A.
PENGANTAR
1.
Latar Belakang
Banyaknya pengetahuan yang
diciptakan oleh para cendekiawan dengan tujuan untuk mengetahui segala sesuatu
yang ada di dalam muka bumi ini sehingga dapat dibuktikan melakukan
pembuktian-pembuktian yang nyata dan rasional terhadap kehidupan.
Rasional yang digunakan manusia
dalam pemahaman dan kesadaran manusia dalam mengetahui apa yang terjadi pada
saat itu. Manusia yang lahir dan terbentuk dalam satu pola pemikiran yang
sebelumnya mengalami proses generativitas. Seperti, kelahiran menuju masa
kanak-kanak, masa dewasa, kemudian menikah, berkembang biak, masa tua, sakit,
dan terakhir meninggal.[1]
Keyakinan seseorang terhadap
agama yang dianutnya khususnya agama Islam menjadi perhatian utama. Kepahaman
umat Islam terhadap agama yang dianutnya berdasarkan ibadah-ibadah ritual
menjadikan keyakinan kepada Allah SWT atau kepada yang lainnya.
Fenomena yang terlihat saat ini
dan yang terjadi pada studi Islam terkait kehidupan dalam masyarakat.
Pembentukan komunitas-komunitas muslim yang memiliki fungsi yang berbeda dengan
tujuan yang sama dalam menjalankan perintah-perintah Allah SWT dan menjauhi
segala larangan Nya.
2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar
belakang di atas bahwa rumasan masalah dalam makalah ini adalah bagaimana kontribusi
signifikan studi islam dan komunitas muslim dalam pendekatan fenomenologi?
B.
PEMBAHASAN
1.
Definisi
Fenomenologi
Istilah fenomenologi berasal
dari bahasa Yunani, phainein yang berarti memperlihatkan. Fenomenologi
memiliki 2 (dua) kata, yaitu pheinomenon yang berarti ‘apa yang
terlihat’ dan logos yang berarti ‘pengetahuan/ilmu’. Dalam bahasa
Indonesia biasa dikenal dengan istilah ‘gejala’. Fenomenologi berasal dari kata
pheinem yang berarti ‘memperlihatkan dan pheinomenon yang berarti
sesuatu yang muncul atau terlihat, sehingga dapat diartikan kembali kepada
benda itu sendiri. Menurut Hadiwijoyo, kata fenomena berarti ‘penampakan’
seperti pilek, demam, dan meriang yang menunjukkan fenomena gejala penyakit.[2]
Secara harfiah fenomenologi berarti refleksi atau studi tentang suatu fenomena.
Fenomenologi adalah ilmu yang
berorientasi untuk mendapatkan penjelasan tentang realitas yang tampak.
Memanfaatkan pengalaman intuitif atas
fenomena, sesuatu yang hadir dalam refleksi fenomenologis, sebagai titik awal
dan usaha untuk mendapatkan fitur-hakekat dari dari pengalaman dan hakekat dari
apa yang kita alami. Menurut Aminuddin, wawasan utama fenomenologi adalah
pengertian dan penjelasan dari suatu realitas harus dibuahkan dari gejala
realitas itu sendiri.
Fenomenologi adalah sebuah cara
untuk memahami kesadaran yang dialami oleh seseorang atas dunianya melalui
sudut pandanganya sendiri.[3]
Pencapain dari fenomenologi bukan hanya sekedar pada deskripsi perasaan semata
namun pada pemahaman akan pengalaman konseptual (conceptual experience)
yang melampaui pengalaman inderawi itu sendiri. “Pengalaman inderawi hanyalah
titik tolak untuk sampai pada makna yang lebih bersifat konseptual, yang lebih
dalam dari pengalaman inderawi itu sendiri”.[4]
Kesadaran (consciousness)
orang akan pengalamannya sendiri ini yang disebut dengan pengalaman konseptual
(conceptual experience). Bentuk dari kesadaran tersebut dapat bermula
dari imajinasi, pikiran, sampai pada hasrat tertentu ketika seseorang mengalami
sesuatu.
Edmund Husserl membagi
kesadaran tersebut menjadi 2 (dua) arti, yakni kesadaran adalah dasar dari
pengalaman (foundation of experience) dan kesadaran akan sesuatu.
2.
Historis
Fenomenologi
Edmund Husserl (1859-1938)
merupakan pengkaji utama dalam fenomenologi dengan harapan agar melahirkan ilmu
yang lebih bermanfaat bagi kehidupan manusia setelah sekian lama ilmu
pengetahuan mengalami krisis dan disfungsional. Kajian yang dilakukan Husserl
secara intens pada filsafat sehingga Husserl dikenal sebagai Bapak Fenomenologi
sekitar tahun 1950-an.
