A. Keperantaraan
Keperataraan berasal dari Bahasa Indonesia kata
perantara, perantara adalah orang yang mewakilkan orang lain dalam suatu hal.
Perantara adalah orang yang memegang kuasa untuk melakukan suatu perbuatan
hukum berdasarkan kuasa atau di bawah pengawasan orang yang memberikan kuasa.
Perantara diartikan sebagai pelaku pasar dan dapat juga diartikan sebagai
bangunan fisik pasar sebagai penghubung antara pihak yang mengalami surplus
barang dan jasa dengan pihak yang mengalami kekurangan barang dan jasa.[1]
Bisnis yang merupakan proses memproduksi,
mendistribusikan, adanya transaksi jual beli dengan tujuan untuk memperoleh
keuntungan (profit). Memasarkan dan menjual produk yang diproduksi baik
berupa barang setengah jadi, barang jadi atau jasa kepada konsumen, sebagai pelaku
bisnis atau produsen memiliki 2 (dua) pilihan dalam menjual produk yang
diproduksinya.
Produsen atau pelaku bisnis dapat menjual dan
memasarkan secara langsung (direct) kepada konsumen. Selain itu, pelaku
bisnis juga dapat menjual dan memasarkan produknya secara tidak langsung (indirect)
dengan cara menunjuk agen atau distributor sebagai perantara.
Dalam hukum kontrak atau hukum bisnis, kedua
pilihan tersebut dikenal dengan perjanjian keagenan (agency agreement)
dan perjanjian distributor (distributor agreement).
B. Perjanjian Keagenan
a.
Definisi keagenan
Keagenan berasal dari kata agen, bahasa
Inggris agent. Dalam istilah, agen adalah seorang yang diberikan
kewenangan oleh prinsipal (principal) untuk mewakili dirinya untuk
melakukan suatu perbuatan hukum atau hubungan hukum dengan pihak ketiga.
Dari hubungan dan perbuatan hukum antara
prinsipal dengan agen ini berdasarkan pada perjanjian keagenan. Kemudian,
keagenan merupakan perjanjian antara seorang perantara dan prinsipal (principal).
Dalam hal ini perantara mengikatkan diri kepada prinsipal untuk melakukan suatu
perbuatan hukum untuk kepentingan prinsipal. Prinsipal (principal)
adalah orang yang memberikan tugas kuasa untuk melakukan suatu perbuatan hukum
dengan orang lain untuk kepentingannya.
Keagenan diartikan sebagai orang kedua yang
ditunjuk orang pertama sebagai pemegang kuasa untuk melakukan hubungan hukum
atau perbuatan hukum kepada orang ketiga. Terjadinya perjanjian antara orang
kedua dengan orang pertama yang disebut sebagai perjanjian keagenan.
Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum yang
terjadi antara satu orang atau lebih mengikatkan dirinya kepada satu orang
lainnya atau lebih dimana keduanya saling mengikatnkan dirinya.
Agreement atau persetujuan dapat dipahami sebagai suatu perjumpaan
nalar, yang lebih merupakan perjumpaan pendapat atau ketetapan maksud, agreement merupakan esensi kontrak. Dalam hal ini ada
isyarat offer dan acceptance, dimana dari 2 (dua) kata ini sama
artinya dengan istilah ijab dan qabul.
Perjanjian keagenan tersebut dapat terjadi
apabila terdapat:
1. Kewenangan
Wewenang atau kuasa yang diberikan prinsipal (principal)
kepada perantara yang dapat dilakukan secara lisan, tertulis, dan diam-diam.
Namun secara lazim keagenan itu terjadi apabila prinsipal menunjuk secara tegas
(eksplisit) seorang agen untuk mewakili prinsipal.
Agen secara khusus ditunjuk oleh prinsipal
untuk melakukan tugas tertentu atau untuk melakukan beberapa perbuatan secara
umum. Penunjukkan oleh prinsipal kepada agen secara tidak langsung membentuk
hubungan hukum sehingga antara prinsipal dengan agen terdapat perjanjian yang
harus dilakukan.
