi nasabahnya, artinya tidak memaksakan nasabah untuk membeli apa saja yang ditawarkan oleh bankir tanpa mempertimbangkan kondisi dan status nasabah. Bankir juga harus menjaga agar mekanisme arus surat-surat berharga ( flow of documents ) dapat berjalan lancar dan menindak jika,terjadi permainan yang curang dalam pengelolaan arus dokumen berharga tersebut di dalam bank.
Selain itu, ada hubungan antara bankir dengan nasabah yang harus dihindari yakni hubungan yang lebih privasi dimana memiliki dampak kurang sehat dan membentuk perilaku tidak ada adil dengan nasabah lain yang memiliki hubungan sewajarnya. Bankir profesional adalah bankir yang memiliki integritas pribadi, keahlian, dan tanggung jawab sosial yang tinggi serta wawasan yang luas sehingga mampu melaksanakan planning managemen bank yang profesional. Profesional yang dimaksud yakni menciptakan laba dan iklim bisnis perbankan yang sehat namun tetap terkendali (prudent).
Berikut kode etik perbankan yang tertuang dalam norma-norma perbankan di Indonesia, antaranya:
1.      Seorang bankir patuh dan taat pada ketentuan perundang-undangan dan peraturan yang berlaku.\
2.      Melakukan pencatatan yang benar mengenai segala transaksi yang berhubungan dengan kegiatan bank.
3.      Menghindarkan diri dari persaingan yang tidak sehat.
4.      Tidak menyalahgunakan wewenang untuk kepentingan pribadi.
5.      Menghindarkan diri dari keterlibatan pengambilan keputusan dalam hal yang terdapat pertentangan kepentingan.
6.      Menjaga kerahasiaan nasabah dan banknya.
7.      Dapat memperhitungkan dampak yang merugikan dari setiap kebijakan yang ditetapkan banknya terhadap ekonomi, sosial, dan lingkungannya.
8.      Tidak menerima hadiah atau imbalan yang memperkaya diri pribadi maupun keluarga.
9.      Tidak melakukan perbuatan tercela yang dapat merugikan citra profesinya.
Setiap internal bankir yang terlibat dalam operasional lembanga keuangan bank dengan dunia bisnis menjadi sangat memberikan pengaruh. Budaya kerja perbankan sekarang ini, telah terlihat perilaku partisipatif dari setiap bankir dalam menggerakan roda bisnis bank syariah. Bankir pun dituntut dalam beretika dengan sesama bankir lain baik internal maupun eksternal kantor, memiliki dedikasi tinggi, pekerja keras, tertib, dan teliti. Senantiasa pula, para bankir melakukan pengembangan diri untuk meningkatkan pengetahuan tentang perbankan, pengalaman kerja, dan keterampilan dari berbagai bidang. Sama-sama memberikan pelayanan dengan sebaik-baiknya kepada nasabah dan masyarakat menurut bidang kerja masing-masing. Adapun manager atau direktur perbankan bersikap tegas, namun adil dan bijaksana terhadap bankir serta memberikan contah teladan yang baik kepada para internal bankir bank.
Ditunjukkan pula dalam undang-undang No. 14 tentang pokok-pokok perbankan tahun 1967 pada pasal 6 ayat 4 yang ditegaskan bahwa anggota direksi bank harus memiliki keahlian dan akhlak serta moral yang baik. Menurut penjelasan pasal 6 ayat 4 tersebut, bahwa untuk dapat diangkat menjadi anggota direksi harus dipenuhi syarat-syarat , sebagai berikut:
1.      Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
2.      Setia kepada pancasila,