Tujuan utama kajian filsafat
Husserl adalah memberi landasan bagi filsafat agar dapat berfungsi sebagai ilmu
yang murni dan otonom.[5]
Istilah fenomenologi pertama
kali diperkenalkan oleh J.H.Lambert pada tahun 1764 untuk menunjuk pada teori
kebenaran.[6]
Sebenarnya pengkajian fenomenologi dalam filsafat telah dilakukan pada tahun
1765 setelah istilah fenomenologi diperkenalkan dibuktikan dalam karya-karya
Immanuel Kant.
Krisis ilmu pengetahuan yang
terjadi pada disiplin keilmuan maju dalam kebudayaan ilmiah yang tidak dapat
memberikan nasihat apa-apa bagi manusia. Kritik Husserl terhadap ilmu
pengetahuan pada saat itu, antara lain:
a.
Ilmu pengetahuan
telah jatuh pada objektivisme, yaitu cara memandang dunia sebagai susunan fakta
objektif dengan kaitan-kaitan niscaya. Baginya pengetahuan tersebut berasal
dari pengetahuan prailmiah sehari-hari yang disebut lebenswelt.
b.
Kesadaran manusia
atau subjek ditelah oleh tafsiran-tafsiran objektivitas, karena ilmu
pengetahuan sama sekali tidak membersihkan diri dari kepentingan-kepentingan
dunia kehidupan sehari-hari.
c.
Teori yang
dihasilkan dari usaha membersihkan pengetahuan dari kepentingan-kepentingan
tersebut adalah teori yang dipahami oleh tradisi Barat.
Melalui fenomenologi Husserl
berusaha menemukan hubungan antara teori dengan dunia kehidupan yang dihayati,
yang memiliki tujuan akhir untuk menghasilkan teori murni yang dapat diterapkan
pada praktik.[7]
Setelah Husserl fenomenologi
yang dikaji melalui ilmu filsafat, fenomenologi berkembang dalam pemikiran
kajian terhadap sosiologis. Tokoh-tokoh pada masa setelah Husserl tersebut,
antara lain Morleau-Ponty, Alfred Schutz, Peter L. Berger, dan Thomas Luckmann.
Pendapat Morleau-Ponty bahwa
manusia adalah kesatuan dari dimensi fisik dan non fisik yang menciptakan makna
dalam dunia. Seseorang sebagai subjek pengamat, memiliki relasi dengan sesuatu
di dunia ini
Pemahaman akan hubungan antar
individu dengan institusi terjadi secara dialektik. Masyarakat adalah produk
manusia, masayarakat adalah realitas objektif, dan manusia produk masyarakat.
Proses tersebut terjadi melalui hubungan memori dari pengalaman dan peran
individu.[8]
3.
Metode dan
Pendekatan Fenomenologi
Fenomenologi merupakan upaya
pemberangkatan dari metode ilmiah yang berasumsi bahwa eksistensi suatu
realitas yang tidak orang ketahui dalam pengalaman biasa. Fenomenologi
menjadikan pengalaman yang dihayati secara aktual sebagai data dasar suatu
realitas.
Pendekatan adalah cara pandang
atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan
dalam memahami agama.[9]
Yang dimaksud pendekatan
fenomenologi adalah studi pendekatan agama dengan cara membandingkan berbagai
macam gejala dari bidang yang sama, antara berbagai macam agama, misalnya cara
penerimaan penganut, do’a-do’a, upacara penguburan, dan sebagainya.
Metode yang digunakan untuk
mempelajari dan melukiskan ciri-ciri intrinsik dari gejala tersebut menggunakan
metode deskriptif. Bertujuan untuk mengungkap intensionalitas, kesadaran, dan
dunia kehidupan.[10]
Langkah atau metode dalam
memahami fenomena, antara lain:
a.
Melihat fenomena
sebagai esensi, sebagai fenomena murni, melakukan rekduksi yakni melihat
sesuatu dan menutup mata untuk hal lain. Dapat dibagi menjadi 4 (empat)
reduksi, meliputi:
-
Menghadap sesuatu
fenomena sebagai hal yang menampakkan diri dan tidak melihat hal itu sebagai
hal yang ada.
-
Melihatnya sebagai
sesuatu yang umum.
-
Menutup mata untuk
hal yang berhubungan dengan kebudayaan.
-
Fenomena dilihat
dari segi supra individual sebagai objek untuk suatu subjek umum, biasa disebut
reduksi transendental.
b.
