A. Definisi
Kepailitan berasal dari kata pailit yang
digunakan dalam Bahasa Indonesia. Dalam bahasa Belanda yang dikenal dengan failiet
memiliki arti gagal atau bankrut. Dalam istilah diartikan gagal melakukan
pembayaran, sedangkan dalam bahasa Perancis istilah yang digunakan faillite
memiliki arti pemogokan atau kemacetan dalam melakukan pembayaran. Istilah
dalam bahasa Latin menggunakan fallo atau fallere yang berarti
tidak sukses atau gagal melakukan pembayaran. Kata yang memiliki kesamanaan
dalam bahasa Inggris yakni failure yang artinya kegagalan namun dalam
hal ini lebih digunakan dengan istilah bankrupt.
Pailit sercara terminologi diartikan sebagai
keadaan debitor yang berhenti membayar utang-utangnya kepada kreditor. Pailit
juga dapat dimaknai keadaan seseorang atau badan hukum yang tidak mampu
memenuhi kewajiban-kewajibannya atau berhenti membayar utang-utangnya.
Sedangkan, dalam putusan hakim pailit adalah suatu keadaan debitor yang
dinyatakan tidak mampu membayar utang-utangnya.
Dari istilah bankrupt atau pailit
menurut Ensiklopedia Ekonomi Keuangan Perdagangan adalah keadaan dimana
seseorang yang oleh suatu pengadilan dinyatakan bankrupt dan yang
aktivanya atau warisannya telah diperuntukkan untuk membayar utang-utangnya.
Sedangkan istilah kepailitan yang digunakan di
Indonesia merupakan terjemahan dari istilah faillisement dari Bahasa
Belanda. Dalam sistem yang dikenal common law pada Negara Inggris dan
Amerika Serikat, kepailitan dikenal dengan istilah bankruptcy. Istilah
tersebut berasal dari istilah yang digunakan pedagang Italia pada abad
pertengahan, yaitu banca rota atau bancarupta yang secara harfiah
berarti jatuh pailit (broken bench).
Definisi dari kepailitan menurut Undang-Undang
adalah sebagai sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang
pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan
hakim pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang.[1]
Pada Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata menegaskan bahwa seluruh harta benda seorang baik yang telah ada
sekarang maupun yang akan datang, baik benda bergerak maupun tidak bergerak,
menjadi jaminan bagi seluruh perikatannya. Kemudian dalam pasal selanjutnya
1132 dijelaskan untuk memerintahkan agar seluruh harta debitor dijual lelang
dimuka umum atas dasar putusan hakim, dan hasilnya dibagikan kepada para
kreditor secara seimbang, kecuali apabila diantara para kreditor itu ada
kreditor yang didahulukan pemenuhan piutangnya.
Oleh karena itu, kepailitan dapat disimpulkan
bahwa suatu kondisi yang mengakibatkan debitor dalam keadaan tidak mampu
membayar utang-utangnya terhadap kreditor yang dinyatakan dalam putusan hakim
di pengadilan dengan tindak lanjut terhadap putusan tersebut pada penyitaan
seluruh kekayaan debitor baik yang telah ada sekarang maupun yang akan datang kemudian
dilakukan lelang dimuka umum dan hasilnya akan dibagikan kepada kreditor secara
seimbang kecuali adanya pemenuhan piutang kreditor yang harus didahulukan.
B. Hukum dan Asas-Asas
Tujuan-tujuan dari pelaksanaan hukum
kepailitan dalam Undang-Undang memiliki maksud, sebagai berikut:
1.
Untuk meningkatkan upaya pengembalian kekayaan,
2.
Memberikan perlakuan baik yang seimbang dan yang dapat diperkirakan
sebelumnya kepada para kreditor,
3.
Memberikan kesempatan yang praktis untuk reorganisasi perusahaan yang sakit
tetapi masih potensial bila kepentingan para kreditor dan kebutuhan sosial
dilayani dengan lebih baik dengan mempertahankan debitor dalam kegiatan
usahanya.
Asas-asas kepailitan yang ada dalam
Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 menyebutkan terdapat 4 (empat ) asas, sebagai
berikut:
1.
Asas keseimbangan,
2.
Asas kelangsungan usaha, adanya ketentuan yang memungkinkan perusahaan
debitor yang masih memiliki prospek tetap dilangsungkan.