3.      Berwibawa,
4.      Jujur, dan
5.      Adil.
Dengan aturan tersebut, maka Replubik Indonesia telah menentukan calon direksi bahwa tidak hanya memiliki keahlian namun juga berakhlak baik. Perilaku perbankan sebenarnya sudah menentukan aturan hukum yang sesuai dengan perilaku partisipatif dalam budaya kerja dengan diawali oleh direksi bank.
E.     Daftar Pustaka
Abueva, Jose V. 1968. Patterns of Administration Reform In Relation to Culture, Administrative Reforms and Innovation in Asia. Manila, EROPA
Anam, Ahmad Syifaul. 2009. Implementasi Hukum Jaminan Lembaga Keuangan Mikro Syari’ah (Studi Kasus BMT Di Kota Semarang). Dalam Tesis bimbingan Prof. H. Abdullah Kelib, SH. Universitas Diponegoro Semarang
Bzn, B. Ter Haar. 1976. Asas-asas dan Susunan Hukum Adat (terjem. Oleh K. Ng. Soebakti Poespronoto). Jakarta: PT Pradnya Paramita
Gaus, John M. 1947. Reflections on Public Administration. Alabama: University of Alabama Press
Handayaningrat, Soewarno. 1986. Pengantar Studi Ilmu Administrasi dan Managemen. Jakarta: PT. Gunung Agung
Jam’iyyatul Qurra’ Wal Haffazh Nahdlatul Ulama. 2014. Mushaf  An Nahdlah: Al Qur’an dan Terjemahan. Jakarta Selata: PT Hati Emas
Khairandy, Ridwan. 2014. Hukum Kontrak Indonesia dalam perspektif perbandingan (bagian pertama). Yogyakarta: FH UII Press
Mitchel, Charles. 2001. Memahami Budaya Bisnis Internasional (Penerjemah Erlinda M. Nusron dengan judul asli Short Course In International Business Culture). Jakarta: PPM
Muhamad. 2014. Manajemen Keuangan Syariah: Analisis Fiqh & Keuangan. Yogyakarta: UPP STIM YKPN
Ranjabar, Jacobus. 2013. Sistem Sosial Budaya Indonesia Suatu Pengantar. Bandung: Alfabeta
Ranupandojo, Heidjrachman dan Suad Husnan. 1983. Manajemen Personalia. Yogyakarta: BPFE Yogyakarta
Siagian, Sondang P. 1985. Administrasi Pembangunan. Jakarta: PT Gunung Agung
Siagian, Sondang P. 1985. Peranan Staf Dalam Management. Jakarta: PT Gunung Agung
Sudarminta, J. 2013. Etika Umum, Kajian tentang Beberapa Masalah Pokok dan Teori Etika Normatif. Yogyakarta: Kanisius
Sumaryono, Eugenius. 2002. Etika dan Hukum. Yogyakarta: Kanisius
Sutarto. 1972. Melaksanakan Beberapa Asas Organisasi dalam Praktek. Yogyakarta: BPA UGM
Triguna. 2002. Budaya Kerja, menciptakan lingkungan yang kondusive untuk meningkatkan produktivitas kerja. Jakarta: PT Golden Trayon Press
Undang-Undang Republik Indonesia No. 14 Tahun 1967 tentang pokok-pokok perbankan
Wursanto. 1983. Dasar-Dasar Menejemen Umum. Jakarta: Pustaka Dian
Situs :
http://www.sjdih.depkeu.go.id/fulltext/1967/14TAHUN~1


[1] Triguno, Budaya Kerja Menciptakan Lingkungan yang Kondusive untuk Meningkatkan Produktivitas Kerja, hal. 1-2
[2] Dalam Corpus Iuris Civilis yang dikutip pada Eugenius Sumaryono, Etika dan Hukum: Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas, hal. 49
[3] Jacques Maritain, dikutip oleh E. Sumaryono
[4] Hukum menentukan keseluruhan ketertiban dan hukum adalah tatanan yuridis yang sekaligus juga merupakan dasar kebebasan manusia, dikutip oleh Eugenius Samaryono, hal. 266
[5] Oleh Thomas Aquinas
[6] John Austin, A Positivis Conception of Law, dalam Joel Feinberg, op. cit, hal. 18-19

0 comments:

Post a Comment

Terima Kasih