Thursday, December 3, 2015

Keperantaraan Bisnis

A.      Keperantaraan
Keperataraan berasal dari Bahasa Indonesia kata perantara, perantara adalah orang yang mewakilkan orang lain dalam suatu hal. Perantara adalah orang yang memegang kuasa untuk melakukan suatu perbuatan hukum berdasarkan kuasa atau di bawah pengawasan orang yang memberikan kuasa. Perantara diartikan sebagai pelaku pasar dan dapat juga diartikan sebagai bangunan fisik pasar sebagai penghubung antara pihak yang mengalami surplus barang dan jasa dengan pihak yang mengalami kekurangan barang dan jasa.[1]
Bisnis yang merupakan proses memproduksi, mendistribusikan, adanya transaksi jual beli dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan (profit). Memasarkan dan menjual produk yang diproduksi baik berupa barang setengah jadi, barang jadi atau jasa kepada konsumen, sebagai pelaku bisnis atau produsen memiliki 2 (dua) pilihan dalam menjual produk yang diproduksinya.
Produsen atau pelaku bisnis dapat menjual dan memasarkan secara langsung (direct) kepada konsumen. Selain itu, pelaku bisnis juga dapat menjual dan memasarkan produknya secara tidak langsung (indirect) dengan cara menunjuk agen atau distributor sebagai perantara.
Dalam hukum kontrak atau hukum bisnis, kedua pilihan tersebut dikenal dengan perjanjian keagenan (agency agreement) dan perjanjian distributor (distributor agreement).
B.       Perjanjian Keagenan
a.         Definisi keagenan
Keagenan berasal dari kata agen, bahasa Inggris agent. Dalam istilah, agen adalah seorang yang diberikan kewenangan oleh prinsipal (principal) untuk mewakili dirinya untuk melakukan suatu perbuatan hukum atau hubungan hukum dengan pihak ketiga.
Dari hubungan dan perbuatan hukum antara prinsipal dengan agen ini berdasarkan pada perjanjian keagenan. Kemudian, keagenan merupakan perjanjian antara seorang perantara dan prinsipal (principal). Dalam hal ini perantara mengikatkan diri kepada prinsipal untuk melakukan suatu perbuatan hukum untuk kepentingan prinsipal. Prinsipal (principal) adalah orang yang memberikan tugas kuasa untuk melakukan suatu perbuatan hukum dengan orang lain untuk kepentingannya.
Keagenan diartikan sebagai orang kedua yang ditunjuk orang pertama sebagai pemegang kuasa untuk melakukan hubungan hukum atau perbuatan hukum kepada orang ketiga. Terjadinya perjanjian antara orang kedua dengan orang pertama yang disebut sebagai perjanjian keagenan.
Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum yang terjadi antara satu orang atau lebih mengikatkan dirinya kepada satu orang lainnya atau lebih dimana keduanya saling mengikatnkan dirinya.
Agreement atau persetujuan dapat dipahami sebagai suatu perjumpaan nalar, yang lebih merupakan perjumpaan pendapat atau ketetapan maksud, agreement  merupakan esensi kontrak. Dalam hal ini ada isyarat offer dan acceptance, dimana dari 2 (dua) kata ini sama artinya dengan istilah ijab dan qabul.
Perjanjian keagenan tersebut dapat terjadi apabila terdapat:
1.      Kewenangan
Wewenang atau kuasa yang diberikan prinsipal (principal) kepada perantara yang dapat dilakukan secara lisan, tertulis, dan diam-diam. Namun secara lazim keagenan itu terjadi apabila prinsipal menunjuk secara tegas (eksplisit) seorang agen untuk mewakili prinsipal.
Agen secara khusus ditunjuk oleh prinsipal untuk melakukan tugas tertentu atau untuk melakukan beberapa perbuatan secara umum. Penunjukkan oleh prinsipal kepada agen secara tidak langsung membentuk hubungan hukum sehingga antara prinsipal dengan agen terdapat perjanjian yang harus dilakukan.
Penunjukkan secara tegas di atas dapat dilakukan dengan lisan dan tertulis. Kemudian apabila penunjukkan tersebut dilakukaa secara diam-diam maka bisa terjadi dengan:
-        Sesuai dengan  kebiasaan yang berlaku menurut tempat, waktu, atau bidang usaha tertentu,
-        Dalam rangka melaksanakan tugas sebagai perantara.
2.      Pengesahan
Pengesahan adalah persetujuan (approval) atas perjanjian dilakukan seseorang perantara atau seorang yang mengaku bertindak sebagai perantara dengan pihak ketiga tanpa izin (kewenangan0 dari pihak prinsipal. Secara hukum, bagi prinsipal tidak ada kewajiban hukum untuk terikat pada perjanjian yang dibuat tanpa kewenangan tersebut, namun ia dapat terikat atau bertanggungjawab atas perjanjian tersebut melalui proses pengesahan (ratification).