Melalui
Objektivitas, suatu fakta yang diteliti dalam perspektif fenomenologi bersifat
subjektif, yakni berdasarkan penuturan para subjek yang mengalami fakta atau
fenomena yang bersangkutan. Secara objektivitas dapat dilakukan dengan 2
(cara), yaitu Epoche[11]
dan Eiditik[12].
Pendekatan fenomenologi
digunakan untuk memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap
orang-orang biasa dalam situasi-situasi tertentu. Penelitian fenomenologi dapat
mengacu pada 3 (tiga) hal, yaitu filsafat, sejarah, dan pada pengertiannya yang
lebih luas.
Dari 3 (tiga) hal tersebut maka
ada 3 (tiga) langkah yang harus dilakukan dalam penelitian fenomenologi
sehingga apa yang dilakukan mendapatkan hasil yang diharapkan, antara lain:
a.
Deskripsi tentang
tidak saja ajaran, tetapi juga berbagai bentuk ekspresi keagamaan yang bersifat
tata-upacara, simbolik atau mistis.
b.
Deskripsi tentang
hakikat kegiatan keagamaan, khususnya dalam hubungannya dengan bentuk ekspresi
kebudayaan.
c.
Deskripsi tentang
perilaku keagamaan, berupa:
-
Deskripsi
ontologis, deskripsi yang memusatkan perhatiannya pada objek kegiatan
keagamaan. Objek ini dapat berupa Tuhan, “Yang Suci” atau “Yang
Gaib”,”Kekuasaan” dan sebagainya.
-
Deskripsi
psikologis, deskripsi yang perhatiannya diletakkan pada kegiatan keagamaan itu
sendiri.
-
Deskripsi
dialektik, deskripsi yang memperhatikan hubungan antara subjek dan objek dalam
kegiatan keagamaan.
Sedangkan yang dimaksud dengan
pendekatan fenomenologi dalam studi agama adalah sebuah proses pencarian ajaran
tentang sebuah keagamaan. Objek yang dalam penelitian tersebut adalah apa yang
diketahui, dirasa (pengalaman) oleh seseorang atau sebuah komunitas tertentu
tentang agama yang dianut.
Karakteristik pendekatan
fenomenologi dibagi menjadi 2 (dua), antara lain:
a.
Metode untuk
memahami agama orang lain dalam perspektif netralitas, dan menggunakan
preferensi orang yang bersangkutan untuk mencoba melakukan rekontruksi dalam
dan menurut pengalaman orang lain tersebut.
b.
Mengkonstruksi
rancangan taksonomi untuk mengklasifikasikan fenomena masyarakat beragama,
budaya, dan bahkan epoche.
Pendekatan dan metode
penelitian terhadap agama yang digunakan mengadopsi pandangan positivistik
tentang fakta-fakta empiris dan pengatahuan objektif yang bisa diamati.
Dalam buku Geradus Van der
Leeuw yang berjudul Religion in Essense and Manifestation: A Study in
Phenomenology of Religion ada tahapan-tahapan pendekatan fenomenologi dalam
studi agama, antara lain:[13]
a.
Mengklasifikasikan
fenomena keagamaan dalam kategorinya masing-masing, seperti Qurban, sakramen,
tempat-tempat suci, waktu suci, kata-kata atau tulisan suci, festival dan
mitos.
b.
Melakukan
interpolasi dalam kehidupan pribadi peneliti, dalam arti seorang peneliti
dituntut untuk ikut membaur dan berpartisipasi dalam sebuah keberagamaan yang
diteliti untuk memperoleh pengalaman dan pemahaman dalam dirinya sendiri.
c.
Melakukan epoche
atau menunda peniliaian yang telah dijelaskan di atas dengan cara pandang yang
netral.
d.
Mencari hubungan
struktural dari informasi yang dikumpulkan untuk memperoleh yang holistik
tentang berbagai aspek terdalam suatu agama.
4.
Karya-Karya Utama
dalam Fenomenologi Agama
Fenomenologi agama menurut
Douglas Allen memberikan 4 (empat) pengertian dalam mendefinisikannya, sebagai
berikut:
-
sebagai sebuah
investigasi terhadap fenomena atau objek-objek, fakta-fakta dan
peristiwa-peristiwa agama yang bisa diamati.
-
Sebagai sebuah
studi komparatif dan klasifikasi tipe-tipe fenomena agama yang berbeda.
-
Sebagai cabang,
disiplin atau metode khusus dalam kajian-kajian agama.
-
Adanya ilmuan
fenomenologi agama yang dipengaruhi oleh fenomenologi filsafat.