Penunjukkan secara tegas di atas dapat
dilakukan dengan lisan dan tertulis. Kemudian apabila penunjukkan tersebut
dilakukaa secara diam-diam maka bisa terjadi dengan:
-
Sesuai dengan kebiasaan yang berlaku
menurut tempat, waktu, atau bidang usaha tertentu,
-
Dalam rangka melaksanakan tugas sebagai perantara.
2. Pengesahan
Pengesahan adalah persetujuan (approval)
atas perjanjian dilakukan seseorang perantara atau seorang yang mengaku
bertindak sebagai perantara dengan pihak ketiga tanpa izin (kewenangan0 dari
pihak prinsipal. Secara hukum, bagi prinsipal tidak ada kewajiban hukum untuk
terikat pada perjanjian yang dibuat tanpa kewenangan tersebut, namun ia dapat
terikat atau bertanggungjawab atas perjanjian tersebut melalui proses
pengesahan (ratification).
Perjanjian keperantaraan itu dapat memuat
ketentuan mengenai kewajiban perantara untuk meminta pengesahan prinsipal atas
setiap perikatan yang dibuatnya. Adanya kewajiban perantara untuk meminta
pengesahan itu kepada prinsipal itu tidak wajib diberitahukan kepada pihak
ketiga.
3. Ketentuan Undang-Undang
Dalam hukum common law system
keperantaraan didasarkan pada perjanjian
atau kesepakatan para pihak, namun dalam keadaan tertentu, undang-undang dapat
mewajibkan adanya keperantaraan. Keperantaraan seperti ini biasa dikenal dengan
agency necessity atau agency by necessity.
b.
Keagenan dalam transaksi komersil
Dalam praktik perdagangan sekarang ini,
keagenan sering terdapat pada perusahaan barang dan jasa, seperti perusahaan
manufaktur, perusahaan biro perjalanan, perusahaan asuransi yang memerlukan
agen untuk membantu menjual dan memasarkan barang atau jasa kepada konsumen.
Agen seperti ini adalah agen resmi (authorized
agents) dalam arti bahwa agen bertindak atas dasar kewenangan yang secara
eksplisit atau tegas diberikan oleh prinsipal. Agen dalam konteks ini biasa
dikenal sebagai agen perumahan (real state agents), agen asuransi (insurance
agents), dan agen perjalanan (travel agents).
Prinsipal mendelegasikan kewenangannya kepada
agen dalam membuat kontrak dengan pihak ketiga. Prinsipal terikat atas segala
kontrak yang dibuat oleh agen dengan pihak ketiga. Agen tidak memiliki tanggung
jawab atau kewajiban berdasarkan kontrak dengan pihak ketiga.
Sedangkan, agen yang bergerak pada perusahaan
manafaktur (manufacture) dimana prinsipal memiliki produk berupa barang
atau jasa. Prinsipal memberikan kewenangan kepada agen untuk memasarkan dan
menjual produk tersebut kepada konsumen. Ketika pemasaran dan penjual produk
tersebut kepada konsumen agen bertindak atas nama pihak prinsipal dan
selanjutnya agen berhak mendapatkan komisi dari penjualan produk tersebut.
c. Penandatanganan
Ada beberapa macam penandatangan yang
menjadikan perantara memiliki wewenang atas nama prinsipal dalam melakukan
perbuatan hukum atau hubungan hukum kepada pihak ketiga, meliputi:
1.
Perantara menandatangani dengan membubuhkan namanya sendiri,
2.
Apabila perseorangan (person) menandatangani “per precurationem”
3.
Prinsipal memberi kuasa kepada perantara untuk menandatangani dengan
menggunakan namanya (nama si prinsipal),
4.
Tidak ada pihak yang memegang hak kepemilikan (proprietary right)
atas nama kecuali jika nama itu diatur dengan peraturan nama dagang (trade
mark).
d. Surat Kuasa Penuh
Pihak perantara diwajibkan memiliki surat
kuasa penuh (power of attorney) apabila akan membuat transaksi berakta.
