Thursday, December 3, 2015

Kejadian Pailit Dalam Bisnis

A.      Definisi
Kepailitan berasal dari kata pailit yang digunakan dalam Bahasa Indonesia. Dalam bahasa Belanda yang dikenal dengan failiet memiliki arti gagal atau bankrut. Dalam istilah diartikan gagal melakukan pembayaran, sedangkan dalam bahasa Perancis istilah yang digunakan faillite memiliki arti pemogokan atau kemacetan dalam melakukan pembayaran. Istilah dalam bahasa Latin menggunakan fallo atau fallere yang berarti tidak sukses atau gagal melakukan pembayaran. Kata yang memiliki kesamanaan dalam bahasa Inggris yakni failure yang artinya kegagalan namun dalam hal ini lebih digunakan dengan istilah bankrupt.
Pailit sercara terminologi diartikan sebagai keadaan debitor yang berhenti membayar utang-utangnya kepada kreditor. Pailit juga dapat dimaknai keadaan seseorang atau badan hukum yang tidak mampu memenuhi kewajiban-kewajibannya atau berhenti membayar utang-utangnya. Sedangkan, dalam putusan hakim pailit adalah suatu keadaan debitor yang dinyatakan tidak mampu membayar utang-utangnya.
Dari istilah bankrupt atau pailit menurut Ensiklopedia Ekonomi Keuangan Perdagangan adalah keadaan dimana seseorang yang oleh suatu pengadilan dinyatakan bankrupt dan yang aktivanya atau warisannya telah diperuntukkan untuk membayar utang-utangnya.
Sedangkan istilah kepailitan yang digunakan di Indonesia merupakan terjemahan dari istilah faillisement dari Bahasa Belanda. Dalam sistem yang dikenal common law pada Negara Inggris dan Amerika Serikat, kepailitan dikenal dengan istilah bankruptcy. Istilah tersebut berasal dari istilah yang digunakan pedagang Italia pada abad pertengahan, yaitu banca rota atau bancarupta yang secara harfiah berarti jatuh pailit (broken bench).
Definisi dari kepailitan menurut Undang-Undang adalah sebagai sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang.[1]
Pada Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menegaskan bahwa seluruh harta benda seorang baik yang telah ada sekarang maupun yang akan datang, baik benda bergerak maupun tidak bergerak, menjadi jaminan bagi seluruh perikatannya. Kemudian dalam pasal selanjutnya 1132 dijelaskan untuk memerintahkan agar seluruh harta debitor dijual lelang dimuka umum atas dasar putusan hakim, dan hasilnya dibagikan kepada para kreditor secara seimbang, kecuali apabila diantara para kreditor itu ada kreditor yang didahulukan pemenuhan piutangnya.
Oleh karena itu, kepailitan dapat disimpulkan bahwa suatu kondisi yang mengakibatkan debitor dalam keadaan tidak mampu membayar utang-utangnya terhadap kreditor yang dinyatakan dalam putusan hakim di pengadilan dengan tindak lanjut terhadap putusan tersebut pada penyitaan seluruh kekayaan debitor baik yang telah ada sekarang maupun yang akan datang kemudian dilakukan lelang dimuka umum dan hasilnya akan dibagikan kepada kreditor secara seimbang kecuali adanya pemenuhan piutang kreditor yang harus didahulukan.
B.       Hukum dan Asas-Asas
Tujuan-tujuan dari pelaksanaan hukum kepailitan dalam Undang-Undang memiliki maksud, sebagai berikut:
1.        Untuk meningkatkan upaya pengembalian kekayaan,
2.        Memberikan perlakuan baik yang seimbang dan yang dapat diperkirakan sebelumnya kepada para kreditor,
3.        Memberikan kesempatan yang praktis untuk reorganisasi perusahaan yang sakit tetapi masih potensial bila kepentingan para kreditor dan kebutuhan sosial dilayani dengan lebih baik dengan mempertahankan debitor dalam kegiatan usahanya.
Asas-asas kepailitan yang ada dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 menyebutkan terdapat 4 (empat ) asas, sebagai berikut:
1.        Asas keseimbangan,
2.        Asas kelangsungan usaha, adanya ketentuan yang memungkinkan perusahaan debitor yang masih memiliki prospek tetap dilangsungkan.