Sedangkan pengertian yang
dijelaskan James L. Cox tentang fenomenologi agama adalah sebuah metode yang
menyesuaikan prosedur-prosedur epoche (penundaan penilaian-penilaian
sebelumnya) dan intuisi Eidetis (melihat ke dalam makna agama) dengan
kajian terhadapa beragama ekspresi simbolik yang direspons oleh orang-orang
sebagai nilai yang tidak terbatas buat meraka.[14]
Dari definisi di atas,
fenomenologi agama memiliki fokus pemahaman pada aspek pengalaman keagamaan,
dengan mendeskripsikan atau menggambarkan fenomena keagamaan secara konsisten
dalam orientasi keimanan atau kepercayaan objek yang diteliti.
Fenomenologi agama muncul
dengan tujuan untuk menghindari pendekatan-pendekatan yang sempit, etnosentris,
dan normatif dengan maksud mendeskripsikan pengalaman-pengalaman agama dengan
akurat.[15]
Menurut Noeng Muhajir, secara
ontologis pendekatan fenomenologi dalam penelitian agama mengakui 4 (empat)
kebenaran yakni sensual, logik, etik,dan transendental.[16]
Kebenaran sensual yang
dimaksudkan adalah berdasarkan kemampuan indrawi manusia kemudian kebenaran
logik adalah berdasarkan ketajaman berpikir dan kebenaran etik berdasarkan
ketajaman akal budi dalam memberi makna atas sebuah indikasi. Sedangkan
kebenaran transendental dibedakan menjadi 2 (dua), yakni kebenaran insaniyah
dan kebenaran ilahiyah.
Freud dan Marx berpendapat
bahwa kepercayaan terhadap 3 (tiga) hal, seperti Tuhan, hidup sesudah mati, dan
susunan moril tak ada artinya. Positivisme terhadap agama adalah hubungan
antara agama dan pengetahuan (sains).
Tokoh-tokoh yang memiliki peran
dalam pengembangan fenomenologi agama, meliputi:
a.
Pierre Daniel
Chantepie de la Saussaye (1848), dalam karyanya Lehrbuch der
Religionsgeschte yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris menjadi Handbook
of the History of Religion
Menggunakan fenomenologi agama sebagai sebuah kajian
komperatif dimana cara kerjanya adalah dengan mengklasifikasikan, menyusun
tipe-tipe fenomena agama yang berbeda secara sistematis. Saussaye membagi agama
menjaai 2 bagian wilayah penelitian yaitu pada esensi dan manisfestasi yang
berlandaskan pada pemikiran Hegel.
b.
William James
(1902), pada tulisannya yang berjudul The Varienties of Religious
Experience: A Study in Human Nature.
c.
Rudolf Otto (1923),
dalam karyanya The Idea of The Holy
d.
Gerardus Van der
Leeuw (1933), dalam karyanya yang berjudul Phenomenologie der Religion
Menurut Leeuw, fenomenologi agama didasari 3 (tiga) bagian
fundamental, yaitu Tuhan, Manusia, hubungan antara Tuhan dan Manusia. Ada 3
(tiga) prinsip yang dijelaskan pada mencari atau mengamati fenomena sebagaimana
yang tampak, yaitu sesuatu itu berwujud, sesuatu itu tampak, dan karena sesuatu
itu tampak dengan tepat maka ia merupakan fenomena
e.
Mircea Eliade
(1959), Patterns in Comparative Religion dan The Sacred and The
Profane
f.
William Brede
Kristensen (1960), pada karyanya The Meaning of Religion
Dalam pemikirannya ini, Kristensen memaparkan bahwa
sejarah agama dana filsafat saling berhubungan dan mempengaruhi sebagai
pelengkap kajian fenomenologi. Dengan tujuan utama mencari ‘makna’ fenomena
keagamaan. Dalam pencarian ‘makna’ tersebut Kristensen mencoba menjelaskannya
dalam konteks keimanan masing-masing orang.
g.
Ninian Smart (1971),
The Religious Experience of Mandkin dan The Science of Religion and
the Sociology of Religion
h.
Jacques Waardenberg
(1973), Classical Approaches to the Study of Religion
i.
Wilfred Cantwell
Smith (1978), The Meaning and The And of The Religion
5.
Penulis-Penulis
Terkenal dan Karyanya
Menurut Annemarie Schimmel
dalam karyanya Deciphering the Signs of God: a Phenomenological Approach to
Islam bahwa pendekatan fenomenologi merupakan salah satu cara dalam upaya
pendekatan pemahaman terhadap Islam. Menemukan makna atau rahasia-rahasia
dibalik tanda-tanda Allah.
Schimmel dalam memahami Islam
menggunakan objek kajian yang terdiri dari 4 (empat) lapisan, meliputi:
a.
