Wednesday, December 2, 2015

Pendekatan Terminologi Terhadap Studi Islam dan Komunitas Muslim

A.           PENGANTAR
1.        Latar Belakang
Banyaknya pengetahuan yang diciptakan oleh para cendekiawan dengan tujuan untuk mengetahui segala sesuatu yang ada di dalam muka bumi ini sehingga dapat dibuktikan melakukan pembuktian-pembuktian yang nyata dan rasional terhadap kehidupan.
Rasional yang digunakan manusia dalam pemahaman dan kesadaran manusia dalam mengetahui apa yang terjadi pada saat itu. Manusia yang lahir dan terbentuk dalam satu pola pemikiran yang sebelumnya mengalami proses generativitas. Seperti, kelahiran menuju masa kanak-kanak, masa dewasa, kemudian menikah, berkembang biak, masa tua, sakit, dan terakhir meninggal.[1]
Keyakinan seseorang terhadap agama yang dianutnya khususnya agama Islam menjadi perhatian utama. Kepahaman umat Islam terhadap agama yang dianutnya berdasarkan ibadah-ibadah ritual menjadikan keyakinan kepada Allah SWT atau kepada yang lainnya.
Fenomena yang terlihat saat ini dan yang terjadi pada studi Islam terkait kehidupan dalam masyarakat. Pembentukan komunitas-komunitas muslim yang memiliki fungsi yang berbeda dengan tujuan yang sama dalam menjalankan perintah-perintah Allah SWT dan menjauhi segala larangan Nya.
2.        Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas bahwa rumasan masalah dalam makalah ini adalah bagaimana kontribusi signifikan studi islam dan komunitas muslim dalam pendekatan fenomenologi?
B.            PEMBAHASAN
1.        Definisi Fenomenologi
Istilah fenomenologi berasal dari bahasa Yunani, phainein yang berarti memperlihatkan. Fenomenologi memiliki 2 (dua) kata, yaitu pheinomenon yang berarti ‘apa yang terlihat’ dan logos yang berarti ‘pengetahuan/ilmu’. Dalam bahasa Indonesia biasa dikenal dengan istilah ‘gejala’. Fenomenologi berasal dari kata pheinem yang berarti ‘memperlihatkan dan pheinomenon yang berarti sesuatu yang muncul atau terlihat, sehingga dapat diartikan kembali kepada benda itu sendiri. Menurut Hadiwijoyo, kata fenomena berarti ‘penampakan’ seperti pilek, demam, dan meriang yang menunjukkan fenomena gejala penyakit.[2] Secara harfiah fenomenologi berarti refleksi atau studi tentang suatu fenomena.
Fenomenologi adalah ilmu yang berorientasi untuk mendapatkan penjelasan tentang realitas yang tampak. Memanfaatkan  pengalaman intuitif atas fenomena, sesuatu yang hadir dalam refleksi fenomenologis, sebagai titik awal dan usaha untuk mendapatkan fitur-hakekat dari dari pengalaman dan hakekat dari apa yang kita alami. Menurut Aminuddin, wawasan utama fenomenologi adalah pengertian dan penjelasan dari suatu realitas harus dibuahkan dari gejala realitas itu sendiri.
Fenomenologi adalah sebuah cara untuk memahami kesadaran yang dialami oleh seseorang atas dunianya melalui sudut pandanganya sendiri.[3] Pencapain dari fenomenologi bukan hanya sekedar pada deskripsi perasaan semata namun pada pemahaman akan pengalaman konseptual (conceptual experience) yang melampaui pengalaman inderawi itu sendiri. “Pengalaman inderawi hanyalah titik tolak untuk sampai pada makna yang lebih bersifat konseptual, yang lebih dalam dari pengalaman inderawi itu sendiri”.[4]
Kesadaran (consciousness) orang akan pengalamannya sendiri ini yang disebut dengan pengalaman konseptual (conceptual experience). Bentuk dari kesadaran tersebut dapat bermula dari imajinasi, pikiran, sampai pada hasrat tertentu ketika seseorang mengalami sesuatu.
Edmund Husserl membagi kesadaran tersebut menjadi 2 (dua) arti, yakni kesadaran adalah dasar dari pengalaman (foundation of experience) dan kesadaran akan sesuatu.
2.        Historis Fenomenologi
Edmund Husserl (1859-1938) merupakan pengkaji utama dalam fenomenologi dengan harapan agar melahirkan ilmu yang lebih bermanfaat bagi kehidupan manusia setelah sekian lama ilmu pengetahuan mengalami krisis dan disfungsional. Kajian yang dilakukan Husserl secara intens pada filsafat sehingga Husserl dikenal sebagai Bapak Fenomenologi sekitar tahun 1950-an.