Dalam kasus ini, penerima kuasa (attorney) atau perantara sendiri harus
ditunjuk dengan akta dan transaksi yang berakta selau memperoleh perlakuan
istimewa dari hukum.
e. Kewajiban Perantara
Dalam hal ini perantara memiliki kewajiban
terdahap prinsipal dalam menjalankan wewenang yang telah diperintahkan secara
lisan, tertulis, atau diam-diam, sebagai berikut:
1.
Perantara wajib menaati intruksi yang diberikan oleh prinsipal meskipun
perantara berpendapat intruksi itu keliru,
2.
Perantara tidak boleh membiarkan kepentingan pribadinya berbenturan dengan
kepentingan prinsipal,
3.
Perantara tidak boleh mengambil keuntungan rahasia atau memutuskan dari
pihak ketiga,
4.
Dan apabila perantara menerima komisi rahasia atau suap, konsensi-konsensi
yang menyusul kemudian dapat digugatkan kepadanya.
f. Hak Perantara
Selain kewajiban yang harus dipatuhi di atas
perantara berhak meminta haknya kepada prinsipal jika itu diperlukan, sebagai
berikut:
1.
Hak penggantian pembayaran (reimbursement),
2.
Set off (kemudahan untuk memilih alternatif yang diberikan penggugat kepada
tergugat),
3.
Hak untuk menahan barang,
4.
Dan mengajukan proses hukum untuk mendapat komisi atau upah yang telah
disepakati.
g. Tanggung Jawab Prinsipal
Dilihat dari sudut pandang prinsipal, biasanya
prinsipal hanya bertanggung jawab apabila prinsipal telah menguasakan perantara
untuk mengakadkan kontraknya, hubungan keperantaraan daat timbul lewat cara
lain, seperti:
1.
Prinsipal memperluas kekuasaan yang telah diberikannya kepada perantara,
2.
Apabila perantara melampaui batas kekuasaannya, tetapi prinsipal tetap
memutuskan untuk menyetujui kontrak yang sudah dibuatkan oleh perantara. Hal
ini disebut rafication (pengesahan)
3.
Perantara adalah perusahaan pengangkut (carrier) dan sedang
mengangkut barang-barang yang mudah rusak (perishable goods) milik
prinsipal.
h. Hak-Hak Prinsipal
Hak prinsipal yang timbul dari kewajiban
perantara yang dijalankannya sesuai dengan intruksi prinsipal atau tidak.
Apabila perantara melanggar kewajiban yang ada maka hak prinsipal akan timbul
dikarenakan kesalahan dari pihak perantara. Sehingga, prinsipal berhak untuk
menuntut ganti rugi kepada perantara sesuai dengan risiko kerugian yang
ditimbul dari pelanggaran kewajiban perantara.
C. Perjanjian Distributor
a.
Pengertian Distributor
Distributor adalah seorang pedagang yang
membeli barang dari pabrikan atau manufacturer sebagai prinsipal atau
produsen untuk dijual kembali atas namanya sendiri kepada konsumen. Terdapat
transaksi jual beli atau perjanjian jual beli antara prinsipal dengan
distributor ketika prinsipal telah menunjukkan distributor. Setelah distributor
mendapatkan barang tersebut dari prinsipal, distributor wajib memasarkan dan
menjualnya kepada konsumen wilayah pemasaran dan penjualan yang ditentukan
(wilayah kedistribusian).
b.
Hubungan prinsipal dengan distributor
Terdapat perjanjian jual beli antara prinsipal
selaku penjual dengan distributor selaku pembeli yang membeli produk pada
prinsipal. Namun sebelum itu, ada perjanjian pengangkatan atau penunjukkan oleh
prinsipal kepada distributor selaku pembeli untuk menjual dan memasarkan
kembali kepada konsumen atas nama distributor sendiri.