3.        Asas keadilan, ketentuan kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang berkepentingan.
4.        Asas integrasi, sistem hukum formal dan hukum materiil kepailitan merupakan satu-kesatuan utuh dari sistem hukum perdata dan hukum acara perdata nasional.
C.       Pihak yang dinyatakan Pailit dan Pemohon Pernyataan Pailit
Pihak yang dinyatakan pailit yakni debitor dalam pasal 1 ayat 3 UU tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang mendefisinikannya sebagai orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan.
Debitor tersebut dapat berupa perorangan maupun badan hukum. Badan hukum dapat meliputi perseroan terbatas (PT), koperasi, yayasan, perkumpulan, dan BUMN (Persero dan Perum). Badan usaha yang berbentuk persekutuan dengan firma dan persekutuan komanditer merupakan badan usaha yang tidak memiliki karakter sebagai badan hukum namun melekat pada sekutunya.
Dengan karakter tersebut yang dapat dipailitkan adalah para sekutu dari firma yang melakukan persekutuan. Dalam persekutuan tersebut tidak ada kapasitas hukum untuk memiliki kekayaan atas nama persekutuan tersebut. Maka secara hukum persekutuan yang terbentuk itu tidak memiliki kekayaan.
Uraian di atas menjelaskan bahwa pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat 2, 3, 4, dan 5, meliputi:
1.        Permohonan Pernyataan Pailit oleh Debitor
Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang secara tegas dijelaskan debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang jatuh waktu dan ditagih dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit. Dalam bahasa Inggris permohonan yang pailit yang diajukan oleh debitor sendiri disebut voluntary petition.
Adapun dokumen-dokumen yang harus dilengkapi dan dikumpulkan dalam permohonan pailit oleh debitor, sebagai berikut:
-       Surat permohonan bermaterai yang ditujukan kepada ketua pengadilan negeri atau niaga yang bersangkutan;
-       Izin pengacara yang telah dilegalisasi;
-       Surat kuasa khusus;
-       Kartu Identitas Penduduk (KTP) dari suami atau istri yang masih berlaku;
-       Persetujuan dari suami atau istri yang dilegalisasi;
-       Daftar aset dan tanggung jawab; dan
-       Neraca pembukuan terakhir (dalam hal perseorangan memiliki perusahaan).
2.        Permohonan Pernyataan Pailit oleh Kreditor
Pasal 1 ayat 2 UU No.37 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menentukan bahwa kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan. Dalam hal ini, pada Pasal 2 ayat 1 yang telah dijelaskan di atas bahwa selain debitor kreditor pun dapat mengajukan permohonan pailit dikarenakan hak yang dimilikinya yang berupa piutang terhadap debitor.
Adapun dokumen-dokumen yang harus dilengkapi dalam pengajuan permohonan pailit oleh kreditor, meliputi:
-       Surat permohonan bermaterai yang ditujukan kepada ketua pengadilan negeri atau niaga yang bersangkutan;
-       Izin pengacara yang dilegalisasi kartu pengacara;
-       Surat kuasa khusus;
-       Akta pendaftaran/yayasan/asosiasi yang dilegalisasi oleh kantor perdagangan paling lambat satu minggu sebelum permohonan didaftarkan;
-       Surat perjanjian utang;
-       Perincian utang yang tidak dibayar;
-       Nama serta alamat masing-masing debitor;
-       Tanda kenal debitor;
-       Nama serta alamat mitra usaha;
-       Terjemahan dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris oleh penerjemah resmi (jika menyangkut unsur asing).
3.        Permohonan Pernyataan Pailit oleh Kejaksaan
Pasal 2 ayat 3 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menerangkan bahwa jaksa juga dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap debitor yang tidak membayar utang-utangnya kepada kreditor demi kepentingan umum seperti dijelaskan pada ayat sebelumnya.