Lapisan terluar,
terdiri dari 3 (tiga) bagian antara lain objek yang suci, kata-kata yang suci,
manusia yang suci dan masyarakat yang suci.
b.
Lapisan dalam yang
pertama. Pada lapisan ini terdapat beberapa konsep antara lain konsep
ketuhanan, konsep penciptaan, konsep wahyu, konsep penebusan dosa/penyelamatan,
dan konsep tentang hari akhir.
c.
Lapisan dalam
kedua, adanya nilai-nilai keagamaan dimana manusia yang disebut sebagai objek
suci, dan perbuatan yang suci seperti penghormatan terhadap Allah, taqwa, iman,
harapan (do’a), dan cinta kepada Allah
d.
Lapisan yang paling
dalam (pusat), merupakan realitas ketuhanan yang hanya bisa dipahami melalui
seluruh pikiran dalam, pengalaman hati, melalui dua pengertian. Pengertian
pertama, Allah sebagai wajah yang tampak dari sudut pandang manusia sebagai
Yang Maha Suci, Maha Benar, Maha Adil, Maha Cinta, Maha Pengasih, Maha
Penyelamat yang diekpresikan dengan kata’ Engkau’. Pada pengetian kedua,
sebagai Allah Yang Maha Agung yang diekspresikan sebagai ‘Dia’ sebagai kesatuan
yang absolute.[17]
Dalam karya Schimmel bertujuan untuk mengungkap suatu
kebenaran yang terdapat pada kepercayaan kalangan umat Islam bahwa setiap benda,
tempat, waktu, atau tindakan mengandung hikmah tertentu serta dapat dijadikan
fondasi dalam melakukan pendekatan terhadap Islam.
Geo Widengren yang menerangkan
bahwa Nabi Muhammad saw adalah Rasul Allah SWT dalam pandangan Islam, yang
merima wahyu melalui perantara Malaikat Jibril.
Roest Crollius menerangkan
tentang firman Allah yang tertuang dalam ayat-ayat Al Qur’an dan
mengidentifikasi ayat tersebut pada kata qala dan qawl.
Anthony H. Jhons dalam karyanya
yang berjudul The Qur’an on The Qur’an yang menjelaskan tentang Al
Qur’an yang diambil dari keterangan Al Qur’an itu sendiri dimana Al qur’an
memiliki karakteristik yang khas sebagaimana dipahami umat Nabi Muhammad.
William Graham yang membahas Al
Qur’an dan menganalisis keunikan karakteristik Kitab Suci Agama Islam dari segi
sifat oral Al Qur’an serta fungsinya sebgai firman Tuhan yang diturunkan bukan
dalam arti firman Tuhan yang terrulis dan dibukukan.
6.
Problem dan Prospek
Pendekatan Fenomenologi
Problem pada pendekatan
fenomenologi ini berasal dari pemikiran Husserl yang masih terperangkap dalam
konsep paradigma. Konsep transcendental membuat Husserl larut dalam
masalah kesadaran, sehingga melupakan eksistensi yang konkret dan yang
diperolehnya hanya gambaran yang ideal serta abstrak tentang manusia.
Anggapan kesadaran sebagai
pusat kenyataan dan menjadikan totalitas muatan yang berasal dari imajinasi
sebagai muatan realisme. Kemudian, fenomenologi yang memberikan peran terhadap
subjek untuk ikut terlibat dalam objek yang diamati, sehingga jarak antara
subjek dan objek yang diamati menjadi tidak jelas (kabur).
Problem yang pertama dihadapi,
dengan maksud membangun suatu pendekatan metodologi alternatif yang berakar
pada ontologi Islam terletak pada penyingkiran wahyu Allah dari wilayah ilmu.
Penyingkiran ini memiliki asal usul dalam batasan tradisi ilmiah Barat sebagai
akibat dari konflik internal antara keagamaan Barat dengan komunitas ilmiah.
Dalam tradisi Islam, wahyu dan ilmu tidak pernah dipahami sebagai 2 (dua) hal
yang ekslusif. [18]
Problem kedua, argumen pada
uraian di atas gagal melihat bahwa wahyu (paling tidak dalam bentuk final dan
islami) mencari justifikasinya di dalam realitas empiris. Dari sudut pandang
wahyu Tuhan, realitas empiris adalah manifestasi realitas transendental.
Pentingnya fakta bahwa yang
empiris tidak memiliki makna ketika ia terpisahkan dari totalitasnya, seperti
yang ingin diakui oleh ilmu Barat, melampaui batas-batas realitas empiris.