3.
Asas keadilan, ketentuan kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para
pihak yang berkepentingan.
4.
Asas integrasi, sistem hukum formal dan hukum materiil kepailitan merupakan
satu-kesatuan utuh dari sistem hukum perdata dan hukum acara perdata nasional.
C. Pihak yang dinyatakan Pailit dan Pemohon
Pernyataan Pailit
Pihak yang dinyatakan pailit yakni debitor
dalam pasal 1 ayat 3 UU tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang mendefisinikannya sebagai orang yang mempunyai utang karena perjanjian
atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan.
Debitor tersebut dapat berupa perorangan
maupun badan hukum. Badan hukum dapat meliputi perseroan terbatas (PT),
koperasi, yayasan, perkumpulan, dan BUMN (Persero dan Perum). Badan usaha yang
berbentuk persekutuan dengan firma dan persekutuan komanditer merupakan badan
usaha yang tidak memiliki karakter sebagai badan hukum namun melekat pada
sekutunya.
Dengan karakter tersebut yang dapat
dipailitkan adalah para sekutu dari firma yang melakukan persekutuan. Dalam
persekutuan tersebut tidak ada kapasitas hukum untuk memiliki kekayaan atas
nama persekutuan tersebut. Maka secara hukum persekutuan yang terbentuk itu
tidak memiliki kekayaan.
Uraian di atas menjelaskan bahwa pihak-pihak
yang dapat mengajukan permohonan pailit berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat 2,
3, 4, dan 5, meliputi:
1.
Permohonan Pernyataan Pailit oleh Debitor
Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang secara tegas dijelaskan debitor yang
mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang
jatuh waktu dan ditagih dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit. Dalam
bahasa Inggris permohonan yang pailit yang diajukan oleh debitor sendiri
disebut voluntary petition.
Adapun dokumen-dokumen yang harus dilengkapi dan
dikumpulkan dalam permohonan pailit oleh debitor, sebagai berikut:
-
Surat permohonan bermaterai yang ditujukan kepada ketua pengadilan negeri
atau niaga yang bersangkutan;
-
Izin pengacara yang telah dilegalisasi;
-
Surat kuasa khusus;
-
Kartu Identitas Penduduk (KTP) dari suami atau istri yang masih berlaku;
-
Persetujuan dari suami atau istri yang dilegalisasi;
-
Daftar aset dan tanggung jawab; dan
-
Neraca pembukuan terakhir (dalam hal perseorangan memiliki perusahaan).
2.
Permohonan Pernyataan Pailit oleh Kreditor
Pasal 1 ayat 2 UU No.37 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang menentukan bahwa kreditor adalah orang yang
mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih di
muka pengadilan. Dalam hal ini, pada Pasal 2 ayat 1 yang telah dijelaskan di
atas bahwa selain debitor kreditor pun dapat mengajukan permohonan pailit
dikarenakan hak yang dimilikinya yang berupa piutang terhadap debitor.
Adapun dokumen-dokumen yang harus dilengkapi dalam
pengajuan permohonan pailit oleh kreditor, meliputi:
-
Surat permohonan bermaterai yang ditujukan kepada ketua pengadilan negeri
atau niaga yang bersangkutan;
-
Izin pengacara yang dilegalisasi kartu pengacara;
-
Surat kuasa khusus;
-
Akta pendaftaran/yayasan/asosiasi yang dilegalisasi oleh kantor perdagangan
paling lambat satu minggu sebelum permohonan didaftarkan;
-
Surat perjanjian utang;
-
Perincian utang yang tidak dibayar;
-
Nama serta alamat masing-masing debitor;
-
Tanda kenal debitor;
-
Nama serta alamat mitra usaha;
-
Terjemahan dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris oleh penerjemah resmi
(jika menyangkut unsur asing).
3.
Permohonan Pernyataan Pailit oleh Kejaksaan
Pasal 2 ayat 3 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menerangkan bahwa jaksa juga dapat
mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap debitor yang tidak membayar
utang-utangnya kepada kreditor demi kepentingan umum seperti dijelaskan pada
ayat sebelumnya.