Adapun yang dimaksud dengan kepentingan umum yang diuraikan di atas dalam pasal 2 ayat 2 UU di atas, meliputi:
-            Debitor yang melarikan diri,
-            Debitor menggelapkan bagian dari harta kekayaan,
-            Debitor mempunyai utang kepada badan BUMN atau badan usaha lain yang menghimpun dana dari masyarakat,
-            Debitor mempunyai utang yang berasal dari penghimpunan dana dari masyarakat luas,
-            Debitor tidak beritikad baik dan tidak koopertif dalam menyelesaikan utang piutang yang telah jatuh waktu, atau
-            Dalam hal lainnya menurut kejaksaan merupakan kepentingan umum.
4.        Permohonan Pernyataan Pailit oleh Bank Indonesia
Dari penjelasan di atas bahwa selain utang atau kewajiban debitor dalam membayar tersebut kepada kreditor yang berbadan hukum bukan bank. Oleh karena itu, apabila kreditor yang maksud adalah bentuk badan hukum bank maka permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia atau bisa sebaliknya. Bank yang dimaksudkan disini adalah bank sebagaimana peraturan perundang-undangan. Permohonan pengajukan ini berdasarkan penilaian kondisi keuangan dan kondisi perbankan secara keseluruhan. Dalam kasus ini, dari pihak debitor maupun kreditor apabila salah satu darinya berbadan hukum berbentuk perbankan maka kewenangan sepenuhnya ada pada Bank Indonesia terkait ketentuan pencabutan izin usaha bank, pembubaran badan hukum, dan likuidasi bank sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
5.        Permohonan Pernyataan Pailit oleh Badan Pengawas Pasar Modal
Pasal 2 ayat 4 UU No. 37 Tahun 2004 dijelaskan bahwa debitor yang berupa perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring, atau penjamanan maka permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam). Pada aturan sekarang ini, kewenangan dan tugas Bapepam sebagai regulator dan pengawas pasar modal telah digantikan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
6.        Permohonan Pernyataan Pailit oleh Menteri Keuangan
Pada pasal 2 ayat 4 UU No. 37 juga menjelaskan apabila debitor adalah perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pensiun, BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik maka permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan.
Kemudian pengajuan permohonan pernyataan pailit oleh debitor yang telah menikah, menurut pasal 4 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang bahwa pengajuan tersebut hanya dapat diajukan atas persetujuan suami atau istri dikarenakan terdapat percampuran harta atau kekayaan.
Adapun kreditor disini yang maksudkan apabila pihak yang melakukan proses kepailitan terhadap kreditor kepada debitor, biasa dikenal dengan panitia kreditor. Panitia kreditor adalah pihak yang mewakili pihak kreditor sehingga segala kepentingan hukum dari pihak kreditor dapat dicapai atau diperjuangkan.
D.      Persyaratan Kepailitan
Persyaratan yang menyatakan bahwa debitor dikatakn pailit atau tidak mampu membayar utang-utangnya dilihat dari UU No.37 Tahun 2004 yang mengatur Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran, apabila:
1.        Debitor memiliki sedikitnya dua kreditor,
2.        Debitor tidak membayar sedikitnya satu utang kepada salah satu kreditor,
3.        Utang tersebut telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dan
4.        Dinyatakan oleh putusan hakim dalam pengadilan.
E.       Urutan Prioritas Kreditor
Berdasarkan pasal 1133 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata di dalamnya menyatakan ketentuan bahwa kreditor dapat diberikan kedudukan untuk didahulukan terhadap para kreditor lain apabila yang bersangkutan merupakan :[2]
1.        Tagihan yang berupa hak istimewa;
2.        Tagihan yang dijamin dengan hak gadai; dan
3.        Tagihan yang dijamin dengan hipotek.
Kemudian selain ketentuan di atas menurut UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan dan UU No. 42 Tahun 1999 tentang Fidusia maka kreditor yang memiliki tagihan yang dijamin hak tanggungan dan hak fidusia juga memiliki skala prioritas yang harus didahulukan terhadap konkuren.