Perjanjian keperantaraan itu dapat memuat ketentuan mengenai kewajiban perantara untuk meminta pengesahan prinsipal atas setiap perikatan yang dibuatnya. Adanya kewajiban perantara untuk meminta pengesahan itu kepada prinsipal itu tidak wajib diberitahukan kepada pihak ketiga.
3.      Ketentuan Undang-Undang
Dalam hukum common law system keperantaraan  didasarkan pada perjanjian atau kesepakatan para pihak, namun dalam keadaan tertentu, undang-undang dapat mewajibkan adanya keperantaraan. Keperantaraan seperti ini biasa dikenal dengan agency necessity atau agency by necessity.
b.        Keagenan dalam transaksi komersil
Dalam praktik perdagangan sekarang ini, keagenan sering terdapat pada perusahaan barang dan jasa, seperti perusahaan manufaktur, perusahaan biro perjalanan, perusahaan asuransi yang memerlukan agen untuk membantu menjual dan memasarkan barang atau jasa kepada konsumen.
Agen seperti ini adalah agen resmi (authorized agents) dalam arti bahwa agen bertindak atas dasar kewenangan yang secara eksplisit atau tegas diberikan oleh prinsipal. Agen dalam konteks ini biasa dikenal sebagai agen perumahan (real state agents), agen asuransi (insurance agents), dan agen perjalanan (travel agents).
Prinsipal mendelegasikan kewenangannya kepada agen dalam membuat kontrak dengan pihak ketiga. Prinsipal terikat atas segala kontrak yang dibuat oleh agen dengan pihak ketiga. Agen tidak memiliki tanggung jawab atau kewajiban berdasarkan kontrak dengan pihak ketiga.
Sedangkan, agen yang bergerak pada perusahaan manafaktur (manufacture) dimana prinsipal memiliki produk berupa barang atau jasa. Prinsipal memberikan kewenangan kepada agen untuk memasarkan dan menjual produk tersebut kepada konsumen. Ketika pemasaran dan penjual produk tersebut kepada konsumen agen bertindak atas nama pihak prinsipal dan selanjutnya agen berhak mendapatkan komisi dari penjualan produk tersebut.
c.       Penandatanganan
Ada beberapa macam penandatangan yang menjadikan perantara memiliki wewenang atas nama prinsipal dalam melakukan perbuatan hukum atau hubungan hukum kepada pihak ketiga, meliputi:
1.           Perantara menandatangani dengan membubuhkan namanya sendiri,
2.           Apabila perseorangan (person) menandatangani “per precurationem
3.           Prinsipal memberi kuasa kepada perantara untuk menandatangani dengan menggunakan namanya (nama si prinsipal),
4.           Tidak ada pihak yang memegang hak kepemilikan (proprietary right) atas nama kecuali jika nama itu diatur dengan peraturan nama dagang (trade mark).
d.      Surat Kuasa Penuh
Pihak perantara diwajibkan memiliki surat kuasa penuh (power of attorney) apabila akan membuat transaksi berakta. Dalam kasus ini, penerima kuasa (attorney) atau perantara sendiri harus ditunjuk dengan akta dan transaksi yang berakta selau memperoleh perlakuan istimewa dari hukum.
e.       Kewajiban Perantara
Dalam hal ini perantara memiliki kewajiban terdahap prinsipal dalam menjalankan wewenang yang telah diperintahkan secara lisan, tertulis, atau diam-diam, sebagai berikut:
1.           Perantara wajib menaati intruksi yang diberikan oleh prinsipal meskipun perantara berpendapat intruksi itu keliru,
2.           Perantara tidak boleh membiarkan kepentingan pribadinya berbenturan dengan kepentingan prinsipal,
3.           Perantara tidak boleh mengambil keuntungan rahasia atau memutuskan dari pihak ketiga,
4.           Dan apabila perantara menerima komisi rahasia atau suap, konsensi-konsensi yang menyusul kemudian dapat digugatkan kepadanya.
f.       Hak Perantara
Selain kewajiban yang harus dipatuhi di atas perantara berhak meminta haknya kepada prinsipal jika itu diperlukan, sebagai berikut:
1.           Hak penggantian pembayaran (reimbursement),
2.           Set off (kemudahan untuk memilih alternatif yang diberikan penggugat kepada tergugat),
3.           Hak untuk menahan barang,
4.           Dan mengajukan proses hukum untuk mendapat komisi atau upah yang telah disepakati.
g.      Tanggung Jawab Prinsipal
Dilihat dari sudut pandang prinsipal, biasanya prinsipal hanya bertanggung jawab apabila prinsipal telah menguasakan perantara untuk mengakadkan kontraknya, hubungan keperantaraan daat timbul lewat cara lain, seperti:
1.           Prinsipal memperluas kekuasaan yang telah diberikannya kepada perantara,