Tujuan utama kajian filsafat Husserl adalah memberi landasan bagi filsafat agar dapat berfungsi sebagai ilmu yang murni dan otonom.[5]
Istilah fenomenologi pertama kali diperkenalkan oleh J.H.Lambert pada tahun 1764 untuk menunjuk pada teori kebenaran.[6] Sebenarnya pengkajian fenomenologi dalam filsafat telah dilakukan pada tahun 1765 setelah istilah fenomenologi diperkenalkan dibuktikan dalam karya-karya Immanuel Kant.
Krisis ilmu pengetahuan yang terjadi pada disiplin keilmuan maju dalam kebudayaan ilmiah yang tidak dapat memberikan nasihat apa-apa bagi manusia. Kritik Husserl terhadap ilmu pengetahuan pada saat itu, antara lain:
a.         Ilmu pengetahuan telah jatuh pada objektivisme, yaitu cara memandang dunia sebagai susunan fakta objektif dengan kaitan-kaitan niscaya. Baginya pengetahuan tersebut berasal dari pengetahuan prailmiah sehari-hari yang disebut lebenswelt.
b.        Kesadaran manusia atau subjek ditelah oleh tafsiran-tafsiran objektivitas, karena ilmu pengetahuan sama sekali tidak membersihkan diri dari kepentingan-kepentingan dunia kehidupan sehari-hari.
c.         Teori yang dihasilkan dari usaha membersihkan pengetahuan dari kepentingan-kepentingan tersebut adalah teori yang dipahami oleh tradisi Barat.
Melalui fenomenologi Husserl berusaha menemukan hubungan antara teori dengan dunia kehidupan yang dihayati, yang memiliki tujuan akhir untuk menghasilkan teori murni yang dapat diterapkan pada praktik.[7]
Setelah Husserl fenomenologi yang dikaji melalui ilmu filsafat, fenomenologi berkembang dalam pemikiran kajian terhadap sosiologis. Tokoh-tokoh pada masa setelah Husserl tersebut, antara lain Morleau-Ponty, Alfred Schutz, Peter L. Berger, dan Thomas Luckmann.
Pendapat Morleau-Ponty bahwa manusia adalah kesatuan dari dimensi fisik dan non fisik yang menciptakan makna dalam dunia. Seseorang sebagai subjek pengamat, memiliki relasi dengan sesuatu di dunia ini
Pemahaman akan hubungan antar individu dengan institusi terjadi secara dialektik. Masyarakat adalah produk manusia, masayarakat adalah realitas objektif, dan manusia produk masyarakat. Proses tersebut terjadi melalui hubungan memori dari pengalaman dan peran individu.[8]
3.        Metode dan Pendekatan Fenomenologi
Fenomenologi merupakan upaya pemberangkatan dari metode ilmiah yang berasumsi bahwa eksistensi suatu realitas yang tidak orang ketahui dalam pengalaman biasa. Fenomenologi menjadikan pengalaman yang dihayati secara aktual sebagai data dasar suatu realitas.
Pendekatan adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama.[9]
Yang dimaksud pendekatan fenomenologi adalah studi pendekatan agama dengan cara membandingkan berbagai macam gejala dari bidang yang sama, antara berbagai macam agama, misalnya cara penerimaan penganut, do’a-do’a, upacara penguburan, dan sebagainya.
Metode yang digunakan untuk mempelajari dan melukiskan ciri-ciri intrinsik dari gejala tersebut menggunakan metode deskriptif. Bertujuan untuk mengungkap intensionalitas, kesadaran, dan dunia kehidupan.[10]
Langkah atau metode dalam memahami fenomena, antara lain:
a.         Melihat fenomena sebagai esensi, sebagai fenomena murni, melakukan rekduksi yakni melihat sesuatu dan menutup mata untuk hal lain. Dapat dibagi menjadi 4 (empat) reduksi, meliputi:
-       Menghadap sesuatu fenomena sebagai hal yang menampakkan diri dan tidak melihat hal itu sebagai hal yang ada.
-       Melihatnya sebagai sesuatu yang umum.
-       Menutup mata untuk hal yang berhubungan dengan kebudayaan.