Hak istimewa (piutang yang diistimewakan) yang oleh undang-undang didahulukan daripada piutang atas tagihan hak dijamin dengan hak jaminan, antara lain:
1.        Hak istimewa yang dimaksudkan pasal 1137 ayat 1 KUH Perdata;
2.        Hak istimewa yang dimaksudkan pasal 21 ayat 3 UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang telah diubah dengan UU No. 9 Tahun 1994;
3.        Hak istimewa yang dimaksudkan dalam pasal 139 ayat 1 KUH Perdata;
4.        Hak istimewa yang dimaksudkan pasal 1149 ayat 1 KUH Perdata;
5.        Imbalan kurator sebagaimana dimaksud dalam UU No. 37 Tahun 2004.
Pasal-pasal KUH Perdata di atas mengatur urutan prioritas kreditor berdasarkan hak istimewa yang ada pada kreditor yang memiliki kedudukan lebih tinggi daripada piutang yang dijamin dengan suatu hak jaminan (gadai, fidusia, hak tanggungan atau hipotek), maka urutan priotitas kreditor, meliputi:
1.        Kreditor yang memiliki piutang yang dijamin dengan hak jaminan,
2.        Kreditor yang memiliki hak istimewa,
3.        Kreditor konkuren,,
Kemudian apabila suatu hak istimewa ditentukan sebagai prioritas utama daripada kreditor pemegang hak jaminan, maka urutannya akan berubah menjadi:
1.        Kreditor yang memiliki hak istimewa,
2.        Kreditor yang memiliki piutang yang dijamin dengan hak jaminan,
3.        Kreditor konkuren.
Adapun yang dimaksud dengan kreditor konkuren di atas adalah golongan kreditor biasa yang tidak dijamin dengan jaminan khusus. Para kreditor konkuren akan terpenuhi pembayaran piutangnya setelah kreditor yang memiliki hak istimewa dan piutang yang dijamin dengan hak jaminan memperoleh pembayaran.
F.        Pengurusan Harta Pailit
Sejak diputuskan dalam pengadilan oleh putusan hakim tentang debitor yang dinyatakan pailit maka sejak itu juga debitor kehilangan haknya terhadap kekayaannya untuk menguasai dan mengurusnya. Semua hak penguasaan dan pengurusan harta pailit diserahkan kepada kurator. Namun selain kurator masih ada pihak-pihak lain yang ikut dalam pengurusan harta pailit debitor yang dimaksudkan di atas, antara lain:
1.        Hakim pengawas,
Menurut pasal 1 ayat 8 UU tentan Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang dimaksud hakim pengawas adalah hakim yang ditunjuk oleh pengadlan (niaga) dalam putusan pailit atau putusan penundaan kewajiban pembayaran utang. Tugas hakim pengawas adalah mengawasi pengurusan dan pemberesan harta pailit. Dalam pasal 15 UU yang sama dijelaskan bahwa hakim pengawas dan kurator harus dicantumkan di dalam putusan pailit yang bersangkutan.
Setelah pengurusan dan pemberesan harta pailit itu dilaksanakan sebelum diputusan ketetapan pengurusan dan pemberesan harta pailit di pengadilan terlebih dahulu mendengarkan pernyataan dari hakim pengawas terkait hal itu.[3]
2.        Kurator,
Dijelaskan dalam pasal 1 ayat 5 tentang UU Kepailitan  dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang bahwa kurator adalah BHP atau orang pereorangan yang diangkat oleh pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta debitor pailit di bawah pengawasan hakim pengawas. Tugas kurator sebagai pelaksana pengurusan dan pemberesan harta pailit dari debitor yang bersangkutan.
Penunjukkan kurator diatur  dalam pasal 15 ayat 3 UU tentang Kepailitan bahwa debitor atau kreditor yang menunjuk pengangkatan kurator di dalam usulan pengadilan dan apabila pihak debitor dan kreditor tidak mengajukan  usul pengangkatan kurator lain kepada pengadilan, maka BHP bertinda selaku kurator.
Dimaksud BHP adalah Balai Harta Peninggalan dalam hal ini sebagai kurator memiliki kedudukan yang independen (independent) atau tidak mempunyai benturan kepentingan dengan debitor atau kreditor, dan tidak sedang menangani perkara kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang lebih dari 3 (tiga) perkara.
Wewenang dari kurator mulai timbul sejak tanggal putusan pailit diucapkan atau diputusan meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali.
Kurator dalam melaksanakan tugas tidak harus memperoleh persetujuan dari atau menyampaikan pemberitahuan terlebih dahulu kepada debitor atau salah satu organ debitor. Kurator dapat melakukan pinjaman dari pihak ketiga dengan tujuan untuk meningkatkan nilai harta pailit.