2.           Apabila perantara melampaui batas kekuasaannya, tetapi prinsipal tetap memutuskan untuk menyetujui kontrak yang sudah dibuatkan oleh perantara. Hal ini disebut rafication (pengesahan)
3.           Perantara adalah perusahaan pengangkut (carrier) dan sedang mengangkut barang-barang yang mudah rusak (perishable goods) milik prinsipal.
h.      Hak-Hak Prinsipal
Hak prinsipal yang timbul dari kewajiban perantara yang dijalankannya sesuai dengan intruksi prinsipal atau tidak. Apabila perantara melanggar kewajiban yang ada maka hak prinsipal akan timbul dikarenakan kesalahan dari pihak perantara. Sehingga, prinsipal berhak untuk menuntut ganti rugi kepada perantara sesuai dengan risiko kerugian yang ditimbul dari pelanggaran kewajiban perantara.
C.       Perjanjian Distributor
a.         Pengertian Distributor
Distributor adalah seorang pedagang yang membeli barang dari pabrikan atau manufacturer sebagai prinsipal atau produsen untuk dijual kembali atas namanya sendiri kepada konsumen. Terdapat transaksi jual beli atau perjanjian jual beli antara prinsipal dengan distributor ketika prinsipal telah menunjukkan distributor. Setelah distributor mendapatkan barang tersebut dari prinsipal, distributor wajib memasarkan dan menjualnya kepada konsumen wilayah pemasaran dan penjualan yang ditentukan (wilayah kedistribusian).
b.        Hubungan prinsipal dengan distributor
Terdapat perjanjian jual beli antara prinsipal selaku penjual dengan distributor selaku pembeli yang membeli produk pada prinsipal. Namun sebelum itu, ada perjanjian pengangkatan atau penunjukkan oleh prinsipal kepada distributor selaku pembeli untuk menjual dan memasarkan kembali kepada konsumen atas nama distributor sendiri.
Distributor memiliki wewenang penuh terhadap produk yang dibelinya dari prinsipal dikarenakan distributor setelah membeli produk dari prinsipal menanggung segala risiko yang ada ketika menjualnya kepada konsumen. Risiko yang ditanggung distributor berupa biaya perawatan barang, biaya transportasi, dan jaminan terhadap barang yang dijualnya tanpa dapat meminta pertanggung jawaban kepada prinsipal.
Karakteristik hubungan antara prinsipal dengan distributor, meliputi:
-            Distributor berlaku seperti seorang penjual kembali (reseller) suatu produk dalam wilayah distribusinya. Timbul pemberian wewenang kepada distributor oleh prinsipal yang  tidak dapat melakukan pemasaran dan penjualan sendiri di wilayah tersebut. Wujud dari weweng tersebut adalah prinsipal memberikan dan menjamin distributor bahwa berhak melakukan pemasaran dan penjual produk di wilayah tersebut. Perjanjian ini bersifat exclusive. Ada juga perjanjian yang bersifat non-exclusive, dimana prinsipal masih memiliki hak untuk produk di wilayah yang sama.
-            Tidak bersifat sementara, tetapi dalam satu periode tertentu.
-            Adanya komitmen atau loyalitas dari distributor. Loyalitas seperti menimbulkan bahwa distributor tidak diperkenankan memasarkan dan menjual produk yang serupa pada manufaktur yang lain selama perjanjian distribusi antara prinsip dengan distributor masih berlaku.
c.         Hubungan distributor dengan konsumen
Hubungan antara distributor dengan konsumen berlaku perjanjian jual beli. Distributor sebagai penjual dan konsumen sebagai pembeli produk yang dimiliki oleh prinsipal atas nama distributor. Dari transaksi jual beli tersebut distributor memperoleh keuntungan yang didapat dari selisih antara harga beli pada prinsipal dengan harga jual kepada konsumen.
Antara distributor dengan konsumen dalam praktiknya biasanya konsumen yang menjadi pembeli bukanlah konsumen aktif namun konsimen pasif dimana konsumen pasif akan menjualnya kembali kepada konsumen aktif untuk memperoleh keuntungan dari margin.
D.      Daftar Pustaka
Budisantoso, Totok dan Nuritomo (ed.3). 2014. Bank dan Lembaga Keuangan Lain. Jakarta: Salemba Empat
Khairandy, Ridwan. 2014. Hukum Kontrak Indonesia Dalam Perspektif Perbandingan (Bagian Pertama). Yogyakarta: FH UII Press
________. 2014. Pokok-Pokok Hukum Dagang Indonesia (revisi pertama). Yogyakarta: FH UII Press
Lewis, Arthur. Dasar-Dasar Hukum Bisnis. 2009. Nusa media. Bandung


[1] Totok Budisantoso dan Nuritomo, Bank dan Lembaga Keuangan Lain (Jakarta: Salemba Empat, 2014, edisi 3), hal. 3

0 comments:

Post a Comment

Terima Kasih