-       Fenomena dilihat dari segi supra individual sebagai objek untuk suatu subjek umum, biasa disebut reduksi transendental.
b.        Melalui Objektivitas, suatu fakta yang diteliti dalam perspektif fenomenologi bersifat subjektif, yakni berdasarkan penuturan para subjek yang mengalami fakta atau fenomena yang bersangkutan. Secara objektivitas dapat dilakukan dengan 2 (cara), yaitu Epoche[11] dan Eiditik[12].
Pendekatan fenomenologi digunakan untuk memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang biasa dalam situasi-situasi tertentu. Penelitian fenomenologi dapat mengacu pada 3 (tiga) hal, yaitu filsafat, sejarah, dan pada pengertiannya yang lebih luas.
Dari 3 (tiga) hal tersebut maka ada 3 (tiga) langkah yang harus dilakukan dalam penelitian fenomenologi sehingga apa yang dilakukan mendapatkan hasil yang diharapkan, antara lain:
a.         Deskripsi tentang tidak saja ajaran, tetapi juga berbagai bentuk ekspresi keagamaan yang bersifat tata-upacara, simbolik atau mistis.
b.        Deskripsi tentang hakikat kegiatan keagamaan, khususnya dalam hubungannya dengan bentuk ekspresi kebudayaan.
c.         Deskripsi tentang perilaku keagamaan, berupa:
-       Deskripsi ontologis, deskripsi yang memusatkan perhatiannya pada objek kegiatan keagamaan. Objek ini dapat berupa Tuhan, “Yang Suci” atau “Yang Gaib”,”Kekuasaan” dan sebagainya.
-       Deskripsi psikologis, deskripsi yang perhatiannya diletakkan pada kegiatan keagamaan itu sendiri.
-       Deskripsi dialektik, deskripsi yang memperhatikan hubungan antara subjek dan objek dalam kegiatan keagamaan.
Sedangkan yang dimaksud dengan pendekatan fenomenologi dalam studi agama adalah sebuah proses pencarian ajaran tentang sebuah keagamaan. Objek yang dalam penelitian tersebut adalah apa yang diketahui, dirasa (pengalaman) oleh seseorang atau sebuah komunitas tertentu tentang agama yang dianut.
Karakteristik pendekatan fenomenologi dibagi menjadi 2 (dua), antara lain:
a.         Metode untuk memahami agama orang lain dalam perspektif netralitas, dan menggunakan preferensi orang yang bersangkutan untuk mencoba melakukan rekontruksi dalam dan menurut pengalaman orang lain tersebut.
b.        Mengkonstruksi rancangan taksonomi untuk mengklasifikasikan fenomena masyarakat beragama, budaya, dan bahkan epoche.
Pendekatan dan metode penelitian terhadap agama yang digunakan mengadopsi pandangan positivistik tentang fakta-fakta empiris dan pengatahuan objektif yang bisa diamati.
Dalam buku Geradus Van der Leeuw yang berjudul Religion in Essense and Manifestation: A Study in Phenomenology of Religion ada tahapan-tahapan pendekatan fenomenologi dalam studi agama, antara lain:[13]
a.         Mengklasifikasikan fenomena keagamaan dalam kategorinya masing-masing, seperti Qurban, sakramen, tempat-tempat suci, waktu suci, kata-kata atau tulisan suci, festival dan mitos.
b.        Melakukan interpolasi dalam kehidupan pribadi peneliti, dalam arti seorang peneliti dituntut untuk ikut membaur dan berpartisipasi dalam sebuah keberagamaan yang diteliti untuk memperoleh pengalaman dan pemahaman dalam dirinya sendiri.
c.         Melakukan epoche atau menunda peniliaian yang telah dijelaskan di atas dengan cara pandang yang netral.
d.        Mencari hubungan struktural dari informasi yang dikumpulkan untuk memperoleh yang holistik tentang berbagai aspek terdalam suatu agama.
4.        Karya-Karya Utama dalam Fenomenologi Agama
Fenomenologi agama menurut Douglas Allen memberikan 4 (empat) pengertian dalam mendefinisikannya, sebagai berikut:
-            sebagai sebuah investigasi terhadap fenomena atau objek-objek, fakta-fakta dan peristiwa-peristiwa agama yang bisa diamati.
-            Sebagai sebuah studi komparatif dan klasifikasi tipe-tipe fenomena agama yang berbeda.
-            Sebagai cabang, disiplin atau metode khusus dalam kajian-kajian agama.
-            Adanya ilmuan fenomenologi agama yang dipengaruhi oleh fenomenologi filsafat.