Distributor memiliki wewenang penuh terhadap
produk yang dibelinya dari prinsipal dikarenakan distributor setelah membeli
produk dari prinsipal menanggung segala risiko yang ada ketika menjualnya
kepada konsumen. Risiko yang ditanggung distributor berupa biaya perawatan
barang, biaya transportasi, dan jaminan terhadap barang yang dijualnya tanpa
dapat meminta pertanggung jawaban kepada prinsipal.
Karakteristik hubungan antara prinsipal dengan
distributor, meliputi:
-
Distributor berlaku seperti seorang penjual kembali (reseller) suatu
produk dalam wilayah distribusinya. Timbul pemberian wewenang kepada
distributor oleh prinsipal yang tidak
dapat melakukan pemasaran dan penjualan sendiri di wilayah tersebut. Wujud dari
weweng tersebut adalah prinsipal memberikan dan menjamin distributor bahwa
berhak melakukan pemasaran dan penjual produk di wilayah tersebut. Perjanjian
ini bersifat exclusive. Ada juga perjanjian yang bersifat non-exclusive,
dimana prinsipal masih memiliki hak untuk produk di wilayah yang sama.
-
Tidak bersifat sementara, tetapi dalam satu periode tertentu.
-
Adanya komitmen atau loyalitas dari distributor. Loyalitas seperti
menimbulkan bahwa distributor tidak diperkenankan memasarkan dan menjual produk
yang serupa pada manufaktur yang lain selama perjanjian distribusi antara
prinsip dengan distributor masih berlaku.
c.
Hubungan distributor dengan konsumen
Hubungan antara distributor dengan konsumen
berlaku perjanjian jual beli. Distributor sebagai penjual dan konsumen sebagai
pembeli produk yang dimiliki oleh prinsipal atas nama distributor. Dari
transaksi jual beli tersebut distributor memperoleh keuntungan yang didapat
dari selisih antara harga beli pada prinsipal dengan harga jual kepada
konsumen.
Antara distributor dengan konsumen dalam
praktiknya biasanya konsumen yang menjadi pembeli bukanlah konsumen aktif namun
konsimen pasif dimana konsumen pasif akan menjualnya kembali kepada konsumen
aktif untuk memperoleh keuntungan dari margin.
D. Daftar Pustaka
Budisantoso, Totok dan Nuritomo (ed.3). 2014. Bank dan Lembaga Keuangan
Lain. Jakarta: Salemba Empat
Khairandy, Ridwan. 2014. Hukum Kontrak
Indonesia Dalam Perspektif Perbandingan (Bagian Pertama). Yogyakarta: FH
UII Press
________. 2014. Pokok-Pokok Hukum Dagang
Indonesia (revisi pertama). Yogyakarta: FH UII Press
Lewis,
Arthur. Dasar-Dasar Hukum Bisnis. 2009. Nusa media. Bandung
[1] Totok Budisantoso dan
Nuritomo, Bank dan Lembaga Keuangan Lain (Jakarta: Salemba Empat, 2014,
edisi 3), hal. 3
Sebagai seorang Akuntan Publik, saya telah merekomendasikan klien kepada Tn. Pedro selama bertahun-tahun dengan hasil yang luar biasa. Baru-baru ini saya berkesempatan menggunakan jasanya untuk pinjaman rumah saya, dan sekarang saya tahu mengapa klien saya selalu senang! Dia teliti, tepat waktu, ramah, dan yang terpenting berpengetahuan luas. Saya pasti akan merekomendasikannya untuk waktu yang lama kepada siapa pun yang mencari pinjaman, silakan hubungi Tn. Pedro dan perusahaan pendanaannya, Tn. Pedro adalah petugas pinjaman yang bekerja dengan investor terkemuka yang siap mendanai segala jenis proyek asalkan Anda bersedia melakukan pengembalian dana seperti yang dijanjikan. Berikut adalah informasi kontak Tn. Pedro” pedroloanss@gmail.com WhatsApp +393510140339 .
ReplyDelete