Prospek dalam pendekatan
fenomenologi sebagai metode berpikir merupakan sesuatu yang progresif karena
usahanya untuk mengembalikan hal-hal yang hakiki yang bersangkutan dengan
kehidupan manusia.
Memahami dan mencari hakikat
keberagamaan dimana pencarian hakikat merupakan unsur universal agama-agama,
dapat memahami kesamaan hakikat agama-agama. Faktanya sekarang ini, dimana
dunia sudah masuk era pluralisme dan multikulturalisme, sehingga dalam
pendekatan fenomenologi dalam penelitian studi Islam dapat membantu menciptakan
sikap terbuka antar komunitas muslim, toleran dan menghargai pengikutnya baik
komunitas NU, Muhammadiyah, HTI, PKS, dan lain sebagainya kecuali syi’ah.
Perbedaan tersebut agar diperoleh pemahaman yang utuh mengenai objek yang
diamati yaitu Islam.
7.
Kontribusi
Pendekatan Fenomenologi
Dalam perkembangan studi agama,
Ake Hultzkrantz menetapkan 3 (tiga) poin signifikan fenomenologi dalam studi
agama, antara lain:
a.
Mencari
bentuk-bentuk dan struktur agama-agama, dan akhirnya dari suatu agama tertentu.
b.
Berusaha memahami
fenomena keagamaan yang bekerja dalam 2 (dua) tingkatan, pada tingkatan pertama
dengan mencoba mencari tempat dari sifat bawaan keagamaan dalam suatu budaya,
yaitu apa makna agama bagi orang-orang yang ada di dalam kebudayaan tersebut,
dan tingkatan kedua dengan melibatkan pemahaman umum terhadap elemen-elemen
keagamaan dalam hubungan yang lebih luas, yaitu makna teoritisnya.
c.
Menyediakan suatu
makna bagi sejarah agama-agama dengan cara menerangkannya bersama dan
mengintegrasikannya.
Dakwah para wali songo dan
sunan dalam membentuk corak kebudayaan dengan tidak merubah budaya yang lama.
Alasannya, bahwa agar tradisi atau budaya yang sudah kental dalam masyakarat
tersebut tidak pengalami perubahan yang sangat tajam namun dengan perlahan
sehingga ajaran Islam dapat diterima dengan mudah dan tanpa ketakutan.
Unsur-unsur tradisi yang masih
melekat sampai sekarang di antaranya acara tahlilan yang diadakan ketika ada
orang yang meninggal dunia (mati), ziarah yang bertujuan untuk mendo’akan atau
mengingat orang yang telah meninggal dengan mendatangi makam atau tempat
penguburannya, sekataenan, grebeg mulud, dan masih banyak lagi.
Acara tahlilan tersebut
merupakan budaya lokal yang telah melekat pada tradisi Hindu-Budha. Pada ajaran
Nabi Muhammad saw tidak pernah ada acara tahlilan, yang ada adalah mendo’akan
orang yang telah berpulang kerahmat Nya sehingga diampuni dosanya dan diterima
amal ibadah serta keimanan Islamnya.
Sekatenan diadakan oleh Sunan
Bonan dalam rangka menyambut hari Maulud Nabi Muhammad saw yang bertepatan
dengan bulan rabiul awal tahun hijriah. Dalam dakwahnya, beliau menggunakan
pertunjukkan wayang dan lagu-lagu wewayangan dengan isi yang berpesan
ajaran-ajaran agama Islam
Ada juga pendekatan-pendekatan teologis
berpengaruh yang menggunakan
fenomenologi agama sebagai satu tingkatan dalam formulasi teologi, seperti
Friedrich Schleirmacher, Paul Tillich dan Jean Luc Marion.
Pendapat Trueblood tentang
kepercayaan yang dianut Islam dalam QS. Al Haj : 5-7 yang memiliki arti “Wahai
manusia! Jika kamu meragukan (hari) kebangkitan, maka sesungguhnya Kami telah
menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal
darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak
sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu, dan Kami tetapkan dalam rahim menurut
kehendak Kami sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu
sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu sampai kepada usia
dewasa, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (ada pula) di antara kamu
yang dikembalikan sampai usia sangat tua (pikun), sehingga dia tidak mengetahui
lagi sesuatu yang telah diketahuinya. Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian
apabila telah Kami turunkan air (hujan) di atasnya, hiduplah bumi itu dan
menjadi subur dan menumbuhkan berbagai jenis pasangan tetumbuhan yang indah;
Yang demikian itu karena sungguh, Allah, Dialah yang hak dan sungguh, Dialah
yang menghidupkan segala yang telah mati, dan sungguh. Dia Maha Kuasa atas
segala sesuatu; Dan sungguh, (hari) Kiamat itu pasti datang, tidak ada keraguan
padanya, dan sungguh, Allah akan membangkitkan siapa pun yang di dalam kubur”
bahwa hidup itu akan langsung (sesudah mati) tidak lebih mengherankan daripada
kenyataan bahwa hidup itu terjadi.[19]
C.