Sedangkan pengertian yang dijelaskan James L. Cox tentang fenomenologi agama adalah sebuah metode yang menyesuaikan prosedur-prosedur epoche (penundaan penilaian-penilaian sebelumnya) dan intuisi Eidetis (melihat ke dalam makna agama) dengan kajian terhadapa beragama ekspresi simbolik yang direspons oleh orang-orang sebagai nilai yang tidak terbatas buat meraka.[14]
Dari definisi di atas, fenomenologi agama memiliki fokus pemahaman pada aspek pengalaman keagamaan, dengan mendeskripsikan atau menggambarkan fenomena keagamaan secara konsisten dalam orientasi keimanan atau kepercayaan objek yang diteliti.
Fenomenologi agama muncul dengan tujuan untuk menghindari pendekatan-pendekatan yang sempit, etnosentris, dan normatif dengan maksud mendeskripsikan pengalaman-pengalaman agama dengan akurat.[15]
Menurut Noeng Muhajir, secara ontologis pendekatan fenomenologi dalam penelitian agama mengakui 4 (empat) kebenaran yakni sensual, logik, etik,dan transendental.[16]
Kebenaran sensual yang dimaksudkan adalah berdasarkan kemampuan indrawi manusia kemudian kebenaran logik adalah berdasarkan ketajaman berpikir dan kebenaran etik berdasarkan ketajaman akal budi dalam memberi makna atas sebuah indikasi. Sedangkan kebenaran transendental dibedakan menjadi 2 (dua), yakni kebenaran insaniyah dan kebenaran ilahiyah.
Freud dan Marx berpendapat bahwa kepercayaan terhadap 3 (tiga) hal, seperti Tuhan, hidup sesudah mati, dan susunan moril tak ada artinya. Positivisme terhadap agama adalah hubungan antara agama dan pengetahuan (sains).
Tokoh-tokoh yang memiliki peran dalam pengembangan fenomenologi agama, meliputi:
a.         Pierre Daniel Chantepie de la Saussaye (1848), dalam karyanya Lehrbuch der Religionsgeschte yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris menjadi Handbook of the History of Religion
Menggunakan fenomenologi agama sebagai sebuah kajian komperatif dimana cara kerjanya adalah dengan mengklasifikasikan, menyusun tipe-tipe fenomena agama yang berbeda secara sistematis. Saussaye membagi agama menjaai 2 bagian wilayah penelitian yaitu pada esensi dan manisfestasi yang berlandaskan pada pemikiran Hegel.
b.        William James (1902), pada tulisannya yang berjudul The Varienties of Religious Experience: A Study in Human Nature.
c.         Rudolf Otto (1923), dalam karyanya The Idea of The Holy
d.        Gerardus Van der Leeuw (1933), dalam karyanya yang berjudul Phenomenologie der Religion
Menurut Leeuw, fenomenologi agama didasari 3 (tiga) bagian fundamental, yaitu Tuhan, Manusia, hubungan antara Tuhan dan Manusia. Ada 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan pada mencari atau mengamati fenomena sebagaimana yang tampak, yaitu sesuatu itu berwujud, sesuatu itu tampak, dan karena sesuatu itu tampak dengan tepat maka ia merupakan fenomena
e.         Mircea Eliade (1959), Patterns in Comparative Religion dan The Sacred and The Profane
f.         William Brede Kristensen (1960), pada karyanya The Meaning of Religion
Dalam pemikirannya ini, Kristensen memaparkan bahwa sejarah agama dana filsafat saling berhubungan dan mempengaruhi sebagai pelengkap kajian fenomenologi. Dengan tujuan utama mencari ‘makna’ fenomena keagamaan. Dalam pencarian ‘makna’ tersebut Kristensen mencoba menjelaskannya dalam konteks keimanan masing-masing orang.
g.        Ninian Smart (1971), The Religious Experience of Mandkin dan The Science of Religion and the Sociology of Religion
h.        Jacques Waardenberg (1973), Classical Approaches to the Study of Religion
i.          Wilfred Cantwell Smith (1978), The Meaning and The And of The Religion
5.        Penulis-Penulis Terkenal dan Karyanya
Menurut Annemarie Schimmel dalam karyanya Deciphering the Signs of God: a Phenomenological Approach to Islam bahwa pendekatan fenomenologi merupakan salah satu cara dalam upaya pendekatan pemahaman terhadap Islam. Menemukan makna atau rahasia-rahasia dibalik tanda-tanda Allah.