Seperti yang diuraikan pada tugas kurator di atas maka seluruh pengurusan dan pemberesan harta pailit terkait pengamanan dan penyimpanan surat, dokumen, uang, perhiasan, efek, dan surat berharga lainnya. Oleh karena itu, kurator pun bertanggung jawab terhadap pengurusan dan pemberesan tersebut sehingga apabila terjadi kesalahan atau kelalaian dalam pelaksanaan tugas yang menyebabkan kerugian terhadap harta pailit.
3.        Panitia kreditor,
Pembentukan panitia kreditor dapat ditentukan di dalam putusan pailit atau dengan suatu penetapan kemudian oleh pengadilan. Seperti yang telah diuraikan di atas tentang penetapan panitia kreditor oleh pihak kreditor yang bersangkutan apabila ada kepentingan maupun sifatnya harta pailit menghendaki, mengangkat suatu panitia kreditor.
Panitia kreditor ini dibentuk untuk kepentingan kreditor sendiri yang tercantum dalam pasal 81 UU tentang Kepailitan menentukan bahwa setiap waktu panitia kreditor berhak meminta diperlihatkan semua dokumen, dokumen, dan surat mengenai kepailitan. Selanjutnya pihak kurator wajib memberikan informasi berupa dokumen, surat, atau lainnya itu yang dibutuhkan oleh panitia kreditor.
Panitia kreditor dalam UU tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dibagi menjadi 2 (dua) macam, yakni:
a.         Panitia kreditor sementara,
Pada pasal 79 UU tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menjelaskan bahwa dalam putusan pailit, pengadilan dapat membentuk panitia kreditor sementara yang terdiri dari 3 (tiga) orang dan dipilih dari kreditor yang dikenal dimaksudkan untuk memberikan nasihat kepada kurator.[4]
Kemudian kreditor yang diangkat menjadi panitia tersebut dapat mewakilkan kepada orang lain semua pekerjaan yang berhubungan dengan tugas-tugasnya dalam panitia.
b.        Panitia kreditor tetap
Panitia ini dibentuk setelah semua verifikasi data utang telah selesai dilakukan, maka hakim pengawas wajib menawarkan kepada kreditor untuk pembentukan panitia ini. Untuk mempermudah tugas panitia kreditor tetap ini maka diberikan hak untuk meminta semua dokumen yang diperlukan berkaitan dengan kepailitan dan kemudian memberikan nasihat kepada kreditor.
Dalam hal ini dari pihak kurator dapat mengadakan rapat dengan pihak panitia kreditor untuk meminta nasihat.[5] Pada rapat yang diadakan tersebut  pihak kurator tidak terikat dari pendapat panitia kreditor.[6] Kemudian dari pendapat tersebut pihak kurator memiliki hak untuk menolak pendapat dari pihak panitia kreditor dengan cara memberitahukan ketidaksetujuannya terdapat pendapat panitia kreditor dalam waktu 3 (tiga) hari setelah pengadaan rapat tersebut.
Sebaliknya, apabila pihak panitia kreditor tidak menyetujui  pendapat kurator maka pihak panitia kreditor dapat meminta penetapan dari hakim pengawas. Sehingga kurator wajib menangguhkan pelaksanaan dari pendapat yang diberitahukannya kepada panitia kreditor yang telah direncanakan selama 3 (tiga) hari.
G.      Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang bahwa memberikan kesempatan kepada debitor yang tidak dapat atau memperkirakan bahwa ia tidak akan dapat melanjurkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih untuk meminta penundaan pembayaran (surceance van betaling atau suspension of payment) kepada pengadilan niaga.
Menurut pasal 219 UU tentang Kepailitan menerangkan bahwa permohonan penundaan pembayaran (PKPU) tersebut dimaksudkan untuk mengajukan perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran seluruh atau sebagian utang kepada para kreditor konkuren. Permohonan ini dapat diajukan apabila debitor memiliki lebih dari 1 (satu) kreditor.[7]
Adapun pihak-pihak yang dapat mengajukan PKPU kepada pengadilan niaga, meliputi:
1.        Pihak debitor;
2.        Pihak kreditor;
3.        Bank Indonesia bagi pemohon yang berbentuk Bank;
4.        Bapepam bagi pemohon yang berbentuk perusahaan efek, bursa efek, dan sejenisnya.
5.        Menteri Keuangan bagi pemohon yang berbentuk perusahaan asuransi, reasuransi, dana pensiun, dan BUMN yang bergerak untuk kepentingan publik.