Adapun yang dimaksud dengan kepentingan umum yang
diuraikan di atas dalam pasal 2 ayat 2 UU di atas, meliputi:
-
Debitor yang melarikan diri,
-
Debitor menggelapkan bagian dari harta kekayaan,
-
Debitor mempunyai utang kepada badan BUMN atau badan usaha lain yang
menghimpun dana dari masyarakat,
-
Debitor mempunyai utang yang berasal dari penghimpunan dana dari masyarakat
luas,
-
Debitor tidak beritikad baik dan tidak koopertif dalam menyelesaikan utang
piutang yang telah jatuh waktu, atau
-
Dalam hal lainnya menurut kejaksaan merupakan kepentingan umum.
4.
Permohonan Pernyataan Pailit oleh Bank Indonesia
Dari penjelasan di atas bahwa selain utang atau kewajiban
debitor dalam membayar tersebut kepada kreditor yang berbadan hukum bukan bank.
Oleh karena itu, apabila kreditor yang maksud adalah bentuk badan hukum bank
maka permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia atau
bisa sebaliknya. Bank yang dimaksudkan disini adalah bank sebagaimana peraturan
perundang-undangan. Permohonan pengajukan ini berdasarkan penilaian kondisi
keuangan dan kondisi perbankan secara keseluruhan. Dalam kasus ini, dari pihak
debitor maupun kreditor apabila salah satu darinya berbadan hukum berbentuk
perbankan maka kewenangan sepenuhnya ada pada Bank Indonesia terkait ketentuan
pencabutan izin usaha bank, pembubaran badan hukum, dan likuidasi bank sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
5.
Permohonan Pernyataan Pailit oleh Badan Pengawas Pasar Modal
Pasal 2 ayat 4 UU No. 37 Tahun 2004 dijelaskan bahwa
debitor yang berupa perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring, atau
penjamanan maka permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Badan
Pengawas Pasar Modal (Bapepam). Pada aturan sekarang ini, kewenangan dan tugas
Bapepam sebagai regulator dan pengawas pasar modal telah digantikan oleh
Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
6.
Permohonan Pernyataan Pailit oleh Menteri Keuangan
Pada pasal 2 ayat 4 UU No. 37 juga menjelaskan apabila
debitor adalah perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pensiun, BUMN
yang bergerak di bidang kepentingan publik maka permohonan pernyataan pailit
hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan.
Kemudian pengajuan permohonan pernyataan pailit oleh debitor yang telah menikah,
menurut pasal 4 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang bahwa pengajuan tersebut hanya dapat diajukan atas persetujuan
suami atau istri dikarenakan terdapat percampuran harta atau kekayaan.
Adapun kreditor disini yang maksudkan apabila pihak yang melakukan proses
kepailitan terhadap kreditor kepada debitor, biasa dikenal dengan panitia
kreditor. Panitia kreditor adalah pihak yang mewakili pihak kreditor sehingga
segala kepentingan hukum dari pihak kreditor dapat dicapai atau diperjuangkan.
D. Persyaratan Kepailitan
Persyaratan yang menyatakan bahwa debitor
dikatakn pailit atau tidak mampu membayar utang-utangnya dilihat dari UU No.37
Tahun 2004 yang mengatur Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran, apabila:
1.
Debitor memiliki sedikitnya dua kreditor,
2.
Debitor tidak membayar sedikitnya satu utang kepada salah satu kreditor,
3.
Utang tersebut telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dan
4.
Dinyatakan oleh putusan hakim dalam pengadilan.
E. Urutan Prioritas Kreditor
Berdasarkan pasal 1133 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata di dalamnya
menyatakan ketentuan bahwa kreditor dapat diberikan kedudukan untuk didahulukan
terhadap para kreditor lain apabila yang bersangkutan merupakan :[2]
1.
Tagihan yang berupa hak istimewa;
2.
Tagihan yang dijamin dengan hak gadai; dan
3.
Tagihan yang dijamin dengan hipotek.
Kemudian selain ketentuan di atas menurut UU
No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan dan UU No. 42 Tahun 1999 tentang
Fidusia maka kreditor yang memiliki tagihan yang dijamin hak tanggungan dan hak
fidusia juga memiliki skala prioritas yang harus didahulukan terhadap konkuren.
Hak istimewa (piutang yang diistimewakan) yang
oleh undang-undang didahulukan daripada piutang atas tagihan hak dijamin dengan
hak jaminan, antara lain:
1.
Hak istimewa yang dimaksudkan pasal 1137 ayat 1 KUH Perdata;
2.