Schimmel dalam memahami Islam menggunakan objek kajian yang terdiri dari 4 (empat) lapisan, meliputi:
a.         Lapisan terluar, terdiri dari 3 (tiga) bagian antara lain objek yang suci, kata-kata yang suci, manusia yang suci dan masyarakat yang suci.
b.        Lapisan dalam yang pertama. Pada lapisan ini terdapat beberapa konsep antara lain konsep ketuhanan, konsep penciptaan, konsep wahyu, konsep penebusan dosa/penyelamatan, dan konsep tentang hari akhir.
c.         Lapisan dalam kedua, adanya nilai-nilai keagamaan dimana manusia yang disebut sebagai objek suci, dan perbuatan yang suci seperti penghormatan terhadap Allah, taqwa, iman, harapan (do’a), dan cinta kepada Allah
d.        Lapisan yang paling dalam (pusat), merupakan realitas ketuhanan yang hanya bisa dipahami melalui seluruh pikiran dalam, pengalaman hati, melalui dua pengertian. Pengertian pertama, Allah sebagai wajah yang tampak dari sudut pandang manusia sebagai Yang Maha Suci, Maha Benar, Maha Adil, Maha Cinta, Maha Pengasih, Maha Penyelamat yang diekpresikan dengan kata’ Engkau’. Pada pengetian kedua, sebagai Allah Yang Maha Agung yang diekspresikan sebagai ‘Dia’ sebagai kesatuan yang absolute.[17]
Dalam karya Schimmel bertujuan untuk mengungkap suatu kebenaran yang terdapat pada kepercayaan kalangan umat Islam bahwa setiap benda, tempat, waktu, atau tindakan mengandung hikmah tertentu serta dapat dijadikan fondasi dalam melakukan pendekatan terhadap Islam.
Geo Widengren yang menerangkan bahwa Nabi Muhammad saw adalah Rasul Allah SWT dalam pandangan Islam, yang merima wahyu melalui perantara Malaikat Jibril.
Roest Crollius menerangkan tentang firman Allah yang tertuang dalam ayat-ayat Al Qur’an dan mengidentifikasi ayat tersebut pada kata qala dan qawl.
Anthony H. Jhons dalam karyanya yang berjudul The Qur’an on The Qur’an yang menjelaskan tentang Al Qur’an yang diambil dari keterangan Al Qur’an itu sendiri dimana Al qur’an memiliki karakteristik yang khas sebagaimana dipahami umat Nabi Muhammad.
William Graham yang membahas Al Qur’an dan menganalisis keunikan karakteristik Kitab Suci Agama Islam dari segi sifat oral Al Qur’an serta fungsinya sebgai firman Tuhan yang diturunkan bukan dalam arti firman Tuhan yang terrulis dan dibukukan.
6.        Problem dan Prospek Pendekatan Fenomenologi
Problem pada pendekatan fenomenologi ini berasal dari pemikiran Husserl yang masih terperangkap dalam konsep paradigma. Konsep transcendental membuat Husserl larut dalam masalah kesadaran, sehingga melupakan eksistensi yang konkret dan yang diperolehnya hanya gambaran yang ideal serta abstrak tentang manusia.
Anggapan kesadaran sebagai pusat kenyataan dan menjadikan totalitas muatan yang berasal dari imajinasi sebagai muatan realisme. Kemudian, fenomenologi yang memberikan peran terhadap subjek untuk ikut terlibat dalam objek yang diamati, sehingga jarak antara subjek dan objek yang diamati menjadi tidak jelas (kabur).
Problem yang pertama dihadapi, dengan maksud membangun suatu pendekatan metodologi alternatif yang berakar pada ontologi Islam terletak pada penyingkiran wahyu Allah dari wilayah ilmu. Penyingkiran ini memiliki asal usul dalam batasan tradisi ilmiah Barat sebagai akibat dari konflik internal antara keagamaan Barat dengan komunitas ilmiah. Dalam tradisi Islam, wahyu dan ilmu tidak pernah dipahami sebagai 2 (dua) hal yang ekslusif. [18]
Problem kedua, argumen pada uraian di atas gagal melihat bahwa wahyu (paling tidak dalam bentuk final dan islami) mencari justifikasinya di dalam realitas empiris. Dari sudut pandang wahyu Tuhan, realitas empiris adalah manifestasi realitas transendental.
Pentingnya fakta bahwa yang empiris tidak memiliki makna ketika ia terpisahkan dari totalitasnya, seperti yang ingin diakui oleh ilmu Barat, melampaui batas-batas realitas empiris.
Prospek dalam pendekatan fenomenologi sebagai metode berpikir merupakan sesuatu yang progresif karena usahanya untuk mengembalikan hal-hal yang hakiki yang bersangkutan dengan kehidupan manusia.