REFLEKSI
1.
Kesimpulan
Pendekatan fenomenologi digunakan
untuk mengetahui fenomena yang terjadi pada studi Islam dan komunitas muslim.
Gejala yang timbul dari ajaran Islam dari gerakan shalat, perilaku puasa uamt
muslim, pembayaran zakat, dan pelaksanaan ibadah haji dan umroh. Gejala-gejala
tersebut yang disebut sebagai keyakinan atau keimanan umat muslim yang taat
kepada perintah Allah dan menjauhi larangan Nya.
Tokoh-tokoh yang melakukan
penelitian pada fenomenologi bermula pada istilah fenomenologi itu sendiri yang
berasal dari Lambert. Dikembangkan oleh Husserl dan tokoh-tokoh pemikir lain
dalam bidang filsafasat dan sosiologi.
Timbul pemikiran tentang
keagamaan, yang dilakukan oleh pengikutnya. Agama Islam menjadi pusat pemikiran
tentang adanya kehidupan, mulai dari lahir, proses kehidupan, dan kematian.
Adanya kehidupan setelah kematian menjadikan pembahasan yang irrasional.
Wahyu dan akal menjadi literal
yang sulit dikaji, adanya kebimbangan dalam pemikiran yang rasional. Kaum
muslim yang melakukan pemikiran-pemikiran dengan cara bertukar pikiran sehingga
menghasilkan teori-teori dan pandangan-pandangan macam-macam golongan muslim.
Suatu fenomena yang dapat
dibuktikan, dapat diukur, dan dapat dilihat sehingga pengetahuan itu ada dan
muncul sebagai teori yang memiliki landasan. Menurut Auguste Comte, sejarah
manusia itu meningkat dari tingkatan pertama yang dikatakan tingkatan keagamaan
kepada tingkatan yang kedua yang dikatakan tingkatan metafisik dan akhirnya
sampai kepada tingkatan yang ketiga yang dinamakan tingakatan positif, yaitu
tingkatan pengetahuan (sains) yang di dalamnya manusia tidak lagi suka
memikirkan apa yang tak dapat mereka cobakan, akan tetapi manusia membatasi dan
mendasarkan pengetahuannya kepada apa yang dapat dilihat (observable),
apa yang dapat diukur (measurable), dan dapat dibuktikan (verifiable).[20]
2.
Saran dan Kritik
Landasan dalam berpikir dengan
menggunakan hanya menggunakan pendekatan fenomenologi kurang dapat dipahami
karena segala sisi dari studi Islam tidak hanya bisa dikaji dengan melihat
sesuatu yang tampak. Keyakinan dan kepercayaan yang ada dalam hati (qalbu)
menjadi faktor lain dalam memahami studi Islam. Sesuatu yang tidak tampak namun
penting untuk diketahui ada dan tidaknya suatu hal tersebut.
Penciptaan yang dimulai dari
tanah kemudian terbentuk di dalam rahim seorang wanita sehingga terciptalah
manusia-manusia sekarang ini. Dalam QS. Al Hajj menjelaskan penciptaan manusia
tersebut yang secara rasional sulit untuk diukur dan dibuktikan, hanya dapat
dilihat saja.
Adanya pertentangan dalam
pembahasan wahyu dan akal manusia, wahyu itu diturunkan kepada manusia melalui
malaikat Nya, dalam hal ini Nabi Muhammad saw yang diberi wahyu oleh malaikat
Jibril untuk menyebarkan ajaran Islam.
Secara rasional, malaikat itu
ditugaskan dalam ajaran Islam untuk menyampaikan Qallam Allah SWT.
Penyampaian wahyu tidak dijelaskan secara detail, serta tidak dapat dibuktikan
secara akurat dan tidak dapat diukur hanya mempercayai dari orang-orang
terdahulu yang membawa ajaran Islam.
D.
DAFTAR PUSTAKA
Allen, Douglas. 2005. Phenomenology
of Religion dalam The Routledge Companion to the Study of Religion,
London and New York: Routledge
Anggraini, Indra dkk. Pendekatan
Fenomenologi. http://m-f-s-fpsi08.web.unair.ac.id/artikel_detail-47851-PSIKOLOGI
PENDEKATAN%20FENOMENOLOGI.html, 7 Juni 2012
Baidhawy, Zakiyuddin. 2011. Studi
Islam Pendekatan dan Metodologi. Yogyakarta: Insan Madani
Bertens, K. 1981. Filsafat
Barat dalam Abad XX. Jakarta: PT Gramedia
Darmawan, Tony Rohmad dkk.