Kemudian setelah melakukan proses pengadilan atau persidangan dari pihak pengadilan niaga harus mengabulkan PKPU dalam bentuk PKPU sementara. Pihak-pihak yang ditunjuk oleh pengadilan niaga dalam mengurusi PKPU, meliputi:
1.        Hakim Pengawas;
2.        Pengurus (Administrator);
3.        Kreditor konkuren.
Pengadaan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dalam hal ini dibagi menjadi 2 (dua) tahapan, antara lain:
1.        PKPU Sementara,
Tahap pertama diadakan PKPU Sementara dengan mengadakan persetujuan dari pihak kreditor konkuren, dengan melalui penetapan pengadilan niaga berdasarkan,
-       Persetujuan lebih dari ½ (satu perdua) jumlah kreditor konkuren yang haknya diakui atau sementara diakui yang hadir yang mewakili paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagi dari tagihan yang diakui atau sementara diakui dari kreditor konkuren atau kuasanya yang hadir dalam sidang untuk itu;
-       Persetujuan dari ½ (satu perdua) jumlah kreditor yang piutangnya dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek atau agunan atas kebendaan lainnya yang hadir dan mewakili paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari seluruh tagihan kreditor atau kuasanya yang hadir dalam sidang tersebut.
-       Selanjutnya dapat dilaksanakan PKPU Tetap.
2.        PKPU Tetap,
PKPU merupakan tindak lanjut dari pencapaian PKPU Sementara yang dilaksanakan dalam penetapan pengadilan niaga.
Menurut pasal 240 UU tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menyatakan bahwa pihak debitor tidak kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaan yang dimilikinya berbeda dengan putusan pengadilan yang menyatakan pailit terhadap debitor. Namun dalam hal ini, penguasaan dan pengurusan harta kekayaan baik seluruh maupun sebagian harus dengan persetujuan pengurus atau dikenal dengan administrator.
Apabila permohonan penundaan (PKPU) di atas disetujui atau diterima oleh hakim pengawas maka hakim pengawas wajib menyampaikan putusan tersebut dalam laporan tertulis kepada pengadilan niaga untuk dimintakan pengesahan. Pasal 285 ayat 1 UU tentang PKPU menentukan bahwa dalam hal ini pengadilan niaga wajib memberikan putusan mengenai pengesahan perdamaian tersebut disertai dengan alasan-alasannya.
Pada ayat 2 pasal 285 disebutkan bahwa pengadilan niaga wajib menolak pengesahan perdamaian apabila.
1.        Harta debitor, termasuk benda untuk mana dilaksanakan hak untuk menahan benda, jauh lebih besar daripada jumlah yang disetujui dalam perdamaian,
2.        Pelaksanaan perdamaian tidak cukup terjamin,
3.        Perdamaian itu dicapai karena penipuan atau persekongkolan dengan satu lebih kreditor atau karena pemakaian upaya lain yang tidak jujur dan tanpa menghiraukan apakah debitor atau pihak lain bekerjasama untuk mencapai hal ini.
4.        Imbalan jasa dan biaya yang dikeluarkan oleh ahli dan pengurus belum dibayar atau tidak diberikan jaminan untuk pembayarannya.
H.      Daftar Pustaka
Khairandy, Ridwan. 2014. Pokok-Pokok Hukum Dagang Indonesia (revisi pertama). Yogyakarta: FH UII Press


[1] Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
[2] Sutan Remy Sjahdeini, op.cit., hal. 5
[3] Pasal 66 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
[4] Yang dimaksud kreditor yang dikenal adalah kreditor yang telah mendaftarkan diri untuk diverifikasi
[5] Pasal 82 UU No. 37 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
[6] Pasal 83
[7] Pasal 222 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

0 comments:

Post a Comment

Terima Kasih