Memahami dan mencari hakikat keberagamaan dimana pencarian hakikat merupakan unsur universal agama-agama, dapat memahami kesamaan hakikat agama-agama. Faktanya sekarang ini, dimana dunia sudah masuk era pluralisme dan multikulturalisme, sehingga dalam pendekatan fenomenologi dalam penelitian studi Islam dapat membantu menciptakan sikap terbuka antar komunitas muslim, toleran dan menghargai pengikutnya baik komunitas NU, Muhammadiyah, HTI, PKS, dan lain sebagainya kecuali syi’ah. Perbedaan tersebut agar diperoleh pemahaman yang utuh mengenai objek yang diamati yaitu Islam.
7.        Kontribusi Pendekatan Fenomenologi
Dalam perkembangan studi agama, Ake Hultzkrantz menetapkan 3 (tiga) poin signifikan fenomenologi dalam studi agama, antara lain:
a.         Mencari bentuk-bentuk dan struktur agama-agama, dan akhirnya dari suatu agama tertentu.
b.        Berusaha memahami fenomena keagamaan yang bekerja dalam 2 (dua) tingkatan, pada tingkatan pertama dengan mencoba mencari tempat dari sifat bawaan keagamaan dalam suatu budaya, yaitu apa makna agama bagi orang-orang yang ada di dalam kebudayaan tersebut, dan tingkatan kedua dengan melibatkan pemahaman umum terhadap elemen-elemen keagamaan dalam hubungan yang lebih luas, yaitu makna teoritisnya.
c.         Menyediakan suatu makna bagi sejarah agama-agama dengan cara menerangkannya bersama dan mengintegrasikannya.
Dakwah para wali songo dan sunan dalam membentuk corak kebudayaan dengan tidak merubah budaya yang lama. Alasannya, bahwa agar tradisi atau budaya yang sudah kental dalam masyakarat tersebut tidak pengalami perubahan yang sangat tajam namun dengan perlahan sehingga ajaran Islam dapat diterima dengan mudah dan tanpa ketakutan.
Unsur-unsur tradisi yang masih melekat sampai sekarang di antaranya acara tahlilan yang diadakan ketika ada orang yang meninggal dunia (mati), ziarah yang bertujuan untuk mendo’akan atau mengingat orang yang telah meninggal dengan mendatangi makam atau tempat penguburannya, sekataenan, grebeg mulud, dan masih banyak lagi.
Acara tahlilan tersebut merupakan budaya lokal yang telah melekat pada tradisi Hindu-Budha. Pada ajaran Nabi Muhammad saw tidak pernah ada acara tahlilan, yang ada adalah mendo’akan orang yang telah berpulang kerahmat Nya sehingga diampuni dosanya dan diterima amal ibadah serta keimanan Islamnya.
Sekatenan diadakan oleh Sunan Bonan dalam rangka menyambut hari Maulud Nabi Muhammad saw yang bertepatan dengan bulan rabiul awal tahun hijriah. Dalam dakwahnya, beliau menggunakan pertunjukkan wayang dan lagu-lagu wewayangan dengan isi yang berpesan ajaran-ajaran agama Islam
Ada juga pendekatan-pendekatan teologis berpengaruh yang menggunakan fenomenologi agama sebagai satu tingkatan dalam formulasi teologi, seperti  Friedrich Schleirmacher, Paul Tillich dan Jean Luc Marion.
Pendapat Trueblood tentang kepercayaan yang dianut Islam dalam QS. Al Haj : 5-7 yang memiliki arti “Wahai manusia! Jika kamu meragukan (hari) kebangkitan, maka sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu, dan Kami tetapkan dalam rahim menurut kehendak Kami sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu sampai kepada usia dewasa, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (ada pula) di antara kamu yang dikembalikan sampai usia sangat tua (pikun), sehingga dia tidak mengetahui lagi sesuatu yang telah diketahuinya. Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air (hujan) di atasnya, hiduplah bumi itu dan menjadi subur dan menumbuhkan berbagai jenis pasangan tetumbuhan yang indah; Yang demikian itu karena sungguh, Allah, Dialah yang hak dan sungguh, Dialah yang menghidupkan segala yang telah mati, dan sungguh. Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu; Dan sungguh, (hari) Kiamat itu pasti datang, tidak ada keraguan padanya, dan sungguh, Allah akan membangkitkan siapa pun yang di dalam kubur” bahwa hidup itu akan langsung (sesudah mati) tidak lebih mengherankan daripada kenyataan bahwa hidup itu terjadi.[19]
C.            REFLEKSI
1.        Kesimpulan
Pendekatan fenomenologi digunakan untuk mengetahui fenomena yang terjadi pada studi Islam dan komunitas muslim. Gejala yang timbul dari ajaran Islam dari gerakan shalat, perilaku puasa uamt muslim, pembayaran zakat, dan pelaksanaan ibadah haji dan umroh. Gejala-gejala tersebut yang disebut sebagai keyakinan atau keimanan umat muslim yang taat kepada perintah Allah dan menjauhi larangan Nya.