Hak istimewa yang dimaksudkan pasal 21 ayat 3 UU No. 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang telah diubah dengan UU No. 9 Tahun
1994;
3.
Hak istimewa yang dimaksudkan dalam pasal 139 ayat 1 KUH Perdata;
4.
Hak istimewa yang dimaksudkan pasal 1149 ayat 1 KUH Perdata;
5.
Imbalan kurator sebagaimana dimaksud dalam UU No. 37 Tahun 2004.
Pasal-pasal KUH Perdata di atas mengatur
urutan prioritas kreditor berdasarkan hak istimewa yang ada pada kreditor yang
memiliki kedudukan lebih tinggi daripada piutang yang dijamin dengan suatu hak
jaminan (gadai, fidusia, hak tanggungan atau hipotek), maka urutan priotitas
kreditor, meliputi:
1.
Kreditor yang memiliki piutang yang dijamin dengan hak jaminan,
2.
Kreditor yang memiliki hak istimewa,
3.
Kreditor konkuren,,
Kemudian apabila suatu hak istimewa ditentukan
sebagai prioritas utama daripada kreditor pemegang hak jaminan, maka urutannya
akan berubah menjadi:
1.
Kreditor yang memiliki hak istimewa,
2.
Kreditor yang memiliki piutang yang dijamin dengan hak jaminan,
3.
Kreditor konkuren.
Adapun yang dimaksud dengan kreditor konkuren
di atas adalah golongan kreditor biasa yang tidak dijamin dengan jaminan
khusus. Para kreditor konkuren akan terpenuhi pembayaran piutangnya setelah
kreditor yang memiliki hak istimewa dan piutang yang dijamin dengan hak jaminan
memperoleh pembayaran.
F.
Pengurusan Harta Pailit
Sejak diputuskan dalam pengadilan oleh putusan hakim tentang debitor yang
dinyatakan pailit maka sejak itu juga debitor kehilangan haknya terhadap
kekayaannya untuk menguasai dan mengurusnya. Semua hak penguasaan dan
pengurusan harta pailit diserahkan kepada kurator. Namun selain kurator masih
ada pihak-pihak lain yang ikut dalam pengurusan harta pailit debitor yang
dimaksudkan di atas, antara lain:
1.
Hakim pengawas,
Menurut pasal 1 ayat 8 UU tentan Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang dimaksud hakim pengawas adalah
hakim yang ditunjuk oleh pengadlan (niaga) dalam putusan pailit atau putusan
penundaan kewajiban pembayaran utang. Tugas hakim pengawas adalah mengawasi
pengurusan dan pemberesan harta pailit. Dalam pasal 15 UU yang sama dijelaskan
bahwa hakim pengawas dan kurator harus dicantumkan di dalam putusan pailit yang
bersangkutan.
Setelah pengurusan dan pemberesan harta pailit
itu dilaksanakan sebelum diputusan ketetapan pengurusan dan pemberesan harta
pailit di pengadilan terlebih dahulu mendengarkan pernyataan dari hakim
pengawas terkait hal itu.[3]
2.
Kurator,
Dijelaskan dalam pasal 1 ayat 5 tentang UU
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang bahwa kurator adalah BHP atau orang pereorangan yang diangkat
oleh pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta debitor pailit di bawah
pengawasan hakim pengawas. Tugas kurator sebagai pelaksana pengurusan dan
pemberesan harta pailit dari debitor yang bersangkutan.
Penunjukkan kurator diatur dalam pasal 15 ayat 3 UU tentang Kepailitan
bahwa debitor atau kreditor yang menunjuk pengangkatan kurator di dalam usulan
pengadilan dan apabila pihak debitor dan kreditor tidak mengajukan usul pengangkatan kurator lain kepada
pengadilan, maka BHP bertinda selaku kurator.
Dimaksud BHP adalah Balai Harta Peninggalan
dalam hal ini sebagai kurator memiliki kedudukan yang independen (independent)
atau tidak mempunyai benturan kepentingan dengan debitor atau kreditor, dan
tidak sedang menangani perkara kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran
utang lebih dari 3 (tiga) perkara.
Wewenang dari kurator mulai timbul sejak
tanggal putusan pailit diucapkan atau diputusan meskipun terhadap putusan
tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali.