2013. Pendekatan Fenomenologi dalam Studi Islam, makalah metodologi
studi Islam, STAIN Salatiga
Drummond, John. J., Political
Community, dalam Phenomenology of the Political. Kevin Thompson dan
Lester Embree (ed), Kluwer Academic Publisher, London 2000
Hasbiansyah, O. 2005. Pendekatan
Fenomenolgi: Pengantar Praktik Penelitian dalam Ilmu Sosial dan Komunikasi,
dalam jurnal yang terakraditasi Dirjen Dikti SK No. 56/DIKTI/Kep/2005
Lathief, Supaat I. 2010. Psikologi
Fenomenologi Eksistensialisme. Kendal: Pustaka Pujangga
Nurbai, Efrizal.
Metodologi Studi Islam: Pendekatan Fenomenologis. http://www.musliminzuhdi.com/2014/09/metodologi-studi-islam
pendekatan_18.html, 18 Agustus 2014
_________. Pendekatan
Fenomenologi dalam Studi Islam. http://tarbiyahiainib.ac.id/categoryblog/651-pendekatan-fenomenologi-dalam-studi-islam, Jum’at 18 September 2015 07:57
Rusli, Pendekatan
Fenomenologi dalam Studi Agama Konsep, Kritik dan Aplikasi, (Islamica, Vol.
2, No.2, Maret 2008)
Saifurrahman. 2014. Pandangan
Wahyu, http://saifurrahman99.blogspot.co.id/2014/11/pendekatan-fenomenologi-terhadap-al.html, 08.01
Snijders, Adelbert. 2006. Manusia
dan Kebenaran. Yogyakarta: Kanisius
Studi Islam Pendekatan
Fenomenologis, http://ilmutuhan.blogspot.co.id/2012/01/studi-islam-pendekatan-fenomenologis.html, 18 Januari 2012
Trueblood, David. 1990. Philosophy
of Religion (terjemahan H. M Rasjidi, Filsafat Agama).
Jakarta: PT Bulan Bintang
Wattimena, Reza A.A.
Komunitas Politis: Fakta atau Hipotesa Sebuah Pendekatan Fenomenologi Politis.
Jurnal Filsafat
[3]Wattimena, Reza A.A., Komunitas Politis: Fakta
atau Hipotesa? Sebuah Pendekatan Fenomenologi Politis, dalam Jurnal
Filsafat
[5] Adam Kuper dan Jessica
Kuper (ed), Esiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial, terjemahan Haris Munandar, dkk,
Editor Zubaidi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), 1996, hal. 749
[6] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama), 2002, hal. 234
[7] F. Budi Hardiman, Menuju
Masyarakat Komunikatif: Ilmu, Masyarakat, Politik & Posmodernisme Menurut
Jurgen Habermas, (Yogyakarta: Kanisius), 1993, hal. 5
[8] O. Hasbiansyah, Pendekatan
FenomenologiL Pengantar Praktik Penelitian dalam Ilmu Sosial, 2005, hal.
165
[10] Adam Kuper dan Jessica
Kuper (ed), Esiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial, terjemahan Haris Munandar, dkk,
Editor Zubaidi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), 1996, hal. 749
[11] Proses dimana si peneliti
menangguhkan atau menunda penilaian terhadap fakta/fenomen yang diamatinya
walaupun ia telah memiliki prakonsepsi atau penilaian tertentu sebalumnya
terhadap fenomena.
[12] Memahami fenomena melalui
pemahaman atas ungkapan-ungkapan atau ekspresi-ekspresi yang digunakan subjek.
Dalam hal ini peneliti mencoba memasuki wilayah pengalaman pemikiran subjek
melalui imajinatif.
[14] Fazlur Rahman, Approches
to Islam in Religious Studies, Review Essay, dalam Richard Martin (ed), Approaches
to Islam in Religious Studies, hal. 190
[17] Zakiyuddin Baidhawy, Studi
Islam Pendekatan dan Metodologi, (Yogyakarta: Insan Madani, 2011), hal.
283-284
[18] Lousy Safi, Sebuah
Refleksi Perbandingan Metode-Metode Penelitian Islam dan Barat Ancangan
Metodologi Alternatif, (terjemahan Imam Khoiri, Jakarta: PT Tiara Wacana
Yoga, 2001), hal. 203
0 comments:
Post a Comment
Terima Kasih