Tokoh-tokoh yang melakukan penelitian pada fenomenologi bermula pada istilah fenomenologi itu sendiri yang berasal dari Lambert. Dikembangkan oleh Husserl dan tokoh-tokoh pemikir lain dalam bidang filsafasat dan sosiologi.
Timbul pemikiran tentang keagamaan, yang dilakukan oleh pengikutnya. Agama Islam menjadi pusat pemikiran tentang adanya kehidupan, mulai dari lahir, proses kehidupan, dan kematian. Adanya kehidupan setelah kematian menjadikan pembahasan yang irrasional.
Wahyu dan akal menjadi literal yang sulit dikaji, adanya kebimbangan dalam pemikiran yang rasional. Kaum muslim yang melakukan pemikiran-pemikiran dengan cara bertukar pikiran sehingga menghasilkan teori-teori dan pandangan-pandangan macam-macam golongan muslim.
Suatu fenomena yang dapat dibuktikan, dapat diukur, dan dapat dilihat sehingga pengetahuan itu ada dan muncul sebagai teori yang memiliki landasan. Menurut Auguste Comte, sejarah manusia itu meningkat dari tingkatan pertama yang dikatakan tingkatan keagamaan kepada tingkatan yang kedua yang dikatakan tingkatan metafisik dan akhirnya sampai kepada tingkatan yang ketiga yang dinamakan tingakatan positif, yaitu tingkatan pengetahuan (sains) yang di dalamnya manusia tidak lagi suka memikirkan apa yang tak dapat mereka cobakan, akan tetapi manusia membatasi dan mendasarkan pengetahuannya kepada apa yang dapat dilihat (observable), apa yang dapat diukur (measurable), dan dapat dibuktikan (verifiable).[20]
2.        Saran dan Kritik
Landasan dalam berpikir dengan menggunakan hanya menggunakan pendekatan fenomenologi kurang dapat dipahami karena segala sisi dari studi Islam tidak hanya bisa dikaji dengan melihat sesuatu yang tampak. Keyakinan dan kepercayaan yang ada dalam hati (qalbu) menjadi faktor lain dalam memahami studi Islam. Sesuatu yang tidak tampak namun penting untuk diketahui ada dan tidaknya suatu hal tersebut.
Penciptaan yang dimulai dari tanah kemudian terbentuk di dalam rahim seorang wanita sehingga terciptalah manusia-manusia sekarang ini. Dalam QS. Al Hajj menjelaskan penciptaan manusia tersebut yang secara rasional sulit untuk diukur dan dibuktikan, hanya dapat dilihat saja.
Adanya pertentangan dalam pembahasan wahyu dan akal manusia, wahyu itu diturunkan kepada manusia melalui malaikat Nya, dalam hal ini Nabi Muhammad saw yang diberi wahyu oleh malaikat Jibril untuk menyebarkan ajaran Islam.
Secara rasional, malaikat itu ditugaskan dalam ajaran Islam untuk menyampaikan Qallam Allah SWT. Penyampaian wahyu tidak dijelaskan secara detail, serta tidak dapat dibuktikan secara akurat dan tidak dapat diukur hanya mempercayai dari orang-orang terdahulu yang membawa ajaran Islam.