Kurator dalam melaksanakan tugas tidak harus
memperoleh persetujuan dari atau menyampaikan pemberitahuan terlebih dahulu
kepada debitor atau salah satu organ debitor. Kurator dapat melakukan pinjaman
dari pihak ketiga dengan tujuan untuk meningkatkan nilai harta pailit.
Seperti yang diuraikan pada tugas kurator di
atas maka seluruh pengurusan dan pemberesan harta pailit terkait pengamanan dan
penyimpanan surat, dokumen, uang, perhiasan, efek, dan surat berharga lainnya.
Oleh karena itu, kurator pun bertanggung jawab terhadap pengurusan dan
pemberesan tersebut sehingga apabila terjadi kesalahan atau kelalaian dalam
pelaksanaan tugas yang menyebabkan kerugian terhadap harta pailit.
3.
Panitia kreditor,
Pembentukan panitia kreditor dapat ditentukan
di dalam putusan pailit atau dengan suatu penetapan kemudian oleh pengadilan.
Seperti yang telah diuraikan di atas tentang penetapan panitia kreditor oleh
pihak kreditor yang bersangkutan apabila ada kepentingan maupun sifatnya harta
pailit menghendaki, mengangkat suatu panitia kreditor.
Panitia kreditor ini dibentuk untuk
kepentingan kreditor sendiri yang tercantum dalam pasal 81 UU tentang
Kepailitan menentukan bahwa setiap waktu panitia kreditor berhak meminta
diperlihatkan semua dokumen, dokumen, dan surat mengenai kepailitan.
Selanjutnya pihak kurator wajib memberikan informasi berupa dokumen, surat,
atau lainnya itu yang dibutuhkan oleh panitia kreditor.
Panitia kreditor dalam UU tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang dibagi menjadi 2 (dua) macam, yakni:
a.
Panitia kreditor sementara,
Pada pasal 79 UU tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang menjelaskan bahwa dalam putusan pailit, pengadilan
dapat membentuk panitia kreditor sementara yang terdiri dari 3 (tiga) orang dan
dipilih dari kreditor yang dikenal dimaksudkan untuk memberikan nasihat kepada
kurator.[4]
Kemudian kreditor yang diangkat menjadi panitia tersebut
dapat mewakilkan kepada orang lain semua pekerjaan yang berhubungan dengan
tugas-tugasnya dalam panitia.
b.
Panitia kreditor tetap
Panitia ini dibentuk setelah semua verifikasi data utang telah selesai
dilakukan, maka hakim pengawas wajib menawarkan kepada kreditor untuk
pembentukan panitia ini. Untuk mempermudah tugas panitia kreditor tetap ini
maka diberikan hak untuk meminta semua dokumen yang diperlukan berkaitan dengan
kepailitan dan kemudian memberikan nasihat kepada kreditor.
Dalam hal ini dari pihak kurator dapat mengadakan rapat dengan pihak
panitia kreditor untuk meminta nasihat.[5]
Pada rapat yang diadakan tersebut pihak
kurator tidak terikat dari pendapat panitia kreditor.[6]
Kemudian dari pendapat tersebut pihak kurator memiliki hak untuk menolak
pendapat dari pihak panitia kreditor dengan cara memberitahukan
ketidaksetujuannya terdapat pendapat panitia kreditor dalam waktu 3 (tiga) hari
setelah pengadaan rapat tersebut.
Sebaliknya, apabila pihak panitia kreditor tidak menyetujui pendapat kurator maka pihak panitia kreditor
dapat meminta penetapan dari hakim pengawas. Sehingga kurator wajib
menangguhkan pelaksanaan dari pendapat yang diberitahukannya kepada panitia
kreditor yang telah direncanakan selama 3 (tiga) hari.
G. Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang bahwa memberikan kesempatan
kepada debitor yang tidak dapat atau memperkirakan bahwa ia tidak akan dapat
melanjurkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih untuk
meminta penundaan pembayaran (surceance van betaling atau suspension
of payment) kepada pengadilan niaga.
Menurut pasal 219 UU tentang Kepailitan
menerangkan bahwa permohonan penundaan pembayaran (PKPU) tersebut dimaksudkan
untuk mengajukan perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran seluruh atau
sebagian utang kepada para kreditor konkuren. Permohonan ini dapat diajukan
apabila debitor memiliki lebih dari 1 (satu) kreditor.[7]
Adapun pihak-pihak yang dapat mengajukan PKPU
kepada pengadilan niaga, meliputi:
1.
Pihak debitor;
2.
Pihak kreditor;
3.
Bank Indonesia bagi pemohon yang berbentuk Bank;
4.
Bapepam bagi pemohon yang berbentuk perusahaan efek, bursa efek, dan
sejenisnya.
5.
Menteri Keuangan bagi pemohon yang berbentuk perusahaan asuransi,
reasuransi, dana pensiun, dan BUMN yang bergerak untuk kepentingan publik.
Kemudian setelah melakukan proses pengadilan
atau persidangan dari pihak pengadilan niaga harus mengabulkan PKPU dalam
bentuk PKPU sementara. Pihak-pihak yang ditunjuk oleh pengadilan niaga dalam
mengurusi PKPU, meliputi:
1.
Hakim Pengawas;
2.
Pengurus (Administrator);
3.
Kreditor konkuren.
Pengadaan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
(PKPU) dalam hal ini dibagi menjadi 2 (dua) tahapan, antara lain:
1.
PKPU Sementara,
Tahap pertama diadakan PKPU Sementara dengan mengadakan
persetujuan dari pihak kreditor konkuren, dengan melalui penetapan pengadilan
niaga berdasarkan,
-
Persetujuan lebih dari ½ (satu perdua) jumlah kreditor konkuren yang haknya
diakui atau sementara diakui yang hadir yang mewakili paling sedikit 2/3 (dua
pertiga) bagi dari tagihan yang diakui atau sementara diakui dari kreditor
konkuren atau kuasanya yang hadir dalam sidang untuk itu;
-
Persetujuan dari ½ (satu perdua) jumlah kreditor yang piutangnya dijamin
dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek atau agunan atas
kebendaan lainnya yang hadir dan mewakili paling sedikit 2/3 (dua pertiga)
bagian dari seluruh tagihan kreditor atau kuasanya yang hadir dalam sidang
tersebut.
-
Selanjutnya dapat dilaksanakan PKPU Tetap.
2.
PKPU Tetap,
PKPU merupakan tindak lanjut dari pencapaian PKPU
Sementara yang dilaksanakan dalam penetapan pengadilan niaga.
Menurut pasal 240 UU tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menyatakan bahwa pihak debitor tidak
kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaan yang dimilikinya
berbeda dengan putusan pengadilan yang menyatakan pailit terhadap debitor.
Namun dalam hal ini, penguasaan dan pengurusan harta kekayaan baik seluruh
maupun sebagian harus dengan persetujuan pengurus atau dikenal dengan administrator.
Apabila permohonan penundaan (PKPU) di atas
disetujui atau diterima oleh hakim pengawas maka hakim pengawas wajib
menyampaikan putusan tersebut dalam laporan tertulis kepada pengadilan niaga
untuk dimintakan pengesahan. Pasal 285 ayat 1 UU tentang PKPU menentukan bahwa
dalam hal ini pengadilan niaga wajib memberikan putusan mengenai pengesahan
perdamaian tersebut disertai dengan alasan-alasannya.
Pada ayat 2 pasal 285 disebutkan bahwa
pengadilan niaga wajib menolak pengesahan perdamaian apabila.
1.
Harta debitor, termasuk benda untuk mana dilaksanakan hak untuk menahan
benda, jauh lebih besar daripada jumlah yang disetujui dalam perdamaian,
2.
Pelaksanaan perdamaian tidak cukup terjamin,
3.
Perdamaian itu dicapai karena penipuan atau persekongkolan dengan satu
lebih kreditor atau karena pemakaian upaya lain yang tidak jujur dan tanpa
menghiraukan apakah debitor atau pihak lain bekerjasama untuk mencapai hal ini.
4.
Imbalan jasa dan biaya yang dikeluarkan oleh ahli dan pengurus belum dibayar
atau tidak diberikan jaminan untuk pembayarannya.
H. Daftar Pustaka
Khairandy, Ridwan. 2014. Pokok-Pokok Hukum
Dagang Indonesia (revisi pertama). Yogyakarta: FH UII Press
[4] Yang dimaksud kreditor
yang dikenal adalah kreditor yang telah mendaftarkan diri untuk diverifikasi
0 comments:
Post a Comment
Terima Kasih