D.           DAFTAR PUSTAKA
Allen, Douglas. 2005. Phenomenology of Religion dalam The Routledge Companion to the Study of Religion, London and New York: Routledge
Baidhawy, Zakiyuddin. 2011. Studi Islam Pendekatan dan Metodologi. Yogyakarta: Insan Madani
Bertens, K. 1981. Filsafat Barat dalam Abad XX. Jakarta: PT Gramedia
Darmawan, Tony Rohmad dkk. 2013. Pendekatan Fenomenologi dalam Studi Islam, makalah metodologi studi Islam, STAIN Salatiga
Drummond, John. J., Political Community, dalam Phenomenology of the Political. Kevin Thompson dan Lester Embree (ed), Kluwer Academic Publisher, London 2000
Hasbiansyah, O. 2005. Pendekatan Fenomenolgi: Pengantar Praktik Penelitian dalam Ilmu Sosial dan Komunikasi, dalam jurnal yang terakraditasi Dirjen Dikti SK No. 56/DIKTI/Kep/2005
Lathief, Supaat I. 2010. Psikologi Fenomenologi Eksistensialisme. Kendal: Pustaka Pujangga
Nurbai, Efrizal. Metodologi Studi Islam: Pendekatan Fenomenologis. http://www.musliminzuhdi.com/2014/09/metodologi-studi-islam pendekatan_18.html, 18 Agustus 2014
_________. Pendekatan Fenomenologi dalam Studi Islam. http://tarbiyahiainib.ac.id/categoryblog/651-pendekatan-fenomenologi-dalam-studi-islam, Jum’at 18 September 2015 07:57
Rusli, Pendekatan Fenomenologi dalam Studi Agama Konsep, Kritik dan Aplikasi, (Islamica, Vol. 2, No.2, Maret 2008)
Snijders, Adelbert. 2006. Manusia dan Kebenaran. Yogyakarta: Kanisius
Studi Islam Pendekatan Fenomenologis,  http://ilmutuhan.blogspot.co.id/2012/01/studi-islam-pendekatan-fenomenologis.html, 18 Januari 2012
Trueblood, David. 1990. Philosophy of Religion (terjemahan H. M Rasjidi, Filsafat Agama). Jakarta: PT Bulan Bintang
Wattimena, Reza A.A. Komunitas Politis: Fakta atau Hipotesa Sebuah Pendekatan Fenomenologi Politis. Jurnal Filsafat


[1] Drummond, John, Political Community, dalam Phenomenology of the Political, hal. 31
[2] Harun Hadiwijoyo, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), hal. 140
[3]Wattimena, Reza A.A., Komunitas Politis: Fakta atau Hipotesa? Sebuah Pendekatan Fenomenologi Politis, dalam Jurnal Filsafat
[4] Ibid.
[5] Adam Kuper dan Jessica Kuper (ed), Esiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial, terjemahan Haris Munandar, dkk, Editor Zubaidi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), 1996, hal. 749
[6] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama), 2002, hal. 234
[7] F. Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu, Masyarakat, Politik & Posmodernisme Menurut Jurgen Habermas, (Yogyakarta: Kanisius), 1993, hal. 5
[8] O. Hasbiansyah, Pendekatan FenomenologiL Pengantar Praktik Penelitian dalam Ilmu Sosial, 2005, hal. 165
[9] K. Bertens, Filsafat Barat dalam Abad XX, Jakarta: PT Gramedia, 1981, hal. 109
[10] Adam Kuper dan Jessica Kuper (ed), Esiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial, terjemahan Haris Munandar, dkk, Editor Zubaidi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), 1996, hal. 749
[11] Proses dimana si peneliti menangguhkan atau menunda penilaian terhadap fakta/fenomen yang diamatinya walaupun ia telah memiliki prakonsepsi atau penilaian tertentu sebalumnya terhadap fenomena.
[12] Memahami fenomena melalui pemahaman atas ungkapan-ungkapan atau ekspresi-ekspresi yang digunakan subjek. Dalam hal ini peneliti mencoba memasuki wilayah pengalaman pemikiran subjek melalui imajinatif.
[13] Dikutip dari Rev. Emeka C. Ekeke & Chike Ekeopara, Phenomenological Approach..., hal. 271
[14] Fazlur Rahman, Approches to Islam in Religious Studies, Review Essay, dalam Richard Martin (ed), Approaches to Islam in Religious Studies, hal. 190
[15] http://en.wikipedia.org/phenomenology of religion, dikutip 6 Januari 2011
[16] Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1989), hal. 19
[17] Zakiyuddin Baidhawy, Studi Islam Pendekatan dan Metodologi, (Yogyakarta: Insan Madani, 2011), hal. 283-284
[18] Lousy Safi, Sebuah Refleksi Perbandingan Metode-Metode Penelitian Islam dan Barat Ancangan Metodologi Alternatif, (terjemahan Imam Khoiri, Jakarta: PT Tiara Wacana Yoga, 2001), hal. 203
[19] Trueblood, Philosophy of Religion, diterjemahkan oleh H. M. Rasjidi, hal. 185
[20] Ibid, hal. 114

0 comments:

Post a Comment

Terima Kasih